[caption id="attachment_370438" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi tes CPNS. (KOMPAS/LASTI KURNIA)"][/caption]
Rencana moratorium perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) selama pemerintahan Jokowi-JK (menurut saya pribadi) sepertinya kurang begitu tepat. Pengurangan PNS dengan tidak mengadakan perekrutan selama lima tahun ke depan merupakan rencana kurang populis.
Mengapa demikian? PNS yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai public servant atau civil servant merupakan abdi negara. Orang yang membantu menjalankan pemerintahan agar berjalan dengan baik. Orang yang bertugas untuk menjalankan program yang dicanangkan oleh pemimpin negara agar terlaksana sesuai dengan harapan.
Berdasarkan data yang dirilis detik.com, hingga akhir 2013 jumlah PNS di Indonesia sekitar 4,5 juta. Jumlah yang tidak sedikit, apalagi PNS umumnya mendapat take home pay yang lumayan tinggi. Sehingga, menurut beberapa artikel, negara harus mengucurkan dana yang cukup besar untuk menggaji para abdi negara tersebut – beberapa artikel malah secara eksplisit mengatakan gaji PNS membebani APBN.
Namun benarkah PNS Indonesia sudah sangat banyak sehingga harus dilakukan moratorium selama lima tahun berturut-turut? Bila melihat data yang ditampilkan Liputan6.com, jumlah PNS di Indonesia masih sekitar 1,7 persen dari jumlah penduduk. Masih kalah dari Brunai Darussallam yang memiliki perbandingan PNS dengan jumlah penduduk sekitar 3 persen, begitu pula dengan Singapura yang perbandingan PNS dan jumlah penduduknya sekitar 2 persen. Padahal mereka adalah negara kecil yang antara satu wilayah dengan wilayah lainnya sangat berdekatan. Bahkan luas Singapura dengan Kota Batam saja masih luas Kota Batam – bila digabungkan antara luas Pulau Batam, Rempang, dan Galang.
Morotarium yang cukup lama tersebut dikhawatirkan akan merugikan negara sendiri. Bisa saja kan selama lima tahun itu ada penduduk Indonesia yang berprestasi dan tertarik untuk menjadi PNS, masa harus menunggu lima tahun kemudian untuk menjadi abdi negara.
Sebenarnya negara bisa saja mempekerjakan orang yang berprestasi tersebut tanpa embel-embel pegawai negeri, anak bangsa yang berprestasi tersebut bisa saja diberi bayaran yang cukup tinggi. Hanya saja, bila dia menjadi PNS akan ada rasa keterikatan tersendiri pada negara.
Selain itu, bila morotarium perekrutan CPNS dilakukan begitu lama, khawatir terjadi gangguan pelayanan publik kepada masyarakat karena kekurangan pegawai. Apalagi untuk bidang kerja tertentu di wilayah yang pelosok – jauh dari kota besar. Memang ada upaya untuk memutasi PNS dari instansi yang “gemuk” ke yang “kurus” hanya saja apakah bisa berjalan dengan mulus? Apakah akan sesuai harapan? Apakah dapat berjalan singkat? Apakah tidak akan ada penolakan dari PNS yang dimutasi? Meski sebenarnya saat mendaftar sebagai CPNS ada pernyataan bersedia ditempatkan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia. Namun siapa tahu kan ada yang menolak, apalagi sudah dipindah ke pelosok tidak ada kenaikan gaji dan pangkat (namun mudah-mudahan PNS kita tidak seperti itu ya =D).
Beberapa waktu lalu beberapa kota/kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau mengeluhkan kurangnya tenaga pengajar (baca: guru) dan tenaga medis – terutama dokter spesialis – PNS. Bila nanti ada moratorium lagi, khawatir kedua tenaga tersebut semakin sulit terpenuhi – apalagi bila tenaga yang ada sudah mendekati masa pensiun.
Sebaiknya perekrutan CPNS tetap ada. Hanya saja mungkin memang tidak harus setiap tahun seperti yang dulu sering diadakan. Selain itu, agar PNS tidak membebani negara, sebaiknya dipilih WNI kelas 1 untuk menjadi PNS sehingga ia bisa bekerja seperti yang diharapkan. Memilih CPNS dari yang terbaik. Tesnya harus diawasi jangan sampai disusupi oleh orang-orang yang ingin menjadi PNS namun tidak berkompeten.
Perekrutan CPNS juga akan menghindarkan instansi untuk merekrut tenaga honorer secara suka-suka. Seperti yang kita tahu, perekrutan tenaga honorer tidak seketat perekrutan CPNS, sehingga terkadang ada “titipan-titipan” dari orang tertentu. Kalau yang dititip itu memang tepat, lha kalau hanya mau menyandang gelar honoror (dan PNS nantinya setelah diangkat) apa tidak malah semakin bikin pusing negara?
Mungkin sebaiknya malah tenaga honorer yang dihentikan. Apalagi untuk membantu pekerjaan rutin di instansi-instansi seperti di kantor kecamatan, dinas atau lainnya. Kalaupun merekrut mungkin untuk tenaga kontrak yang bertugas membantu PNS menjalankan program pemerintah yang sifatnya sementara. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H