Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Fungsi Ibu Bergeser?

22 Desember 2014   22:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:42 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat Hari Ibu!

Saya melihat Google hari ini yang menampilkan seorang ibu sedang membacakan sebuah buku cerita kepada dua orang anaknya – satu anak laki-laki, satu anak perempuan dengan latar belakang ruangan yang sangat nyaman. Ada sehelai karpet yang begitu empuk dengan beberapa mainan yang tergeletak begitu saja.


Tak perlu disangkal, secara naruliah semua ibu pasti selalu ingin menghadirkan kenyamanan bagi setiap anak-anaknya. Meski dengan keadaan yang terbatas, mereka pasti selalu ingin memberikan berbagai hal maksimal bagi putra-putri yang ia lahirkan ke dunia.

Saya masih ingat, hari itu Kamis 21 Juli 2010, mama membuatkan saya segelas susu. Sebelum saya pergi keluar rumah, mama memang selalu memastikan perut saya terisi penuh makanan – setidaknya segelas susu. Pagi itu susu yang mama saya buatkan agak berbeda, karena apa? Karena sore harinya sekitar pukul 16:00 WIB mama meninggalkan saya untuk selamanya – meninggal.

Pada tulisan ini saya tidak mau bersedih-sedih, intinya saya ingin menyampaikan – bahkan beberapa jam sebelum dijemput maut, seorang ibu (baca: mama saya) masih memikirkan perut anaknya. Ia ingin memastikan sampai titik terakhir merawat anaknya dengan baik dan benar.

Mungkin ada contoh lain mengenai pengorbanan seorang ibu demi anak-anak mereka. Ada yang rela meninggal asal anaknya selamat, ada yang rela tidak makan asal anaknya menikmati makanan yang tersedia dengan jumlah sangat terbatas, ada yang rela berhutang demi pendidikan dan masa depan anaknya yang lebih baik – meski terkadang dihina oleh si calon yang ingin dipinjami uang.

Bila ibu sudah memberikan hal terbaik yang bisa mereka berikan dalam hidup mereka? Sudahkah anak-anak mereka memberikan yang terbaik bagi si Ibu? Kalau saya dengan lantang akan menjawab, belum. Saat ibu saya masih hidup, saya sepertinya belum maksimal memberikan yang terbaik bagi ibu saya. Masih banyak kurangnya.

Sepertinya saya sangat berharap ibu saya masih hidup. Beberapa kali saya sempat bermimpi kalau ternyata ibu saya tidak benar-benar meninggal. Ibu saya masih hidup. Saya sempat beberapa kali bermimpi mengajak ibu saya ke Batam. Saat awal menikah, saya bahkan bermimpi diajak ibu saya berbelanja keperluan rumah tangga, seperti piring, sendok, panci dll untuk bekal saya di Batam. Saat mimpi tersebut saya ceritakan ke nenek saya, beliau sempat menyalahkan karena waktu itu saya memang tidak membawa perlengkapan rumah tangga untuk hidup baru saya di pulau yang berbentuk kalajengking.

Meski sedih dan berharap ibu saya masih hidup, di satu sisi sebenarnya saya merasa mungkin lebih baik ibu saya meninggal sebelum saya menikah dan memiliki anak. Bukan apa-apa, saya termasuk anak yang kurang mandiri, bila ibu saya masih ada – saya khawatir beliau yang akan memasak, membersihkan rumah, dan menjaga anak (anak) saya.

Sejak saya masih berbaju putih abu-abu, ibu saya selalu bilang. Nanti kamu kerja saja kalau sudah menikah, anak tenang mama yang jaga. Saat itu, karena rencana menikah saja masih diawang-awang, saya hanya mengangguk-angguk saja. Namun ternyata, manusia mempunyai rencana, dan Allah juga yang menentukan.

Meski sedih, satu sisi saya merasa beruntung mama meninggal sebelum saya memiliki anak. Bukan apa-apa. Beberapa waktu lalu, saya sempat mendengar curhat dari seseorang mengenai “kewajiban” nenek menjaga cucu. Ia yang juga seorang nenek mengatakan, ia tidak mau masa tuanya dibebani dengan mengasuh cucu – ia lebih suka menjaga orangtuanya yang sudah sepuh.

Ia mengatakan, saat menjadi ibu ia sudah letih mengasuh anak-anaknya, masa setelah beralih status menjadi nenek harus juga repot mengasuh bayi. Saat mendengar celotehan tersebut saya terdiam. Saya tidak tahu harus berkata apa. Anak saya diasuh tetangga yang sudah kami anggap keluarga sendiri. Anak saya tidak diasuh neneknya – meski mungkin bila mama masih ada, pasti mama yang mengasuh anak saya.

Celotehan nenek itu memang ada benarnya juga. Mengasuh bayi bukan pekerjaan ringan. Apalagi bila usia sudah menginjak 50 tahun lebih. Masa tua yang mungkin inginnya leyeh-leyeh terpaksa harus beraktifitas kembali dengan mengasuh cucu. Bila rela, mungkin akan terasa ringan – daripada bengong tidak jelas, lebih baik bermain bersama cucu, namun bila tidak rela pasti semuanya akan terasa berat. Apalagi terkadang batita banyak maunya. Baru selesai menyuapi makanan, tiba-tiba ingin minum susu, baru ganti baju, tiba-tiba mengompol, dst. Terkadang selain mengurus cucu, mereka juga membersihkan rumah dan memasak. Sehingga, keletihan nenek yang mengurus cucu tersebut semakin berlipat.

Saya mengenal beberapa teman yang menyerahkan kehidupan rumah tangganya kepada sang ibu. Ibunya yang mejaga anaknya, ibunya yang memasak, ibunya yang mencuci baju, ibunya yang membersihkan rumah. Saya tidak pernah mendengar keluh kesah dari si ibu tersebut. Hanya saja, melalui mulut beberapa orang, beberapa ibu itu ada yang merasa keberatan. Apalagi katanya sia anak “lupa” memberi uang. Padahal ibu itu dulunya memiliki wirausaha. Namun setelah mengurus segala hal untuk membantu anaknya ia tidak lagi berpenghasilan.

Namun melihat sisi si anak. Saya juga tidak mau terlalu menyalahkan mereka. Terkadang satu dua dari mereka ingin mencari ART dan menempatkan si ibu sebagai pengawas. Hanya saja dengan sulitnya mencari ART, akhirnya si ibu yang turun tangan menjaga anak-anak mereka. Apalagi bila anak perempuan mereka bekerja dan tidak bisa menjaga sang cucu selama 24 jam.

Ada satu teman yang keceplosan cerita. Waktu ibunya bilang tidak mau menjaga anak dia, teman saya itu, langsung protes. Ia bilang, dulu mamanya menjaga anak dari kakak-kakaknya, masa sekarang tidak mau menjaga anaknya. Alamak, harus adil dalam hal begono?! =D

Meski demikian, terkadang apa yang kita pikir beban menjadi kebanggan tersendiri buat ibu kita.Dulu saya sempat tidak mau disetrika baju oleh mama. Bukan apa-apa, saya kasihan. Saya memilih menyetrika sendiri. Namun ternyata mama saya sedih. Beliau bilang, menyetrika adalah salah satu hal yang bisa diberikan seorang mama. Hadeeh! Serba salah jadinya.

Saya tidak mau berpolemik dengan cerita yang saya tulis diatas. Hanya saja, saya ingin mengingatkan diri sendiri? Sudahkah memberikan yang terbaik buat Ibu kita? Bagi orangtuanya yang masih hidup, sudahkah menengok, memberi kabar secara berkala? Sudahkah mendoakan mereka? Ah, sudahlah, Selamat Hari Ibu! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun