Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, ini saatnya kembali penerimaan siswa/i baru untuk tahun pelajaran baru 2017/2018. Permasalahan yang muncul tetap sama dari tahun ke tahun. Meskipun sudah diatur prosedur dan sistemnya, tetap saja penerimaan siswa ini menjadi ricuh dan penuh gonjang-ganjing. Hampir setiap tahun hampir pada setiap jenjang, mengapa bisa demikian? Apakah pemerintah tidak tepat mengatur sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)? Satuan pendidikan menyalahi prosedur PPDB? Atau masyarakat yang sekehendak hati?
Penerimaan siswa baru dapat ditempuh dengan beberapa cara, ada jalur non akademik dan jalur akademik. Jalur non akademik ini bisa berupa prestasi non akademik, misalnya si anak pernah maraih juara non akademik tingkat kabupaten, provinsi, atau nasional, bisa bidang pramuka, kesenian, olah raga dan yang lainnya.
Selain bidang prestasi jalur ini juga termasuk afirmasi, memberi kesempatan bagi masyarakat yang kurang mampu dalam masalah ekonomi dengan dinyatakan dengan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari desa/kelurahan atau yang memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) Kartu Kartu Indonesia Pintar (KIP). Selain itu ada juga jalur lingkungan, bagi masyarakat yang domisilinya berada dekat dengan sekolah dengan jarak tertentu. Baru ada jalur akademik yang pendaftarannya mengandalkan nilai hasil ujian siswa.
Yang menjadi kekhawatiran orang tua ketika anak mereka tidak berprestasi di bidan non akademik, tidak memiliki kartu yang disebutkan tadi, dan hasil ujiannya pun rendah, di sinilah orang tua dan anak mulai gelisah. Belum lagi suka ada anak yang keukeuh tidak boleh tidak harus masuk ke sekolah yang ia inginkan. Orang tua selalu mengalah dan memaksakan ingin masuk ke sekolah tersebut dengan cara apa pun. Tidak sedikit juga orang tua yang negeri minded. Saya menggunakan istilah ini bagi orang tua yang keukeuh ingin agar anaknya sekolah di sekolah negeri, sekolah swasta tidak ada dalam kamusnya, repot memang ketika masyarakat pikirannya terpaku pada sekolah negeri saja.
Rawan memang masa-masa pendaftaran ini. Begitu ke sekolah mendadak banyak LSM, anggota dewan, pejabat pemda, pejabat dinas pendidikan, yang semua membawa daftar nama siswa yang ingin diterima di sekolah tersebut. Tentunya ini jelas siswa-siswa yang diperkirakan tidak akan lolos baik jalur non akademik maupun akademik. Hmmm... sudah bisa dibayangkan bukan? Kegaduhan, ketegangan, dan suasana tak nyama di sekolah, membingungkan kepala sekolah, juga para panitia, yang terjadi malah merampas hak anak yang seharusnya bisa masuk namun nasibnya tergeser oleh nak dan orang tua yang keukeuh ini.
Bagaiman menyikapi ini semua? Belum ada kiat jitu untuk menghadapi serba serbi masa PPDB ini. Prosedur sudah dibuat sedemikian rupa untuk mewadahi dan memfasilitas berbagai kemungkinan yang ada di masyarakat, tapi tetap saja ingar-binger PPDB ini menjadi seksi. Ini terjadi pada sekolah-sekolah di kota, sekolah yang sudah terkenal dan cenderung sekolah besar, yang tiap tahun tidak kekurangan murid, bahkan kelebihan. Berbeda dengan sekolah-sekolah yang ada di daerah, sunyi, tenang, pendaftar sedanya, bahkan kurang dari quota yang seharusnya, tidak ada gesek-gesekan, tidak ada intimidasi, ttitipan-titipan dari pejabat, asal mau, asal daftar, bahkan sampai ada sekolah yang harus jor-joran beriklan, bahkan menjemput calon siswa agar mau masuk ke sekolah tersebut.
Nah di sini terlihat ketimpangan, satu sisi ada sekolah kebanjiran murid, dengan orang tua bersusah payah menempuh berbagai cara agar bisa masuk ke sekolah tersebut, di sisi lain ada sekolah yang merana kekurangan murid, bahkan sepi pendaftar. Aturan perkelas 36 siswa bagi SMP mudah-mudahan bisa menjadi solusi, berbagi siswa dengan sekolah-sekolah yang hidup segan mati tak mau karena kekurangan murid setiap tahunnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H