Mohon tunggu...
GoresanChuyans
GoresanChuyans Mohon Tunggu... Lainnya - Lajnah berhijrah

"Lahirkanlah keikhlasan yang hakiki dalam hati kita dengan selalu berusaha untuk berbuat baik. Tanpa mengharapkan suatu balasan duniawi dan semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah SWT"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perlunya Seorang Khalifah (Imam)

3 Februari 2021   22:53 Diperbarui: 3 Februari 2021   23:23 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketahuilah bahwa dari hadits shahih terbukti bahwa, "barangsiapa yang dalam hidupnya ia tidak mengenal imam zamannya, maka jika ia wafat, ia akan wafat dalam keadaan jahiliyah"

Hadits ini memadai bagi hati seorang mutaki untuk mencari Imam zamannya sebab kewafatan jahiliyah merupakan suatu kemalangan besar sehingga tidak ada suatu keburukan dan kesialan yang lebih buruk daripada itu. Oleh karena itu, dengan adanya wasiat Rasulullah Saw tersebut maka perlulah bagi setiap pencari kebenaran agar senantiasa berusaha mencari Imam (khalifah) yang benar.

Tidaklah benar bahwa setiap orang yang dianugerahi mimpi yang benar atau yang kepadanya terbuka pintu Wahyu samawi dapat disebut Imam (khalifah). Seorang Imam (khalifah) memerlukan suatu kondisi yang komprehensif serta keadaan yang sempurna dan mutlak sehingga di langit namanya disebut Imam (khalifah). Sangatlah jelas bahwa seseorang tidak dapat disebut Imam (khalifah) hanya karena ketakwaannya dan kesuciannya saja.

Andaikata setiap orang mutaki berpredikat sebagai Imam (khalifah) maka secara otomatis semua orang mukmin yang mutaki merupakan Imam. Demikian pula menurut nash Al-Qur'an, tidaklah setiap mulham (penerima ilham) atau shibi ru'ya shadiqah (orang-orang yang dianugerahi mimpi-mimpi benar) itu di sebut Imam (khalifah), sebab telah dijanjikan bagi orang-orang mukmin pada umumnya bahwa,

"Yakni, di dunia ini pula orang-orang mukmin akan memperoleh nikmat dengan acapkali mendapat mimpi-mimpi dan wahyu-wahyu yang benar"

Ditempat lain Al-Qur'an menerangkan bahwa,

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan kemudian menempuh jalan Istiqomah (keteguhan), maka para malaikat akan senantiasa menurunkan Wahyu yang mengandung kabar suka kepada mereka"

Namun al-quran menerangkan bahwa ilham-ilham atau mimpi-mimpi serupa itu merupakan nikmat ruhani bagi orang-orang mukmin laki-laki maupun perempuan. Pada kenyataannya, mereka yang menerima Wahyu demikian bukan berarti tidak lagi memerlukan Imam zaman.

Sering kali Wahyu itu hanya berkaitan dengan pribadi mereka dan tidak mengandung pengetahuan ruhani serta tidak pula keyakinan yang agung.

Sungguh banyak dari Wahyu tersebut di jadikan sandaran. Sebaliknya, Wahyu tersebut terkadang menyebabkan seseorang menjadi tersandung. Selama pengetahuan ruhani tidak disampaikan melalui petunjuk seorang Imam (khalifah), maka tidak ada seorang pun yang selamat dari bahaya ini.

Kesaksian terhadap hal ini dapat diperoleh pada masa permulaan Islam: Karena senantiasa berada di dekat cahaya nubuwwat, seseorang yang menjadi katib (juru catat) al-quran akan seringkali mengambil bagian dari Wahyu ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kepada Imam, yakni Rasulullah Saw. Setiap kali beliau Saw menyuruhnya untuk mencatat. Pada suatu hari timbul dalam pikirannya bahwa,

"Apa perbedaan dirinya dengan Rasulullah Saw, karena ia pun mendapatkan Wahyu"

Pikiran seperti itu membawanya kepada kebinasaan. Menurut suatu riwayat, kuburannya pun melemparkannya keluar sebagaimana halnya bal'am yang juga sama-sama dibinasakan.

Hz. Umar ra pun menerima Wahyu samawi, tapi beliau menganggap dirinya tidak berharga sama sekali serta tidak memiliki ambisi untuk menyaingi Imamati haqqah (keimaman yang sejati) yang tuhan samawi telah tegakkan di permukaan bumi Ini. Bahkan beliau ra menganggap dirinya lebih rendah lagi daripada seorang sahaya. Oleh karena itu, karunia Allah ta'ala menjadikan beliau wakil Imamati haqqah.

Kepada Uwais Qarni ra pun turun Wahyu. Beliau begitu rendah hati sehingga beliau merasa tidak sopan untuk datang ke hadapan sang matahari Nubuwwat dan Imamat Saw. Sayyidina Hadhrat Musthafa Saw acapkali menghadapkan wajah beliau ke arah Yaman seraya bersabda:

"Kepadaku sampai aroma wangi yang maha pengasih dari Yaman"

Ungkapan tersebut mengisyaratkan kepada kenyataan bahwa cahaya Tuhan menyimbahi Uwais.

Akan tetapi sayangnya, pada zaman ini kebanyakan orang tidak memahami perlunya lembaga Imamati Haqqah (keimaman yang sejati). Hanya dengan memperoleh mimpi-mimpi yang benar atau dengan beberapa kalimat Wahyu, mereka beranggapan bahwa mereka tidak memerlukan seorang Imam zaman. "Apakah di dalam diri kami ada sesuatu yang kurang?" Mereka pun tidak menyadari bahwa pikiran semacam itu sungguh-sungguh merupakan maksiat, sebab nabi kita Rasulullah Saw telah menetapkan perlunya seorang Imam zaman untuk tiap-tiap abad serta dengan tegas mengatakan bahwa, 

"barangsiapa yang datang ke hadhirat Tuhan dalam keadaan tidak mengenal Imam zamannya, berarti ia datang dalam keadaan buta dan akan wafat dalam keadaan wafat-jahiliyah"

Di dalam hadits itu jungjungan kita Rasulullah Saw tidak membuat pengecualian bagi seorang mulham atau pelihat-mimpi pun. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa, baik seorang mulham ataupun seorang pelihat-mimpi apabila ia tidak masuk kedalam jemaat Imam zaman maka akhir hidupnya akan menyedihkan, karena sudah jelas bahwa hadits ini ditujukan kepada seluruh orang-orang mukmin dan Muslim.

Diantara mereka, terdapat ribuan orang yang senantiasa merasakan mimpi-mimpi yang benar serta memperoleh Wahyu di setiap zaman. Bahkan sebenarnya di tengah-tengah umat nabi Muhammad Saw ini akan terdapat puluhan juta hamba-Allah yang dikaruniai ilham. Di samping itu, dari hadits dan Al-Qur'an pun terbukti bahwa apabila di masa Imam zaman ada seseorang yang mendapatkan mimpi yang benar atau Wahyu, maka hal demikian itu sebenarnya juga merupakan pantulan cahaya Imam zaman yang jatuh pada hati orang-orang yang layak menerimanya. Hakikatnya ialah tatkala datang seorang Imam zaman didunia ini maka beribu-ribu cahaya datang menyertainya dan di langit timbul suasana meriah.

Dengan pancaran kerohanian dan cahaya tersebut maka segala kemampuan luhur menjadi hidup kembali.

Walhasil, barangsiapa yang memiliki kemampuan tersebut mulai memperoleh serangkaian Wahyu. Barangsiapa yang memiliki kemampuan untuk memahami segala persoalan keagamaan melalui daya pikir dan daya renung, maka kemampuannya tersebut akan di tingkatkan. Barangsiapa yang memiliki kecendrungan terhadap ibadah dianugerahi kelezatan di dalam beribadah. Dan barangsiapa yang gemar berdialog dengan golongan lain, ia dianugerahi kekuatan untuk berdalil serta menyampaikan hujjah yang sempurna.

Semua keberkatan ini sebenarnya merupakan hasil dari pancaran keruhanian yang turun dari langit bersama dengan seorang Imam zaman dan singgah di dalam hati setiap orang yang siap dan layak. Ini adalah hukum yang sudah lazim dan juga merupakan Sunnah illahi yang kita pahami melalui bimbingan Al-Qur'an dan hadits-hadits shahih dan pengalaman-pengalaman pribadi juga telah memberikan kesaksian.

Akan tetapi zaman Masih Mau'ud as memiliki keistimewaan lebih dari pada itu, ialah tercantum didalam kitab-kitab para Nabi terdahulu dan di dalam hadits-hadits Rasulullah Saw bahwa pada saat turunnya Masih Mau'ud as, pancaran keruhanian itu sedemikian jauh jangkauannya sehingga para wanita pun akan mulai menerima ilham, anak-anak yang belum dewasa akan membuat nubuwatan dan orang-orang biasa akan berbicara dengan rohulqudus.

Jika tidak ada nasib malang atau ujian dan cobaan dari Allah ta'ala maka seorang insan yang bijak dapat memahami rahasia ini dengan segera. Jika, Naudzubillah.. ada seseorang yang tidak memahami rahasia illahi ini dan tidak menjalin hubungan dengan seorang Imam zaman meskipun telah mendengar kabar kedatangannya, maka pada mulanya ia menunjukkan rasa acuh terhadap Imam tersebut yang kemudian menimbulkan kerenggangan dan pada gilirannya hal ini mulai menciptakan prasangka buruk serta menghasilkan rasa permusuhan. Pada akhirnya, naudzubillah, ia akan kehilangan keimanannya. Sebagaimana pada waktu junjungan kita Rasulullah Saw diutus, terdapat ribuan rahib, mulham, dan ahli kasyaf. Mereka senantiasa mengumandangkan kabar suka bahwa saat bagi kedatangan Nabi akhir zaman telah dekat. Akan tetapi Ketika mereka tidak menerima Imam zaman yakni khatamul Anbiya Saw (penghulu segala nabi) maka petir murka illahi telah membinasakan mereka dan hubungan mereka dengan Tuhan menjadi terputus sama sekali.

Diantara para rahib mereka juga terdapat orang-orang yang baik dan shaleh. Mereka senantiasa mendapat Wahyu bahwa Nabi akhir zaman dan Imam zaman akan segera muncul. Itulah mengapa beberapa ulama Rabbani yang telah menerima Wahyu dari Allah ta'ala ini datang dan bermukim di negri Arab. Akan tetapi tatkala Nabi yang dijanjikan Saw itu muncul, maka sifat kecongkakan dan kefanatikan telah membinasakan kebanyakan rahib itu dan hati mereka telah menjadi hitam kelam. Namun beberapa diantaranya yang bernasib baik menjadi muslim dan keislaman mereka patut dipuji.

Pendek kata, hendaklah hal ini membawa kita kepada rasa takut terhadap Allah SWT dan menjadi sangat berhati-hati dan waspada.

Hendaklah diingat di sini, bahwa Allah SWT telah menjadikan berbagai suku bangsa dengan tujuan supaya tegaknya suatu tatanan peradaban jasmani sehingga kerjasama dan rasa belas kasih dapat terjalin di kalangan manusia melalui hubungan dan ikatan timbal balik. Jadi dengan tujuan itu pulalah dia telah menegakkan tatanan silsilah kenabian dan Imamat agar di dalam umat Muhammad Saw ini tercipta hubungan-hubungan ruhani sehingga satu sama lain akan saling memberikan syafaat.

Lalu, sebuah pertanyaan pun terbersit. "Siapakah yang disebut Imam zaman itu dan apakah keunggulannya dari para mulham, para pelihat-mimpi dan para ahli kasyaf lainnya?"

Jawaban untuk pertanyaan itu ialah bahwa, Imam zaman merupakan nama bagi seseorang yang tarbiyat keruhaniannya langsung dari Allah SWT. Dia menanamkan suatu cahaya imamat didalam fitratnya sedemikian rupa sehingga ia unggul di atas seluruh ahli pikir dan filosofi di seluruh dunia serta mengalahkan mereka semua dalam sebuah perdebatan. Dengan kekuatan dari Allah SWT, ia menjawab dengan begitu gemilangnya segala macam keberatan yang halus dan yang tidak dapat di mengerti sehingga pada akhirnya terpaksa diakui bahwa fitratnya telah datang ke dunia fana ini dengan membawa segala sarana yang lengkap untuk memperbaikinya. Oleh karena itu, ia tidak akan merasa malu di hadapan musuh. Secara rohani, ia adalah seorang panglima lasykar Muhammad Saw dan merupakan kehendak Allah ta'ala bahwa ditangannya, agama (Islam) akan memperoleh kemenangan untuk kedua kalinya.

Mereka yang datang bernaung di bawah benderanya juga dianugerahi berbagai kemampuan bertaraf tinggi. Di dalam dirinya diberkati dengan segala syarat yang diperlukan untuk mengadakan perbaikan serta segala ilmu yang diperlukan untuk menyangkal segala keberatan dan juga untuk menampilkan segala keindahan Islam.

Di samping itu, karena Allah SWT mengetahui bahwa ia akan dan harus berhadapan pula dengan orang-orang tak beradab dan lancang maka ia juga dianugerahkan derajat tinggi dalam kekuatan moral. Di dalam hatinya bersemayam rasa kasih sayang sejati kepada segenap umat manusia.

Seorang Imam (khalifah), tidaklah seperti orang-orang yang suka mendendam dan cepat marah dan yang langsung terbakar emosi setelah mendengar caci-makian dan pada wajah mereka tampak tanda-tanda azab yang pedih, yang disebut kemurkaan serta terus saja melontarkan perkataan penuh gejolak amarah dan membakar hati tanpa kenal waktu dan kesempatan. Ini bukanlah kondisi mereka yang memiliki akhlak.

Pendek kata, adalah wajib bagi para Imam (khalifah) untuk memiliki keadaan akhlak yang sempurna. Sebuah perkataan yang kasar tidaklah bertentangan dengan keadaan akhlak jika disampaikan bukan karena gejolak emosi dan amarah serta sesuai pada tempatnya dan keperluannya. Patut dijelaskan bahwa, "Barangsiapa yang dijadikan Imam (khalifah) oleh tangan Tuhan maka di dalam fitratnya pun ditanamkan kekuatan Imamat (keimaman).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun