Pada Rabu 2 November 2023, saya nonton pada kesempatan pertama penayangan film Budi Pekerti di bioskop.
Ditulis dan disutradarai Wregas Bhanuteja, film ini kembali menyampaikan pesan kuat bagaimana kita harus berpikir jernih dan bersikap bijaksana menghadapi orang-orang angkuh di dunia media sosial.
Mengambil latar Yogya yang guyub pada masa pandemi, Budi Pekerti berkisah tentang keluarga Prani Siswoyo (Sha Ine Febriyanti), guru bimbingan penyuluh (BP) SMP Pengemban Utama, yang begitu dekat dan hangat dengan siswanya.
Prani punya salam khas dan pendekatan yang ia istilahkan dengan 'refleksi' kala memberikan sanksi pada siswa yang indisipliner. Prani juga sedang berkampanye untuk dipromosikan sebagai wakil kepala sekolah bidang kemahasiswaan.
Prani adalah istri Didit Wibowo (Dwi Sasono), pengusaha yang menderita depresi karena usaha yang dirintis seperti budidaya ikan cupang dan bisnis batu akik terpuruk karena pandemi Covid-19. Mereka punya sepasang anak. Si sulung Tita (Prilly Latuconsina), anggota band musik yang menyambi jualan online baju bekas. Sedangkan adiknya, Muklas (Angga Yunanda) adalah konten kreator yang menerima endorsment brand di kanal yang ia beri nama "Muklas Animalus".
Tragedi keluarga dimulai saat Prani hendak membeli kue putu legendaris sejak zaman ia kuliah, putu Mbok Rahayu di sebuah pasar. Berkat media sosial kedai putu Mbok Rahayu sangat ramai sehingga menerapkan nomor antrian bagi pelanggannya.
Prani mendapatkan antrian nomor 56, dan ia tetap bersabar menunggu giliran, sampai ia kemudian menegur satu pengunjung pasar yang menyerobot antrian, tapi teguran sopan berujung keributan. Prani pun pergi dengan marah sambil mengeluh dan mengumpat dalam bahasa Jawa. Prani sebenarnya menyebut "Ah suwi" yang artinya 'Ah lama' tapi oleh netizen, ia terdengar memaki Mbok Rahayu dengan "Asuui' yang bermakna "Anjing".
Ternyata ada orang di keramaian tersebut yang merekam pertikaian itu dan memposting di media sosial, yang kemudian ditonton puluhan ribu orang. Jika melihat rekaman sepintas tentu netizen akan mudah menyalahkan Prani sebagai antagonis, yang terkesan mengumpat Mbok Rahayu yang sudah sepuh.
Prani tak menyangka percekcokan di pasar itu berakibat panjang dan berdampak luas pada keluarga dan karirnya sebagai guru. Ia terancam gagal dipromosikan sebagai wakil kepala sekolah. Tita dan Muklas pun ikut terseret dari kasus yang menerpa ibunya. Ia dirundung netizen dan bahkan oleh rekan-rekannya yang dengan cepat menghakimi.
Kasus Prani juga menguji soliditas lembaga sekolah menyikapinya, yang ironisnya tidak punya keberanian untuk membela kebenaran, tapi justru ikut menyudutkan Prani demi menjaga "kredibilitas" sekolah yang semu.
Selain cerita yang menarik dan penggarapan yang bagus, seni peran deretan pemain sangat meyakinkan, terutama Sah Ine Febriyanti, yang berakting dengan emosi sangat kuat, melalui tatapan mata, otot wajah, dan gestur tubuh, yang menjelaskan kemarahan, keteguhan, dan keberanian sosok yang berkukuh pada kejujuran.
Film yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari bersama gadget. Betapa rumitnya hidup di era paskakebenaran saat ini, seperti yang diungkapkan Muklas, "Salah opo bener min perkoro sopo sing duwe akeh ngomong" yang artinya salah atau benar ditentukan oleh yang paling banyak orang bicara, bukan berdasarkan fakta.
Praktisi dan kritikus media Amerika Serikat, Leon Wieseltier mengemukakan selalu ada kesenjangan antara suatu inovasi dan pemahaman akan konsekuensinya. Tiap teknologi digunakan sebelum dimengerti sepenuhnya. Kita bisa mendapatkan maupun kehilangan banyak hal. Saat ini satu orang bisa bermanfaat bagi banyak orang, begitu juga sebaliknya satu orang bisa menghancurkan banyak orang. Kita hidup dalam kesenjangan itu.
Jika kita baca buku Upheaveal, Jared Diamond juga memprihatinkan kemorosotan kebajikan sosial dalam dunia digital seiring meningkatnya komunikasi daring. Orang cenderung lebih "berani' bersikap kasar dari jauh. Sesudah terbiasa bersikap kasar dari jauh, langkah selanjutnya bersikap kasar pada manusia saat tatap muka menjadi lebih mudah (342).
Film ini adalah refleksi terhadap fenomena tersebut. Setelah Penyalin Cahaya pada 2021, Budi Pekerti film panjang kedua Wregas. Keduanya menggugat kebrutalan media sosial memperlakukan seorang menjadi korban. Sudah berapa banyak orang tersiksa jiwanya mengalami perundungan. Orang-orang di media sosial tidak mengerti korban yang dirundungnya punya perasaan dan punya keluarga.
Satu pesan relevan setelah menontonnya bahwa yang kita saksikan di media sosial adalah banyak kebohongan dan kejahatan yang dilakukan dari orang-orang yang tampaknya baik.
Sekali lagi kejernihan pikiran menjadi modal utama menghadapi dunia fiksi yang kejam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H