Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kilas Balik Piala Dunia 2014, Tragedi Mineirazo, dan Final Klasik di Maracana

14 November 2022   13:44 Diperbarui: 14 November 2022   13:46 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Piala Dunia 2014 edisi ke-20 digelar di Brasil, negara dengan budaya sepak bola yang sudah mendarah daging bagi setiap masyarakatnya.

Selecao difavoritkan meraih trofi Piala Dunia ke-6, bukan hanya karena mereka berstatus tuan rumah, bukan juga hanya karena dilatih oleh pelatih berpengalaman, Felipe Scolarie. Brasil memiliki materi pemain dengan talenta-talenta tinggi.

Pada mulanya, deretan pertandingan awal membuktikan bahwa Brasil adalah Piala Dunia paling kejam bagi tim Eropa. Lihat saja, lebih dari separuh wakil Eropa rontok sebelum babak 16 besar. Tak tanggung-tanggung, Spanyol, juara bertahan tampil memalukan dan sangat menderita. La Furia Roja hancur dicabik-cabik oleh pasukan "Oranye" Belanda, 1-5.

Italia dan Inggris dengan gemerlap liganya, pulang membawa luka dari grup yang sama. Dua raksasa juara dunia itu takluk dari negara kurcaci Kosta Rika. Portugal juga melempem meski diperkuat Cristiano Ronaldo, pemenang Ballon d'Or 2013 yang mewujudkan gelar decima bagi Real Madrid. Superstar hanya membuat sebiji gol, kalah bersaing dengan rival, Jerman dan Amerika Serikat, di penyisihan.

Namun tak ada tim paling menderita selain tuan rumah Brasil. Dua kali menjadi tuan rumah, dua kali pula seluruh orang Brasil merasakan kehancuran dan menanggung aib dalam waktu yang sangat panjang.

Tragedi Maracanazo yang terus menghantui selama 64 tahun mungkin bisa ditutup dan mulai dilupakan, namun ironisnya tragedi itu digantikan dengan bencana sepak bola paling kelam bagi negara pemegang lima Piala Dunia. Orang akan menyebutnya Mineirazo, merujuk kota kekalahan telak 1-7 dari Jerman di semifinal.

Tentu Mineirazo akan terus melukai seluruh Brasil dalam waktu yang sangat panjang.

"Jangan pernah lagi ada Piala Dunia di Brasil", begitu kata banyak penduduk Brasil.

Final Klasik

Jerman versus Argentina adalah sebuah final klasik yang sangat dinanti-nantikan. Ambisi, gengsi, prestise, dan mungkin saja dendam sudah mengawali duel bersejarah di Rio de Jeneiro sebelum pertarungan itu berlangsung.

Ini final yang sama persis dengan Piala Dunia 1986 dan 1990. Dua laga puncak dengan dua drama berbeda itu begitu mudah diingat penggemar sepak bola karena aktor utamanya adalah Diego Armando Maradona.

Piala Dunia 2014 the greatest on earth, akhirnya dimenangi the greatest team, Jerman. Gol extra time Mario Goetze, menyudahi perlawanan alot Argentina di Estadio Maracana, kuil sepak bola Brasil. Jerman berhak menuliskan namanya di dasar trofi Piala Dunia, untuk keempat kali.

Para pendukung pun berteriak "Germany Weltmeister", Jerman Juara Dunia. Super star Lionel Messi, tak dapat menyembunyikan wajah pedih setelah gagal menyamai sukses Maradona 28 tahun sebelumnya. Gelar individu tournament best player tak bisa menghiburnya sedikit pun.

Sekali lagi ini adalah Piala Dunia di mana tim yang paling terorganisasi, fit, disiplin, dan punya mental dan semangat baja yang akan memenanginya. Jerman punya banyak pemain kelas dunia yang sudah mencapai usia emasnya, tapi mereka bekerja serempak sebagai tim.

Ini Piala Dunia yang tidak dapat menampilkan ambisi pribadi. Dahulu mungkin Diego Maradona begitu mudahnya meliuk dan seolah seorang diri menjuarai Piala Dunia 1986. Cristiano Ronaldo mencoba hal serupa bersama Portugal, tapi gagal. Lionel Messi pun demikian, tak akan bisa sendirian mengantar Argentina Juara Dunia.

Jerman Menemukan El Dorado

Bangsa Eropa harus menanti 84 tahun dalam delapan kali kesempatan untuk menaklukkan benua Amerika. Sang penakluknya bernama Jerman, wakil Eropa yang menemukan El Dorado, kota hilang yang kaya akan emas di tanah Latin.

Jerman pantas menjadi yang terbaik di antara yang terbaik. Jerman memenangi gelar keempat mereka, dengan cara yang berkelas, menumbangkan tiga negara berstatus juara dunia: Perancis, Brasil, dan Argentina.

Mereka bermain stabil dan solid sebagai sebuah tim. Tidak ada negara lain di Piala Dunia yang memainkan sepak bola serapih, sekreatif, seefektif, dan mematikan seperti yang ditampilkan Bastian Schweinsteiger, cs. Kejayaan Jerman sekaligus kemenangan sepak bola modern.

Apa yang diraih pasukan skuad Joachim Loew bukan hasil kerja singkat dan mudah. Mereka memetik buah kerja keras bertahun-tahun. Tenaga, keringat, darah, dan airmata telah mereka korbankan. Di beberapa turnamen akbar sebelumnya, mereka sudah sangat dekat dengan gelar juara.

Jerman memberikan contoh bagaimana bangkit dari kegagalan demi kegagalan. Mereka tak pernah kehilangan motivasi, terus bekerja keras, untuk memberikan kebanggaan pada negara mereka.  Dan kini mereka sudah menuntaskan penantian indah di Brasil 2014.  

Germany Weltmeister.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun