Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kilas Balik Piala Dunia 2006, Revolusi Jerman, Perpisahan Tragis Zidane, dan Kejayaan Italia

11 November 2022   10:18 Diperbarui: 11 November 2022   10:43 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: https://www.bola.net/)

Sedikit pengantar mengenang momen Piala Dunia Jerman 2006.

Setiap kali pesta akbar Piala Dunia menjelang, ada semacam joke di lingkaran mahasiswa perantau yang menempuh pendidikan di kota Jogja. 

Begini, mayoritas mahasiswa menetap di Jogja selama 4-5 tahun, merujuk masa kuliah, dari semester pertama sampai wisuda. Nah, jika dikaitkan ajang Piala Dunia yang dihelat empat tahun sekali, berarti normalnya mahasiswa melewatkan 1 Piala Dunia, bisa juga 2 kali. 

Jika Piala Dunia ke-3 masih juga di Jogja, hal itu dapat menjelaskan besar kemungkinan studi mahasiswa bersangkutan molor dari jadwal. Hehehe.

Saya sendiri sepuluh tahun bermukim di Jogja (1997-2007), mulai dari siswa SMA, mahasiswa sarjana, dan mahasiswa magister. Jadi saya termasuk melewati 3 Piala Dunia di kota gudeg (France 1998, Korea-Jepang 2002, dan Jerman 2006).

Piala Dunia membuat saya selalu ingin kembali ke kota bersahaja yang telah menjadi rumah kedua saya. 

Standar Jerman

Piala Dunia ke-18 kembali berlangsung di benua biru, tepatnya negara Jerman. Bos FIFA, Sepp Blatter, mengapresiasi tinggi kerja komite panitia yang dipimpin "kaisar" Franz Beckenbauer.

Piala Dunia bagi Jerman, seperti wahana untuk memamerkan tingginya standar mereka dalam mengurus sebuah ajang yang menjadi pusat perhatian. 

Kultur sepak bola, stadion representatif, rapihnya sistem transportasi, akomodasi memadai, dan fasilitas lain, membuat semua orang yang datang ke Jerman berdecak kagum.

Kualitas pertandingan pun mengalami peningkatan, makin kompetitif, meski banyak pengamat menilai banyak tim bermain pragmatis, fenomena satu striker menjadi pilihan sejumlah pelatih. 

Momen yang paling saya ingat adalah perjalanan Italia menjadi juara dunia yang penuh liku, drama, kontroversi, serta ketangguhan mental pemain anak latih Marcello Lippi, di tengah badai skandal calciopoli di dalam negeri. 

Italia bergabung dalam grup keras, mengawali turnamen dengan susah payah menekuk Ghana. Sempat ditahan imbang AS 1-1, lewat permainan keras cenderung brutal. Baru di pertandingan ketiga, Italia memastikan lolos ke fase knock-out , setelah menang 2-0 atas Ceska, yang dimotori Pavel Nedved. Itu laga perpisahan emosional bagi Nedved di sepak bola yang karirnya begitu panjang di Serie-A.

Seperti yang sudah-sudah, jika sudah di babak gugur, Italia sangat sulit dihentikan. Di perdelapan final, Italia menang kontroversial lewat gol penalti di injury time, akibat aksi pura-pura jatuh bek Fabio Grosso yang merangsek ke kotak pinalti Australia. Totti yang bertugas mengeksekusi tak menyiakan kesempatan emas itu. 

Australia yang ditangani Guus Hiddink dan pendukungnya marah besar, mengecam wasit Luis Medina Cantalejo asal Spanyol, mengutuk drama Grosso, dan memprotes FIFA. Skandal semacam ini bukan pertama kali terjadi, Australia mungkin belum siap menerima bahwa apa saja bisa terjadi dalam event Piala Dunia.

Di perempat final, Italia sedikit mulus dengan unggul telak 3-0 atas tim kejutan debutan Ukraina. Selanjutnya mereka sudah ditunggu Jerman. 

Kali ini Jerman sangat diunggulkan menghentikan laju Italia, dan kemudian Die Mannschaft terbang ke Berlin, menuntaskan pertandingan final. Kemenangan atas Argentina di perempat final, membuat mereka berada pada puncak kepercayaan tinggi.

Pirlo dan Grosso

Namun mereka sedikit lupa data sejarah tak memihak Jerman. Panser tak pernah bisa menggilas Azzuri di Piala Dunia. 

Laga yang berlangsung pada 5 Juli 2006 di kota Dortmund inilah pertadingan terbaik 2006. Saya masih dapat mengingat serunya nobar akbar di kawasan Malioboro, perempatan 0-km ikon Jogja yang legendaris.

Laga klasik berlangsung dengan tempo tinggi, ketat, dan sangat mendebarkan. Meski menguasai lapangan dengan serangkaian kans, Jerman tak bisa membobol gawang Gialuigi Buffon. Italia pun belum berhasil meski juga sesekali mengancam lini belakang Jerman. Pertandingan dilanjutkan ke babak tambahan, dan sepertinya harus ditentukan melalui adu penalti.

Nyatanya tidak. Italia mendapat sepak pojok pada menit ke-118. Alesandro del Piero menendangkan bola ke tengah kotak penalti. Bek Jerman Andrie Friedriech menghalau dengan sundulan. Bola jatuh di kaki Andrea Pirlo di depan garis kotak, dengan tenang mengontrol. Dugaanku Pirlo akan menembak langsung dari luar kotak. 

Saat itulah intuisi deep playmaker ini berperan krusial. Dalam sekejap dan tak terduga, Pirlo ternyata mengumpan pelan kepada Fabio Grosso, yang entah dari mana sudah berada di sisi kiri tak terkawal pertahanan Jermann. Asis Pirlo itu dikakukan dengan sangat gaya, tanpa melihat Grosso, seperti gerak khas pebasket Magic Johnson. 

Ketika bola datang, posisi Grosso setengah memunggungi gawang, tanpa kontrol, tendangan kaki kiri Grosso melaju dengan melengkung dan menghujam telak di pojok kanan atas gawang. Kiper Jens Lehmann, sudah membuang badan, namun tak kuasa menggapai bola. Gol 1-0, di menit ke-119.

Jerman masih berusaha di waktu yang sangat sempit. Sempat ada satu peluang melalui umpan tarik ke area gawang Buffon, namun berhasil dicegah keluar kapten Fabio Cannavaro, yang bermain tanpa kesalahan sepanjang turnamen. Haluan Canna itu merupakan peluang terakhir Jerman, sekaligus serangan balik Italia yang berbuah gol kedua oleh Del Piero, tepat di menit ke-120. 

Dramatis, impian Jeman  terhenti dengan cara menyesakkan. Italia lah yang ke Berlin memburu trofi emas, sedangkan Jerman dengan sisa air mata, terbang ke Stuttgart hanya untuk pertandingan hiburan melawan Portugal.

Di laga final, juga selalu dikenang sebagai momen kuat Piala Dunia. Apalagi kalau bukan tandukan kepala Zinedine Zidane terhadap Marco Materazzi. Insiden itu terjadi saat emosi tak bisa dikendalikan Zidane ketika dilecehkan Materazzi yang konon menghina saudara perempuannya. 

Zizou diusir, lalu Perancis takluk melalui adu pinalti. Foto tandukan dan langkah Zizou keluar lapangan melewati trofi Piala Dunia yang dipajang sangat populer sampai sekarang.

Sangat disayangkan, sang maestro menutup karirnya yang bergelimang trofi dengan cara tak sportif, apapa pun alasan yang melatarbelakangi. Sama halnya mengapa muncul spekulasi-spekulasi yang lebih heboh daripada faka yang terjadi di lapangan hijau menilai tragedi terebut. 

Buat saya klimaks Piala Dunia 2006 adalah kejayaan Azzuri di Jerman.

Sampai jumpa di Afrika Selatan 2010. Waka-waka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun