Sejak lahir saya tinggal di kota. Sehingga saya tak pernah membayangkan bisa menetap selain di kota. Walaupun seringkali kehidupan metropolitan digambarkan sangat keras dan kejam.
Sebuah kota bukanlah tentang bangunan, tidak soal mal, bukan hotel, dan tidak pula mengenai gedung perkantoran. Kota adalah tentang manusia, tempat kita mengekspresikan cinta.
Ukuran kemajuan kota bukan dilihat dari tingkat ekonomi dan infrastruktur, melainkan dari seberapa bahagia manusianya. Jika masyarakat bahagia maka akan menumbuhkan sikap positif dan dapat mengembangkan diri secara baik.
Ahli perkotaan dari Jerman, Charles Landry, mengatakan kota harus menjadi jangkar, seperti rumah yang memberi rasa stabil, ada tradisi yang dijaga dan berbeda satu sama lain.
Kota harus memiliki tujuan jelas akan menuju ke mana dan menjadi apa. Dengan kata lain harus memberi stimulasi, kegairahan, memiliki privasi tapi terkoneksi dengan mudah dengan dunia luar. Tantangannya adalah menciptakan kota yang seimbang.
Kota dikatakan nyaman dan seimbang paling tidak jika memenuhi kebutuhan dasar, fasilitas publik, ruang terbuka, keamanan, keterhubungan secara sosial, kualitas arsitektur baik, lingkungan hijau, akses terhadap alam, kondisi bisnis, dan pengembangan kebijakan bermanfaat.
Persepsi dan teori di atas mungkin sangat ideal, dan barangkali juga tak ada satu pun kota di dunia ini yang memenuhi sempurna seluruh indikator kota bahagia sehingga membuat tempat tersebut layaknya surga terindah. Tetap saja, setiap kota akan selalu memiliki masalah kompleks.
Catatan di atas menjadi pengantar saya untuk mengucapkan dirgahayu kota Makassar ke-415 pada hari ini, 9 November 2022.
Makassar, I love you. I hate you.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H