Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Malam Penebusan Gareth Southgate di Wembley

29 Juni 2021   17:03 Diperbarui: 29 Juni 2021   17:37 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rupanya sudah seperempat abad drama sepak bola yang terkenal itu.

Sejak dipastikan Jerman bakal berhadapan dengan Inggris pada babak- 16 besar Piala Eropa 2020 di Stadion Wembley, pada Selasa 29 Juni 2021, pikiran saya mengerucut pada sosok Gareth Southgate, manager Inggris.

Setiap berbicara Southgate, bagi saya, waktu seolah terlipat kembali menuju 25 tahun lalu. Yes, turnamen Piala Eropa 1996, yang berlangsung di Inggris merupakan sedikit turnamen sepak bola yang saya ingat detail momen-momen terbaiknya.

Satu paling melekat tentu saja perjalanan dan ambisi tim Inggris menjuarai Piala Eropa untuk pertama kali. Tim 'Tiga Singa" dilatih Terry Venables dengan skuad mentereng: David Seaman, Tony Adams, Stuart Pearce, duo Paul (Ince dan Gascoigne), dan duet predator yang terkenal dengan "SAS" (Alan Shearer dan Teddy Sheringham). Southgate barangkali anggota tim termuda kala itu, usia 25.

Inggris bermain spektakuler dengan kemenangan meyakinkan atas Skotlandia 2-0, dan membantai Belanda 4-1. Kemenangan fantastis dengan menampilkan permainan gaya khas Inggris yang kondang dengan "Kick and Rush". Gol demi gol yang diceploskan ke gawang Skotlandia dan Belanda sungguh berkelas, lahir dari kerja sama apik dari semua lini.

Gol spektakuler Paul Gascoigne ke gawang Andy Goram paling fenomenal, bahkan hingga sekarang masih sering diputar. Gol tersebut tercipta bermula dari tendangan gawang David Seaman jauh ke tengah lapangan. Bola kemudian disambut Steve Mc Manaman, yang kemudian dengan sekali kontrol, menyodorkan ke Darren Anderton, di sisi kiri.

Anderton tanpa kontrol melepas umpan melambung ke kotak penalti Skotlandia, Gazza yang dituju, dengan insting tepat, menggunakan kaki kiri, bola dicip untuk mengelabui bek Colin Hendry. Hendry tak menyangka bola melewati wajah dan kepalanya, membuatnya hilang keseimbangan. Di saat bersamaan Gazza melepaskan tembakan voli kaki kanan akurat yang tak mampu dihadang Andy Goram!!

Publik Inggris terus bernyanyi, bersuka cita dan berpesta. Skuad, suporter, media, merasa sangat yakin inilah saatnya mereka juara setelah 30 tahun lamanya menunggu. Football's coming home.

****

Drama itu terjadi di babak semifinal melawan musuh besar, Jerman. Di stadion klasik Wembley, duel yang mengulang memori final Piala Dunia 1966, saat Inggris pertama kali sekaligus terakhir kali menjadi juara dunia sepak bola. Laga ini juga mengulang semifinal Piala Dunia 1990, di mana Inggris bercucuran air mata setelah gagal lewat adu penalti di Turin.

Sindhunata dalam buku Air Mata Bola mendeskripsikan laga Inggris versus Jerman, sebagai malam yang sarat beban bagi pemain Inggris, mereka harus melakukan revans terhadap Jerman, sekaligus memulihkan kembali kejayaan Inggris di masa lalu. Tiga puluh tahun lamanya hidup tanpa gelar apa-apa sungguh membuat Inggris menderita.

Namun impian itu dikandaskan kembali oleh kaki-kaki pesepak bola Jerman yang dibintangi Andreas Kopke, Mattias Sammer, Thomas Helmer, di bawah pelatih dingin berwajah pucat, Berti Vogts.

Lagi-lagi mengulang drama di Turin 1990, Inggris kembali takluk melalui adu penalti setelah bermain 1-1 selama 120 menit. Dari seluruh  12 eksekutor penalti dari kedua tim, hanya tembakan algojo Southgate yang gagal bersarang. Inggris kalah 5-6. Selesai sudah semuanya.

Namun tidak buat Southgate, dia larut dalam kesedihan mendalam. Ia menangis digandeng kapten Tony Adams untuk memberi salam perpisahan pada 80 ribu fans Wembley yang tak berhenti bernyanyi sebelum tembakan Soutgate ditahan Kopke. Southgate merasa dia telah meruntuhkan seluruh impian negaranya.

Setelah kekalahan adu penalti di London tersebut, Inggris seperti ditakdirkan untuk selalu menderita kekalahan dari adu tembakan dari jarak 11 meter. Adu penalti yang kejam mengakhiri perjalanan Three Lions berturut-turut di Piala Dunia 1998, Piala Eropa 2004, Piala Dunia 2006, dan Piala Eropa 2012.

Namun bagi saya, kekalahan paling menyakitkan Inggris terjadi pada Piala Eropa 1996, dan tentu saja Southgate sebagai penembak gagal Inggris yang paling tragis dibandingkan beberapa eksekutor Inggris yang tak berhasil melaksanakan tugas. Sekadar menyebut nama Stuart Pearce dan Chris Waddle (1990); Paul Ince dan David Batty (1998); David Beckham dan Darius Vassel (2004); Frank Lampard, Steven Gerrard, dan Jamie Caragher (2006); Ashley Young dan Ashley Cole (2012).

Entah bagaimana bisa, Southgate sudah menjadi ikon kegagalan adu penalti Inggris. Sebagaimana jika publik sepak bola mengingat pemain Italia Roberto Baggio yang tendangan penaltinya melambung tinggi di final Piala dunia 1994 melawan Brasil.

Sejak malam buruk Inggris itu, saya bersimpati pada Gareth Southgate, yang bermain untuk klub Aston Villa, klub favorit Pangeran Williams.

***

Pada saat otoritas FA mengumumkan Gareth Southgate menjadi manager Inggris menggantikan Sam Allardyce, saya pesimis, Southgate rasanya belum pantas menduduki kursi salah satu pekerjaan terberat di dunia.

Saya telah membayangkan Southgate akan dibully, dicaci maki lagi ketika gagal mengangkat tim Inggris berprestasi. Sebagaimana deretan pelatih Inggris sebelumnya. Sebagaimana dia dulu disebut 'pecundang' hanya karena gagal dalam satu tendangan penalti.

Kekhawatiran saya tidak terbukti, pada Piala Dunia Rusia 2018, turnamen akbar pertama Southgate, penampilan Inggris memberikan nuansa baru yang tampil cukup gemilang. Perlahan namun pasti, dia mulai membangun timnas Inggris yang hancur lebur dari warisan timnas Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016. Inggris diantarkan melangkah ke semifinal Piala Dunia, pertama kali sejak 28 tahun sebelumnya di Italia.

Malam ini, di rumput stadion legendaris yang sama 25 tahun lalu, Southgate membawa pasukan Inggris yang mulai matang bertanding melawan tim "Panser" Jerman yang ditukangi pelatih juara dunia Joachim Loew. Southgate punya kesempatan menebus kegagalan 1996 yang terkenal itu. Meninggalkan beban masa lalu pribadinya sekaligus Inggris yang selalu takluk dengan keji  oleh tim Jerman di turnamen besar.

Publik Inggris yakin ini waktu terbaik untuk mengulang kejayaan Inggris sebagai negara sepak bola modern. Mereka sangat merindukan trofi untuk mengakhiri penantian panjang 55 tahun masa kecewa dan penuh luka.

Salam Euro.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun