Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Obituari: Warisan Berharga Jakob Oetama

9 September 2020   14:24 Diperbarui: 9 September 2020   19:44 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa tak kenal Jakob Oetama?

Meskipun saya bukan karyawan Kompas Gramedia. Tak juga pernah bertemu langsung dengan sosok bersahaja dan sederhananya. Namun Jakob Oetama merupakan guru dan sumber inspirasi bagi banyak orang, termasuk saya secara tak langsung.

Saya mengidolakan, mengagumi, dari banyak aspek kehidupan figur Jakob, pendiri (bersama P.K. Ojong) dan pemimpin umum Kompas Gramedia.

Saya mulai membaca koran Kompas sejak 1989, sedikit-banyak nilai-nilai Kompas (Jakob) memengaruhi perjalanan hidup saya. Dari Kompas dan buku-bukunya, saya mencoba memahami pemikiran, prinsip, cara pandang, kepribadian, sikap, serta kebijakan Jakob.

Saya mencermati nilai-nilai yang ditanamkan dan disebarkannya, terutama soal kemanusiaan, pendidikan, kebudayaan, dan kecintaan terhadap negara Indonesia. Pikiran Jakob senantiasa jernih tanpa prasangka buruk dengan sikap hati yang santun.

Jakob menempatkan lembaga media sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat. Jakob konsisten membangun apa yang dinamakan jurnalisme pembangunan, jurnalisme fakta, dan jurnalisme makna.

Suatu prinsip yang menuntut wartawan terus belajar dalam memperkaya dan memberi penafsiran atas suatu berita, tanpa mengubah fakta yang diperoleh di lapangan, sehingga pembaca bisa cerdas dan tercerahkan. Dengan begitu independensi jurnalistik Kompas tetap kokoh, hingga saat ini 55 tahun terbit menemui pembaca.

Intuisi dan pengalaman Jakob sebagai wartawan yang panjang telah diakui dan dihargai begitu tingggi, puluhan sudah penghargaan dan simbol kehormatan diberikan kepadanya.

Pada 17 April 2003, Jakob menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada. Seperti tertulis dalam buku Syukur Tiada Akhir; Jejak Langkah Jakob Oetama (2012), dalam pertimbangan Senat Akademik UGM, Jakob sejak 1965 berhasil mengembangkan wawasan dan budaya jurnalisme bernuansa sejuk yang menjadi referensi di Indonesia. Sikap boleh keras tapi penyampaian tetap harus lentur dan santun, demikian asas yang dijalankan jurnalis Kompas.

Di bawah Jakob terjadi metamorfosis pers, dari pers yang sektarian menjadi media massa yang merefleksikan inclusive democracy dengan meletakkan nilai manusia dan kemanusiaan pada posisi sentral pemberitaan.

Jasa dan karya Jakob dalam bidang jurnalisme pada hakikatnya merefleksikan jasa dan karyanya yang luar biasa dalam bidang kemasyarakatan dan kebudayaan. Ia juga memberikan pengaruh tertentu pada kehidupan pers Indonesia.

Sama halnya dalam menghadapi hidup yang kompleks, Jakob berfokus pada bagaimana kemanusiaan menjadi basis kegiatan, dan bagaimana latar belakang mengaruhi pengembangan masyarakat manusia semakin manusiawi. 

Menurut Jakob, manusia mengandung keagungan dan kerapuhan, kelebihan dan kekurangan. Dalam masyarakat ada nilai-nilai yang dapat menjadi instrumen dan perangsang kemajuan, ada nilai-nilai yang menjadi penghambat, ada nilai-nilai yang konservatif, dan progres.

Apa pun yang terjadi, Jakob selalu mengingatkan agar kita selalu bersyukur dengan keadaan apa pun, suka ataupun duka. Mengajak hidup sederhana karena banyak teman di sekeliling kita yang hidupnya berkekurangan. Keprihatinan pada realitas manusia inilah yang menjadi perhatian besar Jakob. Ngono ya ngono, ning ojo ngono.

Pada saat Jakob ditanya Andy F Noya di acara televisi bincang-bincang Kick Andy, apakah sudah menyiapkan pengganti dirinya untuk memimpin korporasi media sebesar Kompas Gramedia? Jakob menjawab dengan kerendahan hati bahwa sudah banyak yang siap menggantikan, dan waktu yang akan menjawab siapa sosok tersebut dengan izin dan berkat penyelenggaraan Allah, providentiadei.

Jakob lahir di Desa Jowahan, sekitar Candi Borobudur, Magelang, 27 September 1931. Dan pada hari ini, Rabu 9 Sepetember 2020, Sang Kompas kehidupan meninggal dunia menjelang ulang tahunnya yang ke-89.

Selamat jalan Pak Jakob, semoga Tuhan tetap menyertai dan memberkati dalam keabadian.

Syukur tiada akhir atas segala jejak langkahnya yang menebar inspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun