Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Tak Ada Wimbledon Tahun Ini

12 Juli 2020   20:54 Diperbarui: 15 Juli 2020   19:05 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terasa setahun sudah, salah satu pertandingan terbesar dalam sejarah tenis tersaji pada final tunggal putra Wimbledon 2019 antara Roger Federer (Swiss) melawan Novak Djokovic (Serbia), di All England Club, London, Inggris.

Djokovic dengan kekuatan mental baja, menang melalui laga dramatis yang sangat menegangkan dengan skor, 7-6, 1-6, 7-6, 4-6, 13-12, dalam waktu 4 jam 58 menit. Final 2019 akan tercatat sebagai final terpanjang dalam sejarah Wimbledon.

Juara yang harus dipuji tinggi. Nole, sapaan Djokovic, melakukan sesuatu yang sulit dipercaya, ia menyelamatkan dua championship point di final dan memenangkan tiga tie break termasuk tie break 12-12 pertama tersebut, mengganti peraturan advantage set (perbedaan dua gim pada set penentuan) untuk menghemat waktu.

Nole juga mesti melawan dukungan penonton yang mayoritas memfavoritkan Federer, maka ketika poin terakhir ia dapat dia hanya kalem saja, berjalan dan melakukan ritual pribadi tiap kali juara Wimbledon: memakan rumput lapangan. 

Kemenangan fantastis itu membuat Djokovic mempertahankan gelarnya sekaligus trofi kelimanya di All England Club. Memang masih kalah dengan rekor delapan kali juara Federer dan tujuh kali Pete Sampras, petenis legendaris Amerika Serikat.

****

Hari ini, sejatinya kita akan menyaksikan final Wimbledon 2020, namun karena wabah korona, Grand Slam lapangan rumput itu terpaksa dibatalkan. Wimbledon tak bisa dimundurkan seperti Rolland Garros, karena jenis lapangan rumput hanya bisa digunakan pada musim panas. Sebelumnya hanya perang dunia pertama dan kedua yang memaksa Wimbledon dibatalkan.

Wimbledon merupakan salah satu dari empat seri Grand Slam, selain Australia, Perancis, dan Amerika Serikat terbuka. Dari keempat itu, Wimbledon adalah turnamen tenis tertua sejagat, diselenggarakan sejak 1877. Semua petenis yang menjalani persaingan di arena professional, memimpikan bisa juara turnamen bergengsi ini.

Wimbledon bukan sekadar pertandingan tenis elite dunia, melainkan ajang festival tempat berkumpulnya penggemar tenis merawat ritual tradisional. Wimbledon telah menjadi bagian dari hidup banyak orang.

Tentu saja kita kehilangan turnamen prestius dan klasik yang memiliki banyak tradisi unik. Apa saja keunikan Wimbledon? Petenis yang bertanding wajib mengenakan apparel serba putih, lapangan rumput hijau, pesta taman menu es krim dan stoberi buah ikonik  Wimbledon, kehadiran anggota kerajaan dan pesohor di Royal Box Centre Court, dan masih banyak agenda lain yang menarik turis pada Juni-Juli setiap tahun.

Saya lupa persis kapan pertama kali menyimak seksama turnamen Wimbledon. Yang pasti awal 1990-an, barangkali terinspirasi mendengar kisah luar biasa petenis Jerman Boris Becker menjuarai Wimbledon 1985 saat berusia 17. Rekor juara termuda yang masih bertahan sampai saat ini.

Selain kemenangan Boris pada 1985 dan Djokovic 2019, masih banyak pertandingan besar yang dapat saya kenang dengan sangat baik. Sekadar menyebut, Pete Sampras mendominasi pada era 1990-an; Goran Ivanesivec akhirnya sukses pada 2001 saat berstatus pemain wild card; Roger Federer memenangkan lima kali beruntun (2003-2007); Rafael Nadal mematahkan dominasi Federer di final 2008 yang luar biasa; saya patah hati bersama Andy Roddick pada final 2009; air mata Andy Murray yang kalah di final 2012 dari Federer, dan setahun kemudian Andy Murray terharu saat memenangkan Wimbledon 2013, gelar yang ditunggu-tunggu publik Inggris Raya selama 77 tahun.

Di sektor putri, saya merindukan pengganti Yayuk Basuki, petenis terbaik Indonesia tersebut bisa bersaing di Wimbledon, puncak prestasi Yayuk adalah mencapai perempat final pada 1997, sebelumnya selalu kandas di babak keempat (16 besar). Yayuk tidak hanya mengharumkan negara Indonesia tapi juga bangsa Asia. Periode itu Yayuk bersama petenis Jepang Kimiko Date merupakan petenis andalan Asia. Mereka berkompetisi dengan ratu-ratu tenis Steffi Graff, Monica Seles, Gabriella Sabatini, Aranxa Sances Vicario dan sebagainya.

Sore ini di All England Club, London, tak ada pesta kebun, tak ada pertandingan final yang seru, tak ada drama podium trofi juara. Turnamen tahun depan akan sangat dinantikan dan kita akan lebih menghargainya. 

Sampai jumpa pada Wimbledon 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun