Kini Kompas sudah 55 tahun hadir mencerahkan kita semua, usia lebih dari setengah abad, lebih tua daripada usia saya, 39 tahun. Usia 55 bagi manusia adalah usia yang panjang dan matang. Tapi bagi koran, usia itu belum seberapa jika kita membandingkan dengan usia koran New York Times, majalah Times, koran The Guardian yang telah ratusan tahun terbit.
Saya sering membayangkan dan bertanya-tanya bagaimana bisa sebuah media bisa bertahan sedemikian lama bahkan terus berkembang di tengah banyak rintangan yang semakin kompleks, di tengah membajirnya informasi platform digital. Tapi tiga dekade saya menjadi pembacanya membuat saya cukup paham bahwa Kompas selalu berpegang pada etika dengan memproduksi berita yang membuat publik benar-benar percaya meskipun bersaing dengan media sosial di era post truth.
Chris Murray menulis dalam bukunya, Epic Measures (2015), bahwa semakin banyak kita memastikan informasi yang dapat dipercaya, semakin baik keputusan yang bisa kita buat, dan semakin banyak dampak yang kita semua miliki.
Kompas adalah contoh media yang mengedepankan substansi ketimbang sensasi. Bahkan saya sering amati, informasi, kajian, dan analisa Kompas, kerap dijadikan acuan kebijakan pemerintah.
Meskipun begitu Kompas tak lantas menjadi bagian dari kekuasaan yang bisa menjadi perangkap independensi Kompas, ujian terbesar media jika berelasi dengan kekuasaan. Kompas mampu menempatkan diri tidak berada di bawah penguasa. Tetap menjaga kewarasan dan independensi dengan berpikir dan bertindak bijak bagi kepentingan publik. Sesuai adagium yang masih relevan, bahwa pers sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi. Pers sebagai alat kontrol dan sebagai penyambung bagi orang yang sulir bersuara.
Sungguh, Kompas selalu saja memberikan saya kepuasan batin. Saya banyak mendapat informasi yang berkualitas, akurat, dan netral. Variabel ini mampu menepis keraguan saya terhadap banjir informasi yang makin bebas seperti sekarang ini.
Berprofesi sebagai dosen bidang ilmu sosial, saya selalu memperkaya bahan pelajaran, dengan tiap hari mencari referensi tambahan dari Kompas. Saya sering memberikan contoh dan pemahaman pada mahasiswa, berdasarkan pendekatan Kompas, khususnya berita dan ulasan ilmu Humaniora dan Kependidikan, yang nampaknya mendapat perhatian serius redaksi Kompas.
Terima kasih Petrus Kanisius Ojong (1920-1980) dan Jakob Oetama yang telah mendirikan dan menerbitkan Kompas. Terima kasih kepada seluruh awak redaksi Kompas yang penuh dedikasi dan inspirasi mendidik masyarakat Indonesia. Ke depan saya berharap banyak Kompas senantias menjadi pedoman dengan menjaga kredibilitas dan kualitas pemberitaan.
Dirgahayu Kompas ke-55, Amanat Hati Nurani Rakyat.