Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Turnamen Favorit: Piala Eropa 1996

12 Juni 2020   13:28 Diperbarui: 12 Juni 2020   18:16 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: https://www.uefa.com/uefaeuro-2020/)

Seandainya kita menjalani kehidupan normal tanpa pandemi korona, seharusnya malam nanti kita akan menyaksikan pertandingan pembuka Piala Eropa 2020 antara Italia melawan Turki di Stadion Olimpico, Roma, Italia. Sebulan penuh pusat perhatian pecinta bola akan tertuju di 12 kota dari 12 negara di Eropa, dan mencapai puncaknya pada 11 Juli mendatang di pertandingan final yang mentas di Stadion magis, Wembley, London.

Eropa merupakan kiblat sepak bola modern. Tak heran bila turnamen antarnegara empat tahunan Benua Biru menjadi ajang paling dinanti-nantikan setelah Piala Dunia. Euro boleh disebut pamornya hanya kalah dengan Piala Dunia. Namun dalam beberapa variabel, banyak pemerhati sepak bola (saya termasuk) menilai kualitas (pertandingan) Euro lebih kompetitif dibandingkan World Cup.

Apa pasal ? Kualitas 16 negara peserta dalam empat grup sangat rata. Secara teknis perbedaan semakin kecil bahkan nyaris tak kelihatan. Begitu sulit meraih satu kemenangan, karena itu nyaris mustahil kita menyaksikan laga inferior di panggung Euro, seperti contohnya saat Jerman membantai Arab Saudi 8-0, di World Cup 2002, atau Portugal begitu mudahnya membobol tujuh kali gawang Korea Utara di Piala Dunia 2010.

****

Dalam hidup selalu datang yang pertama. Meskipun sudah diselenggarakan sejak 1960, namun bagi saya Piala Eropa perdana adalah edisi ke-10 Piala Eropa 1996, ajang akbar sebagai pengantar yang indah.

Barangkali karena alasan personal tersebut, sampai sekarang saya mengklaim Euro 1996 merupakan satu turnamen terbaik yang pernah saya nonton, jika diukur dari tim-tim peserta, kualitas pertandingan, dan juga sisi penyelenggaraan yang euforia dengan fanatisme holigans tuan rumah Inggris yang luar biasa meriah.

Masih banyak momen hebat yang saya ingat. Euro 1996 memperkenalkan format baru, UEFA menambah delapan tim peserta putaran final, menjadi 16 negara yang dibagi dalam empat grup maut. Format yang bertahan sampai dengan Piala Eropa 2012. Itulah alasan saya tidak sepakat dengan format 24 tim di Piala Eropa Perancis 2016. Hasilnya, Portugal menjadi juara yang aneh karena lolos dari penyisihan grup dengan posisi peringkat ketiga, dari tiga kali bermain imbang tanpa satu kemenangan.

Dengan tajuk Football is coming home Piala Eropa 1996 berlangsung di delapan kota yang memiliki stadion-stadion ikonik tanpa lintasan atletik, seperti London, Manchester, Leeds, Liverpool, Newcastle, Nottingham, Leeds, dan Sheffield. Pusat turnamen tentunya Stadion Wembley klasik dengan menara kembarnya yang legendaris.

Saya tidak paham waktu itu mengapa latah memfavoritkan tuan rumah. Three Lions ditukangi Terry Venables dengan skuad terbaiknya. David Seaman, Tony Adams, Stuart Pearce, duo Paul (Ince dan Gascoigne), dan duet bomber yang terkenal dengan akronim SAS (Alan Shearer dan Teddy Sheringham).

Inggris berhasil maju ke semifinal melalui rangkaian kemenangan yang spektakuler dengan kerja sama yang tergorganisasi kuat. Tony Adams and company menang menyakinkan atas Skotlandia 2-0, dan menghancurkan total football Belanda, 4-1, dengan menampilkan gaya khas Inggris yang kondang, Kick and Rush.

Gol spektakuler Paul Gascoigne ke gawang Andy Goram paling fantastis, bahkan hingga sekarang masih sering diputar, seperti telah menjadi ikon gol Inggris dan Euro’96. Gol tersebut berawal dari tendangan gawang David Seaman jauh ke tengah lapangan. Bola kemudian disambut Steve Mc Manaman dengan sekali sentuhan, menyodorkan ke Darren Anderton, di sisi kiri. Anderton tanpa kontrol kemudian melepas umpan melambung ke kotak penalti Skotlandia. Gazza yang dituju, dengan insting tepat, ia mencip bola menggunakan kaki kiri, mengelabui bek Colin Hendry. Hendry tak menyangka bola itu melewati wajah dan kepalanya, yang membuatnya hilang keseimbangan. Pada saat bersamaan Gazza melepaskan tembakan keras voli kaki kanan akurat yang tak mampu dihadang Andy Goram !!

Salah satu gol terbaik sepanjang sejarah Piala Eropa jika bukan yang terbaik. Gol Gazza itu selalu disandingkan dengan gol voli Marco Van Basten pada final Piala Eropa 1988. Meskipun menurut saya lebih senang pada gol Gazza.

Namun sayang ambisi besar Inggris menjuarai Piala Eropa untuk pertama kali di rumah sendiri gagal. Mereka kalah di semifinal secara dramatis melalui adu penalti dari musuh besar, Jerman, yang diperkuat Andreas Kopke, Mattias Sammer, Thomas Helmer, Jurgenn Klinsmann, dan ditukangi Berti Vogts, pelatih dingin berwajah pucat.

Kegagalan eksekusi penalti Gareth Southgate membuat Inggris bercucuran air mata. Jika kita membaca buku Air Mata Bola karya Sindhunata, Inggris harus menanggung beban memulihkan kembali kejayaan di masa lalu. Tiga puluh tahun lamanya hidup tanpa gelar apa-apa sungguh membuat Inggris menderita (kini sudah 54 tahun).

Jerman pada akhirnya menjadi juara Eropa untuk ketiga kalinya setelah mengatasi perlawanan Republik Ceko dengan 2-1, melalui momen gol sudden death Oliver Bierhoff. Striker pirang dan Kapten Panser Jurgen Klinsmann memimpin timnya naik ke podium legendaris Wembley untuk menerima trofi-Hendry Delauney dari Ratu Elizabeth II yang penuh karismatik.

Selain gol spektakuler Gazza, mimpi buruk Southgate, dan mentalitas Jerman, Piala Eropa 1996 juga membuat saya terkesan dengan tim kotak-kotak, Kroasia. Turnamen tersebut merupakan awal negara pecahan Yugoslavia menapak ke persaingan sepak bola. Mereka tampil mencuri perhatian menunjukkan sepak bola menawan dengan gerakan-gerakan seperti menari balet dari Zvonimir Boban, Robert Prosinecki, dan tentu saja Davor Suker. Tontonlah kembali gol Suker ke gawang Peter Schemeichel (Denmark) dan Andreas Kopke (Jerman), itu membuat kita takjub.

Suker mencip bola melewati jangkauan Shemeichel setelah mengontrol sempurna umpan jauh dari Bek Asanovic. Gol chip Suker menurut saya lebih cantik dari lob pemain Ceko berambut gondrong, Karel Poborsky, ke gawang Portugal yang dikawal kiper Vitor Baia. Gol penentu Ceko ke semifinal sekaligus menjadi tramademark Poborsky.

Sedangkan gol Suker ke gawang Kopke juga berkelas dunia. Super Suker menggocek Kopke dengan menggiring bola melalui telapak kaki dan kemudian menceploskan ke gawang kosong. Gol seperti itu hanya bisa dilakukan Striker dengan teknik tingi dan ketenangan luar biasa. Sayang Kroasia kalah 1-2 dari Jerman di perempat final lewat lewat laga indah di Stadion historis, Hillsbrough, Sheffield.

***

Biasanya saya telah dilanda demam bola menjelang pesta bola Piala Eropa. Namun tahun ini tak ada pesta itu, tak ada pertandingan-pertandingan hebat, tak ada gol-gol luar biasa tercipta, tak ada selebrasi, tak ada perayaan kemenangan, tak ada drama air mata kekalahan, dan tak ada trofi silver di podium.

Kita harus lebih bersabar menunggu hingga tahun depan.

Salam bola.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun