Beberapa kajian ilmiah telah menyimpulkan bahwa dari tiga unsur daya manusia (Cipta, Rasa, Karsa), orang Indonesia lemah dalam aspek rasa, kurang empati. Kalaupun dalam beberapa hal 'merasakan' emosi kuat, biasanya cenderung negatif.
Saya ingin menjelaskan bahwa budaya malu kita soal korupsi adalah aspek emosional. Bagi para koruptor di negara kita hal yang memalukan bukan perbuatan korupsinya, tapi apakah ia masih diterima lingkungan sosialnya. Pokoknya banyak uang, kaya akan mendapat tempat istimewa.Â
Budaya malu yang salah ini yang menciptakan para loyalis koruptor. Contohnya begitu banyak, koruptor-koruptor yang sudah menjalani hukuman ringan tetap mendapat perlakuan istimewa di ruang publik, bahkan bisa menduduki jabatan-jabatan penting. Sederhananya mengkorup uang negara bukan aib.
Di Eropa, terutama kawasan Skandanavia (juga berlaku di Jepang) rasa malu terkait dengan sesuatu yang normatif. Tentang benar-salah, baik-buruk. Sementara di Indonesia rasa malu dinilai atas relasi sosial.
Sekali lagi, dari unit sosiologi terkecil bernama keluarga, kita harus berbuat sesuatu, meskipun kecil, selama bertujuan untuk memperbaiki diri dan mengubah keadaan lebih baik, tidak akan sia-sia, meski pun bukan kita sendiri yang nanti menikmati hasilnya.
Semoga sukses.