Buku yang berjudul sama dengan tulisan nisan di makamnya di Blitar: Bung Karno sebagai Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Pertama kali diterbitkan pada 1966, dan telah berkali-kali mengalami cetak ulang.
Buku ini edisi revisi untuk menghilangkan kesalahpahaman dari cetakan sebelumnya. Seperti nama Bung Hatta tidak disebutkan dalam pembacaan naskah proklamasi. Diklaim sebagai terjemahan otentik yang ditulis Cindy Adams, Jurnalis asal Amerika Serikat.
Dari buku ini, kita dapat memahami Sukarno lebih baik, sebagaimana orang-orang terdekat mengenalnya. Menjelaskan sifat dan jiwa 'Putra Sang Fajar' secara menyeluruh. Sukarno adalah pemimpin besar revolusi. Ia dilahirkan dan ditakdirkan untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sukarno lahir di Surabaya, saat fajar menyibak pada 6 Juni 1901, tepat hari 119 tahun silam. Pada umur 6 tahun, Kusno-nama kecil Sukarno- dimasukkan ke Inlandsche School (IS) di Mojekerto. Kemudian melanjutkan di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya. Sekolah yang membentuk karakter kuatnya. Saat di Surabaya Kusno tinggal di rumah Pak Cokroaminoto, di gang Paneleh. Dikisahkan pula Kusno menabung untuk membeli sepeda merek Fongers.
Bung Karno merupakan intelektual cemerlang, telah menulis 500 artikel ke surat kabar Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima; seorang kartunis bernama Soemini di majalah Fikiran Ra'jat; dan memperoleh ijazah insinyur pada 25 Mei 1926 di Bandung.
Pada 1927 Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Dari sini ia dikenal dengan julukan Singa Podium. Pada satu kegiatan PNI ia ditangkap, dijebloskan ke penjara dan diasingkan dari warganya, karena 'memprovokasi' warganya untuk lepas dari kolonialisme.
Pengasingan adalah kekejaman yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Lebih dari 13 tahun Sukarno mendekam di penjara dan di pembuangan. Ia dikurung di penjara Banceauy Bandung, penjara kelas bawah yang dibangun pada abad ke-19. Sukarno menamai selnya dengan kuburan. Gelap, lembab, dan sumpek. Berteman cicak dinding. Namun dari sel sempit tersebut, Bung Karno menulis pledoi yang terkenal di seluruh dunia, Indonesia Menggugat.
Setelah Banceauy, pada 1934, Bung Karno dibuang ke Ende Flores, NTT. Di sana ia tinggal terisolasi di rumah yang pekarangannya berpohon sukun. Di bawah pohon itu, ia merumuskan ideologi negara tak ternilai, Pancasila. Kemudian pada 1939, Bung Karno diasingkan di Bengkulu, tempat ia bertemu dan menikah dengan Fatmawati, ibu negara yang menjahit bendera Merah Putih yang menjadi Bendera Pusaka. Bagi Sukarno, sel penjara dan pengasingan adalah ruang sekolahnya dan menjadi penganut agama Islam yang sebenarnya. Ada masa-masa di mana kesulitan itu berguna.
Bung Karno adalah sumber ilham. Tiap kata pidato-pidatonya membangkitkan semangat, memberikan inspirasi, menggetarkan jiwa, dan menghasilkan keberanian pada rakyatnya. Bung Karno berprinsip seseorang yang menjalankan kebaikan tidak pernah kalah untuk selama-lamanya. Yang baik akan menang atas yang jahat.
Sebagai pemimpin negara, Bung Karno memiliki seribu mata dan telinga. Ia tidak dapat memberi tempat pada rasa sensitif yang melemahkan karakter kepemimpinan. Apakah Sukarno komunis? Ia mengklaim adalah seorang individualis, manusia yang angkuh dengan ego yang membakar-bakar, yang mengaku bahwa ia mencintai dirinya sendiri, tidak mungkin tunduk menjadi pengikut pihak lain.
Sukarno tidak mungkin tunduk pada dominasi kekuasaan lain yang manapun. Dia tidak mungkin menjadi boneka. Bebek berjalan beramai-ramai, tapi burung elang terbang sendirian. Ia memuji setiap hal yang baik, tak pandang ia datangnya dari seorang komunis, Islam, atau seorang Hopi Indian.