Argentina harus berhenti berharap bahwa mereka akan memenangi Piala Dunia hanya dengan mengandalkan pemain yang berpredikat super-star sepak bola, seperti yang terjadi pada Piala Dunia 1986.
Saat itu Tim Tango Argentina menjuarai Piala Dunia 1986 Meksiko dengan permainan sepak bola terhebat, lengkap dengan segala kontroversi pada sosok Diego Armando Maradona, yang diyakini sebagai pesepak bola terbesar dunia yang pernah lahir.
Nama besar Maradona tampaknya tak pernah pudar sedikit pun, senantiasa membayangi kiprah Argentina di Piala Dunia, bahkan ketika negara tersebut sudah memiliki Lionel Messi, pesepak bola yang sudah lima kali terpilih sebagai pemain terbaik dunia. Messi belum lahir ketika 30 juta rakyat Argentina turun ke jalan-jalan di negaranya merayakan sukses menjadi juara dunia untuk kedua kalinya.
Dalam beberapa kesempatan, Messi berujar jika boleh memilih dia akan rela menukar semua gelar individu yang sudah diraihnya dengan satu trofi Piala Dunia, bersama Argentina.
Impian itu sebenarnya sudah begitu dekat empat tahun lalu di Piala Dunia 2014 Brasil. Messi membawa Argentina ke pertandingan final dan selangkah lagi akan mensejajarkan diri dengan Maradona, legenda hidup sekaligus idola semua orang di Argentina.
Namun seperti yang sudah menjadi sejarah, di Maracana Stadium Rio, Argentina dikalahkan tim Jerman  0-1 melalui gol extra-time di menit '113 dari tendangan gunting Mario Goetze. La Pulga-julukan Messi harus meratapi kegagalan di final akbar, yang barangkali satu-satunya kesempatan yang tidak pernah dia dapat lagi.
***
Messi sempat frustrasi dan mundur dari tim nasional dua tahun silam sebab timnya kembali kalah oleh Cili di final Copa Amerika Centenairo. Namun Messi kembali untuk mencoba menatap Piala Dunia 2018 Rusia, yang kemungkinan menjadi ajang terakhir sang Messias.
Biasanya mereka selalu berangkat ke ajang empat tahunan dengan predikat favorit. Argentina memiliki semuanya, materi pemain berkualitas, pelatih hebat, dan dukungan maksimal dari masyarakat terhadap tim kebanggaan. Realitasnya memang demikian bahwa sepak bola sudah mendarah daging di negara asal Paus Fransiskus ini. Argentina tak pernah putus melahirkan pesepak bola yang memiliki keahlian tinggi.
Namun kali ini kekuatan mereka ke Rusia tak sehebat sebelumnya. Sepanjang kualifikasi, Argentina kacau, AFA, otoritas sepak bola, dua kali mengganti pelatih sampai pada Jorge Sampaoli. Untuk lolos ke putaran final saja, Messi Cs harus memainkan laga terakhir di zona Conmbeol. Posisi Argentina di klasmen hanya peringkat tiga, jauh di bawah Brasil, dan juga Uruguay.
Barangkali masalah terbesar Sampaoli adalah menyinergikan kehebatan para pemain bintangnya dalam pola permaian yang solid. Belum menemukan bentuk baku, yang membuat Sampaoli sering membongkar formasi. Konsekuensinya membingungkan pemain. Argentina pun sangat mudah terbaca, karena hampir semua serangan dibangun untuk Messi. Tak bervariasi.