Setelah menikmati AS '94, sebagai penggemar sepak bola anyar yang pengetahuan bolanya cetek, maka France 1998 adalah Piala Dunia kedua bagi saya dengan ragam sudut pandang yang baru, pun dengan emosi yang berbeda dari pada empat tahun sebelumnya.
Selepas Piala Dunia 94, saya makin mencintai olah raga ini. Hampir tak pernah saya mau ketinggalan mengikuti perkembangan persaingan sepak bola dunia. Kompetisi elit eropa, terutama Serie-A, Liga Inggris, dan liga Champions menjadi hiburan setiap pekan. Pertengahan era 90-an itu, saya mulai familiar dengan klub-klub beken eropa. Sebut saja Ajax dari Belanda, AC Milan dan Juventus wakil Italia, Real Madrid dan Barcelona dari  Spanyol, dan Manchester United (MU) yang mulai mendominasi Liga Inggris di bawah rezim Alex Ferguson.
Setiap Piala Dunia digelar lagi setelah empat tahun, maka ada pergeseran fase kehidupan pribadi kita masing-masing. Saya mengingat dan merasakan hingga menjelang Piala Dunia sekarang.  Setelah bertranformasi dari remaja ABG empat tahun sebelumnya di Makassar, maka saya mengikuti France'1998 pada waktu duduk di bangku SMA, sebagai anak kos di kota abadi, Yogyakarta. Nonton bareng pertandingan bersama teman-teman baru dari berbagai penjuru nusantara di kota pendidikan merupakan suatu pengalaman tak terlupakan.
Meski tak ada kaitannya, Piala Dunia '98 dihelat tidak lama setelah lahir sejarah reformasi Indonesia, yang melengserkan rezim Suharto yang bias bertahan 32 tahun. Banyak menilai turnamen tersebut sedikit-banyak menghibur dan meredakan ketegangan politik dalam negeri ketika itu.
****
Kembali ke sepak bola. Turnamen tahun ini juga dimulai dengan format baru, FIFA menambah 8 slot peserta, menjadi 32 negara yang dibagi dalam 8 grup. Format yang bertahan hingga sekarang. Lantas momen-momen apa saja yang paling melekat pada Piala Dunia edisi-16 ini ? tentu sangat relatif, pecinta sepak bola memiliki memori masing-masing. Saya punya dua daftarnya.
Kesatu, tentu saja, keberhasilan Perancis memanfaatkan banyak keuntungan sebagai tuan rumah untuk menjadi juara dunia pertama kalinya. Di final tim Ayam Jantan asuhan Aime Jaquest, dengan bintang Zinedine Zidane, menghempaskan juara bertahan, Brasil, 3-0, tanpa perlawanan yang berarti. Antiklimas Brasil di final karena pemain utamanya, Ronaldo, terkena penyakit misterius, juga belum terungkap hingga sekarang.
Saya masih ingat, sebelum turnamen, final ideal ini merupakan skenario yang sudah dirancang panitia Perancis yang diketuai Michel Platini. Pokoknya Les Bleus tak boleh bertemu Brasil sebelum final. Sempat muncul tudingan miring atas mulusnya skema tersebut. Namun Platini sendiri lah yang akhirnya mengakui 'konspirasi' ini jauh hari setelahnya.
Kedua, momen perseteruan David Beckham (Inggris) versus Diego Simeone (Argentina), dalam pertandingan Argentina melawan Inggris di babak 16 besar. Merupakan salah satu pertandingan France '98Â paling seru, paling ketat, paling panas, dan paling dibicarakan hingga kini. Rivalitas kedua negara memang selalu dikaitkan dengan isu politik, seperti perang. Maradona pernah mengakuinya ketika memenangkan "pertempuran" Pada Piala Dunia 1986 lewat pertandingan yang sangat historis.
Tekanan Tinggi
Beckham ketika itu masih muda, 23 tahun. Mulai menapak sukses karirnya di MU sebagai pesepak bola sekaligus selebriti papan atas di Inggris. Sedangkan Simeone adalah pemain tengah andalan tim Tango, yang sepertinya memang bertugas mengacaukan skema permainan lawan.
Insiden itu terjadi pada awal babak kedua ketika skor sama kuat 2-2. Berawal dari kedua pemain berebut bola yang membuat Beckham terjatuh dengan posisi tengkurap. Tingginya tekanan membuat Beckham tak mampu memikul beban, dia mengintip Simeone berjalan dibelakangnya, mungkin spontan saja dia mengayunkan kakinya menendang Simeone.Â
Ayunan kaki Beckham sebenarnya pelan, namun Simeone mendramatisir dengan terjatuh dan mengerang kesakitan di depan wasit Kim Nielsen, sambil menunjuk Beckham yang belum berdiri. Beberapa pemain Argentina ikut memprovokasi. Akhirnya Nielsen ikutan lebay, mengganjar Becks dengan kartu merah, yang meninggalkan lapangan seperti tak percaya dengan apa yang baru saja dia alami.
Dengan 10 pemain, Inggris yang sempat di atas angin melempem, dan akhirnya kalah melalui adu penalti. Besoknya publik dan media mengecam tindakan konyol Beckham sebagai biang kekalahan. "10 singa pemberani dan satu anak bodoh", begitu ditulis dalam satu media setempat.
Karirnya diambang kehancuran, namun dalam tertekan, Ferguson tampil sebagai pelindung Beckham. Hampir setahun setelah insiden, MU meraih tiga gelar di bulan Mei tahun 1999. Becks menjadi salah satu pemain paling memberi kontribusi penting akan treble tersebut. Dalam perjalanan meraih juara Liga Champions tahun itu, Beckham dan Simone sempat bentrok kembali di perempat final ketika MU bertemu Inter Milan, klub Simeone ketika itu.
Seiring perjalanan waktu, kedua pemain sudah melupakan peristiwa dan saling memaafkan. Barangkali jika tak ada insiden perseteruan di Stade Geoffroy Guichard Saint-Etienne 98 ini, kedua pemain tak akan sesukses saat ini. Sepak bola membuat keduanya memiliki mental yang sangat tangguh.
Salam sepak bola.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI