Ini pemilihan langsung Gubernur Sulawesi Selatan yang ketiga kali diselenggarakan. Empat pasangan calon telah mendaftar di KPUD.Â
Kesatu, Agus Arifin Nu'Mang-Tanri Bali Lamo, dicalonkan gabungan partai Gerindra, PPP, dan PBB. Agus merupakan Wakil Gubernur petahana 10 tahun, banyak atau sedikit akan memengaruhi popularitas dan elektabilitas Agus. Agus sejatinya politisi Partai Golkar yang sudah pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Sulsel. Berpasangan dengan Tanribali Lamo, purnawiran perwira militer yang kemudian menjadi birokrat dan menduduki jabatan strategis di Kemendagri.
Kedua, Ichsan Yasin Limpo-Andi Muzakkar, meski didukung Partai Demokrat, sejatinya calon pasangan perseorangan (pasangan Cagub-Cawagub independen pertama di Indonesia). Ichsan dinilai sukses memimpin Kabuten Gowa dua periode, daerah yang jumlah pemilihnya besar. Ichsan memilih Andi 'Cakka' Mudzakar sebagai pendamping, juga Bupati Luwu dua periode. Duet dua Bupati dari geopolitik Sulsel membuat pasangan ini sangat diperhitungkan.
Ketiga, Nurdin Abdullah-Andi Sudirman Sulaiman, disokong gabungan PAN, PKS, dan PDIP. Beberapa kalangan juga menilai Nurdin Abdullah berhasil memimpin kabupaten Bantaeng sejak 2008. NA berpaket dengan anak muda bernama Sudirman Sulaiman. Bagi masyarakat, belum banyak mengetahui rekam jejak Sudirman, selain adik kandung Amran Sulaiman, Menteri Pertanian.
Keempat,  Nurdin Halid-Andi Aziz Kahar Muzakkar, diusung koalisi Partai Golkar, Hanura, NasDem, PKB, dan PKPI. Nurdin Halid adalah politisi berpengaruh DPP Partai Golkar, memilih turun bertanding di kampung halaman. Calon wakilnya Aziz Muzzakar adalah anggota DPD sejak 2004, sudah tiga periode. Aziz pernah berkompetisi di dua pilgub sebelumnya sebagai Cagub pada 2007, juga Cawagub 2013, namun tidak berhasil.
****
Tidak adanya calon Gubernur petahana Syahrul Yasin Limpo, karena telah dua periode menjabat, menciptakan persaingan lebih terbuka dan berimbang. Keempat pasangan tersebut diprediksi akan berlaga keras dan sengit untuk memimpin Sulsel lima tahun ke depan. Agus, Ichsan, NA, dan NH memiliki karakter berbeda-beda, juga punya basis massa yang relatif berimbang. Hasil beberapa lembaga survei telah menunjukkan bahwa tak ada satu pasangan calon superior, dan pasangan yang lain inferior. Sulit sekali menebak siapa yang bakal unggul, sehingga pertarungan diyakini sangat keras, yang berpotensi mensekat-sekat masyarakat.
Karakteristik masyarakat pemilih juga wajib dipetakan dengan akurat. Pilgub Sulsel termasuk gemuk karena terdapat 24 kabupaten/kota yang memiliki karakter berbeda-beda dilihat dari sosial, budaya, suku, dan agama.
Secara geopolitik, Sulsel dapat dibagi kedalam enam kawasan: (1) Bosowa, terdiri atas Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, dan Sinjai; (2) Ajatappareng terdiri atas KabupatenMaros, Pangkep, Barru, Sidrap, Pinrang, Enrekang, dan Kota Parepare; (3) Luwu Raya terdiri atas Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo; Â (4) Toraja terdiri atas Kabupaten Toraja dan Toraja Utara; (5) Selatan-Selatan terdiri Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng; (6) Kota, yakni Makassar.
Bosowa dan Ajatappareng basis komunitas suku Bugis; kawasan Selatan rumah bagi etnis Makassar; Luwu Raya, selain suku Luwu asli, basis campuran yang berasal dari banyak transmigran; Kawasan Toraja satu-satunya daerah yang mayoritas pemilih beragama Kristen; wilayah kota Makassar sangat heterogen dari banyak suku.
Barangkali hanya di ibukota Makassar, karakter pemilihnya lebih rasional, termasuk pemilih milenial yang jumlahnya tidak sedikit. Sedangkan karakter pemilih suku Bugis, suku Makassar, Luwu, dan Etnis Toraja, masih dikuasai oleh dominasi kultur. Mayoritas mencoblos berdasarkan pola Patron-Klien. Ikut saja keputusan atau pilihan sang patron di segala lini kehidupan mayarakat, dari pemuka agama, tokoh adat, pemimpin organisasi masyarakat, pemimpin pemerintahan, pemimpin partai politik, dan tentu saja patron utama pasangan calon.
Dengan demikian akan terjadi ajang pencitraan sang patron pendukung pasangan calon. Pertarungan frontal antar patron sulit dihindari pada masa-masa kampanye nanti. Kompetisi akan memunculkan friksi, intrik, bahkan intimidasi untuk saling berebut suara publik. Dinamika ini tentu berpotensi menciptakan konflik horizontal, terutama ketika sang patron yang juga sering disebut aktor politik memainkan stretegi usang seperti isu SARA, politik uang, dan penyebaran hoaks. Harus diakui kita belum terbiasa dengan persaingan nilai dan gagasan.
Salah satu tantangan demokrasi di Indonesia adalah belum matangnya sikap sebagian politisi. Politik hanya diartikan sebagai sarana untuk meraih kekuasaan. Akibatnya banyak menghalalkan segala cara. Politisi terutama pasangan calon yang bertarung harus memiliki kemauan politik untuk menaati aturan main yang sudah disepakati.
Mari kita bangun persepsi positif bahwa pilgub Sulsel harus berujung pada kesejateraan masyarakatnya.
Selamat berkompetisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H