[caption id="attachment_365491" align="aligncenter" width="300" caption="http://blog.kompasiana.com/2015/04/16/blog-competition-penyelamatan-sumber-daya-alam-migas-di-indonesia-737732.html"][/caption]
Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan sumber kekayaan alam dikuasai negara. Pasal 33 UUD 1945menyebutkan bahwa ''sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Pasal itu seharusnya merupakan dasar dari setiap kebijakan pemerintah terkait bidang ekonomi. Prinsipnya kekayaan negara harus dinikmati sebesar-besarnya oleh negara.
Konsep negara menguasai sumber kekayaan negara kompleks dan berjenjang. Dimulai dari hulu ke hilir. Dari kebijakan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Oleh karena itu lebih mudah kita memahami sektor minyak dan gas (Migas) sebagai salah satu sumber daya alam, jika kita mengkaji selangkah demi selangkah.
Kebijakan
Sektor migas punya peran sentral di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan.Sektor migas sangat strategis, karena itu harusnya menjadi komoditi strategis juga—bukan komoditi pasar—seperti diberlakukan di Indonesia saat ini. Dengan menjadi komoditi strategis maka peran pemerintah bisa melakukan intervensi penuh.
Selain itu sudah semestinya pemerintah memberikan konsesi penuh kepada Pertamina. Seperti terjadi pada banyak negara penghasil migas, sebut saja Petronas di Malaysia, Petrobras di Brasil, dan Statoil di Norwegia.
Karenaa faktanya, kebijakan pemerintah senantiasa berpihak pada mekanisme pasar, sehingga dikuasai (asing). Dalam berbagai pembukaan ladang migas baru ataupun perpanjangan kontrak kerja sama, pemerintah selalu meminggirkan peran Pertamina, yang dinilai tidak mampu mengelola, tidak memiliki SDM handal, hingga tidak memiliki kecukupan modal. Hampir 80 persen ladang Migas di Indonesia dikuasai asing. Ke depan, jika pemerintah ingin Pertamina besar dan kuat, perusahaan negara itu harus diberi kesempatan dan kepercayaan.
Pengaturan
Payung hukum pelaksanaan sektor migas dinilai saling bertentangan. Seperti bunyi Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 Tentang. Kedua instrumen hukum itu tidak berjalan seiring. UU nomor 22 tahun 2001 sebagai implementasi UUD 1945 membuka peluang liberalisasi dan penguasaan asing atas ladang minyak Indonesia. Migas yang semestinya dijadikan komoditi strategis, dalam UU ini disebut sebagai komoditas pasar.
Ini tentu membuka peluang asing mengelola ladang minyak kita, sementara peran Pertamina disamakan dengan perusahaan-perusahaan asing lainnya. Idealnya jika migas ditetapkan sebagai komoditi strategis, maka pemerintah bisa intervensi dan mengontrol serta segera lakukan amandemen terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001, karena telah merugikan kesejahteraan rakyat. Amandemen UU Nomor 22 Tahun 2001 membuka peluang lebih besar kepada Pertamina untuk mengembangkan sektor hulu migas.
Faktor selain pemerintah belum menunjukkan komitmen kuat untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan migas, adalah tidak ada koordinasi di antara kementerian maupun perusahaan BUMN. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing kementerian memiliki kebijakan sendiri, sehingga sering tumpang tindih atau menjadi tidak efisien.