Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dalam Beras Bugis, Ada Doa, Harapan, dan Rasa Syukur

18 Januari 2014   11:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_290660" align="aligncenter" width="780" caption="(Rangkaian makanan tradisional yang terbuat dari beras Bugis, http://kuliner.kompas.com)"][/caption]

Sewaktu saya masih sekolah di Jogja, setiap ibu berkunjung dari Makassar, pastilah tak lupa membawa bekal utama: Beras. Ya, sekarung Beras Bugis. Begitu pula kalau saya sudah mesti balik ke Jogja, setelah mudik lebaran, ibu selalu menyiapkan paket berupa literan beras, untuk bekal makan di Jogja nanti. Padahal di Jogja sendiri, banyak beras kualitas oke dengan mudah dibeli. Ada beras Cianjur yang terkenal, atau beras Delanggu yang gurih, dan sebagainya.

Saya sudah cukup sering mengatakan pada ibu, untuk tidak perlu repot dan susah-susah membagasikan beras menempuh perjalanan jauh. Namun ibu tetap bergeming memboyong berasnya sendiri. Ada perasaan tidak enak, tidak sreg, katanya, kalau bepergian jauh tanpa beras. Kakak saya yang menetap di Jakarta, juga acap kali dibawakan beras dari Makassar, atau ibu menitipkan kepada anggota keluarga yang hendak ibukota.

Jauh setelah itu baru saya mengerti, baru saya paham, dan merasa malu sendiri, pada apa yang dilakukan ibu selama itu, hingga sekarang. Beras bagi orang Bugis (ibu), lebih dari sekedar bahan pembuat nasi sebagai makanan pokok. Dalam beras ibu-- sebagai orang Bugis, terkandung didalamnya sebentuk doa, secercah harapan, perwujudan rasa syukur, serta penghormatan kepada alam dan Tuhan yang Maha Pemurah.

****

Beras memang andalan komoditas pertanian yang dibudidayakan sepanjang sejarah peradaban Bugis. Saking pentingnya peran beras dalam kehidupan, orang Bugis senantiasa mengadakan upacara adat pertanian khusus dalam menanam dan memanen padi. Untuk menanam padi, wajib melakukan ritual-ritual tertentu secara teratur.

Petani bugis tidak boleh membajak sawah sebelum diselenggarakan penyelenggaraan upacara khusus. Pertama Appalili, upacara pembajakan tanah. Inilah waktu yang tepat untuk menanam padi. Appalili sangat diyakini dan dijalankan sebagai pedoman bagi petani menyambut musim tanam padi. Menurut etimologi Appalili berasal dari kata Palili, yang memiliki makna menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya.

Dalam penyelenggaraan upacara Appalili seperti seolah menempatan komunitas Bissu---pemuka adat Bugis,sebagai pepimpin upacara, karena Bissu inilah yang menentukan waktu musim tanam yang tepat. seirin kemajuan zaman, penetapan hari “H”, Appalili kini juga biasanya ditetapkan pemerintah daerah.

Setelah Appalili, diselenggrakan Apatinro Pare atau penyemaian bibit. Ritualnya menyimpan bibit padi dari berbagai varietas di sebuah tempat khusus di rumah (bola), yang bertujuan untuk menjaga agar tak satupun binatang yang membawa hama bisa menjangkaunya. Apatinro Pare juga dirangkai dengan Massureq, proses membaca naskah-naskah lontara secara khas yang tertuang dalam epos epik La Galigo, yang sangat dijunjung tinggi masyarakat Bugis. Massureq seperti kewajiban dalam setiap orang Bugis menyelenggarakan hajatan, seperti perkawinan (mappabotting), pindah rumah (mappaenre bola), dan sebagainya. Saat kekeringan panjang terjadi, masyarakat Bugis meyakini hal itu dipicu tak adanya Massureq.

Dan berpuncak ketika musim panen tiba. Digelarlah Katto Bokko, sebagai bentuk rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, akan hasil panen yang telh diraih. Dimulai dari pagi hari dengan mengetam padi dan hasilnya diikat. Biasanya dengan ikatan khusus menggunakaan alat tersendiri yang terdiri dari 12 ikatan kecil dan 2 ikatan besar. Lalu diarak keliling kampung menuju sebuah rumah adat yang telah ditetapkan. Di rumah adat itulah pada malam hari digelar acara Mappa Dendang, semacam pertunjukan nyanyi dan tarian yang berirama dengan menggunakan lesung padi dan alat-alat pertanian lainnya yang dimainkan secara berkelompok.

[caption id="attachment_290661" align="aligncenter" width="252" caption="(Pemerintah dan Masyarakat  menggelar Upacara panen Raya)"]

139001903182954247
139001903182954247
[/caption]

****

Begitulah, beras bagi orang Bugis selain bahan makanan mulia, juga benda terhormat, harta bernilai, dan komoditi pertanian yang sangat berharga. Beras Bugis memang berkualitas tinggi dengan warna putih, beraroma wangi pula. Beras Bugis laku dibarter dengan komoditi seperti cengkeh, pala. Bahkan nilainya setara dengan kain tekstil, sutra, dan keramik sekali pun.

Beras sudah menjadi simbol budaya Bugis, yangmenghimpun, menyambung, mempererat hubungan silaturahmi para keluarga, dan kerabat, sahabat, dan seluruh masyarakatnya. Begitu pun dengan hubungan keselarasan dengan lingkungan alam semesta, serta hubungan vertikal dengan Allah Swt. Beras Bugis adalah sumber berkah yang mesti disyukuri dan dihormati.

Tak mengherankan provinsi Sulsel subur dan surplus beras, merupakan lumbung beras dengan kelebihan2 juta ton pertahun, yang menyuplai kebutuhan beras provinsi di Indonesia Timur, dan sebagian Indonesia barat.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun