Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini

21 April 2014   14:30 Diperbarui: 1 September 2016   21:27 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku yang tiada mempelajari sesuatu pun, tak tahu sesuatu pun. Tapi bagaimanapun, biar kau tertawakan aku, dan aku tahu kau tak berbuat begitu, gagasan ini tak akan kulepas dari genggamanku. Memang ini pekerjaan rumit, tapi barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!”tulis Kartini di buku hariannya, yang diceritakan kembali oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja.

21 April 1879, atau 28 Rabiul Akhir 1808 penanggalan jawa, tepat 134 tahun silam, keluarga bangsawan yang juga Bupati Jepara bernama R.M Adipati Ario Sosroningrat dan Istrinya bernama M.A. Ngasirah, mendapatkan anak bayi perempuan. Pasangan suami istri tersebut mungkin tidak pernah menyangka bayi yang diberi nama Kartini tersebut, tumbuh menjadi perempuan pemberontak dan berhati layaknya naga, dibalik kodratnya sebagai perempuan yang sangat mengagungkan feminimitas dan kungkungan adat priyayi.

Entah secara kebetulan berhubungan, Kartini lahir di penghujung era kolonial kepemimpinan tangan besi Gubernur Jenderal Johanes Van den Bosch, yang menerapkan kebijakan Cultuurstelsel atau masa tanam paksa diseluruh daratan pulau Jawa. Konon pulau Jawa merupakan wilayah daratan paling subur di seluruh dunia.

Sistem tanam paksa menghasilkan 800 juta gulden atau 34 persen pendapatan Kerajaan Belanda. Perekonomian Belanda stabil, perdagangan dan industri bergeliat di seantero Eropa. Bertolak belakang dengan pribumi yang bekerja keras ditanahnya sendiri, tanam paksa yang disuburkan oleh keringat, darah, dan air mata pribumi hanya menimbulkan kesengsaraan dan kemiskinan. Jika dulu pribumi menderita buat perjuangan, saat itu pribumi makin menderita tanpa sesuatu pun manfaat bagi dirinya.

****

Sejarah tak menjelaskan secara detil kehidupan kecil Kartini, namun yang pasti Kartini tumbuh menjadi wanita yang kuat dengan kecerdasan yang luar biasa. Kecerdasan yang mengherankan dengan situasinya waktu itu. Tidak ada perpustakaan, tidak ada toko buku, tidak ada sekolah menengah, tidak ada media yang menyampaikan pesan-pesan keilmuan. Kartini belajar kapan dan dimana saja.

Tak lain, hanya seorang. Kartini merupakan tokoh pelopor kebangkitan perempuan diseluruh tanah air. Gagasan-gagasanya menginginkan sebuah perubahan kehidupan yang lebih baik, terkhusus bagi kaum perempuan, yakni kemandirian dan persamaan hak di Indonesia. Hingga secara umum, gagasan dan gerakan Kartini sering kita sebut dengan emansipasi wanita, lalu populer lagi istilah ‘jender’.

Peran perempuan Indonesia dalam pembangunan nasional menjadi isu menarik sepanjang masa. Jika sebelumnya perencanaan pembangunan cenderung mengabaikan perempuan sebagai sumber daya manusia yang potensial, seiring perjalanan waktu perempuan Indonesia telah menunjukkan kiprahnya dalam berbagai peran dan posisi dominan. Pemberdayaan perempuan berspektif jender harus disadari sebagai proses panjang yang memerlukan keseriusan pemerintah dan masyarakat.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, perempuan Indonesia sebanyak 50,3 persen. Hal ini berarti lebih banyak dari laki-laki. Dengan demikian potensi perempuan harus lebih diberdayakan sebagai subyek pembangunan di segala bidang mulai dari peranan dalam keluarga, pendidikan, ekonomi, politik, budaya, dll.

Ya, Perempuan sekarang tidak hanya berkutat diwilayah domestik konvensional saja. Ranah politik dan publik pun telah digeluti, walaupun harus diakui dalam ruang-ruang publik tersebut peranan perempuan masih terbatas. Prinsipnya, perempuan tidak harus tampil maskulin untuk mendapatkan pengakuan di ruang publik, tetapi dengan memanfaatkan dimensi kefeminitasan, justru akan semakin memperlihatkan kompetensinya.

Hal inilah yang menjadi benang merah dalam menginspirasi sosok Kartini, bukan dari sudut pandang domestik seperti dia adalah gadis pingitan lalu dinikahkan secara paksa lalu melahirkan, lalu mati. Singkirkan sejenak kenangan itu dan alihkan pikiran pada bagaimana cara Kartini melawan itu semua, melawan kesepian jalan yang tidak diambil oleh orang lain, melawan kekuatan besar skeptisme terhadap perempuan.

Bagi Kartini, cinta tidak pernah buta. Cinta baginya adalah memberikan segala-galanya, dan berhenti memberi apabila nafas berhenti menghembus. Kartini oleh Tuhan hanya diberi hidup 25 tahun saja, tapi semasa hidupnya yang singkat tersebut, dia telah melakukan hal yang sangat besar dan menginspirasi perempuan-perempuan Indonesia untuk dapat melakukan perubahan demi kemajuan bangsa yang kita cintai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun