Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Dari Azteca, ke Olimpico, dan Kini Maracana

14 Juli 2014   00:48 Diperbarui: 7 September 2016   12:17 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber gambar: www.fifa.com

32 negara terbaik dunia sudah bertanding sekuat tenaga di Piala dunia 2014 sebulan lamanya, dan hanya dua tim saja yang sampai ke final. Jerman dan Argentina. Dan sama sekali tak bisa dipastikan, siapa di antara mereka yang akan menang kemudian mengankat trofi.

Jerman versus Argentina adalah sebuah final klasik yang sangat dinanti-nanti. Ambisi, gengsi, prestise, dan mungkin saja dendam sudah mengawali duel bersejarah di Rio de Jeneiro sebelum pertarungan itu berlangsung.

Membongkar kekuatan faktual kedua tim dari sisi teknis tentu sudah banyak dibedah karena bisa diukur dari beberapa pertandingan yang telah dijalani.Yang barangkali lebih menarik perhatian saya adalah sejarah sepak bola keduanya, dan juga persepsi masing-masing kedua grand finalis. 

Final 1986 dan 1990

Ini final yang sama persis dengan Piala Dunia 1986 dan 1990. Dua laga puncak dengan dua drama berbeda itu begitu mudah diingat penggemar sepak bola karena tokoh utamanya adalah Diego Armando Maradona.

Coba kita buka final Mexico ’86. Pelatih Argentina, Carlos Billardo dan pelatih Jerman Franz Beckenbauer, menurunkan semua pemain terbaiknya di laga yang digelar di stadion Azteca, Mexico, salah satu stadion terbesar di dunia. Argentina diperkuat Maradona, Burucchaga, Jorge Valdano, dan Nerry Pumpido. Sedangkan Jerman Barat diisi pemain tangguh seperti, Karl Heinz Rummenigge, Lohtar Matthaeus, dan Rudi Voller.

Matthaeus ditugaskan mematikan pergerakan Maradona, namun pada menit 23 ia melakukan pelanggaran keras terhadap Maradona. Tendangan bebas oleh Jose Luiz Brown membuat Argentina unggul 1-0. Di menit 55 berawal dari umpan terobosan Maradona ke Hector Enrique, Jorge Valdano menggandakan skor menjadi 2-0. Di ambang juara.

Namun Jerman tetaplah Jerman. Ketinggalan 0-2 tidak membuat mental Rummenigge dan kawan-kawan runtuh. Mereka balik menyerang Argentina, yang lengah. Der-Panzer berhasil menyamakan kedudukan pada menit 74 oleh Rummenigge, dan Voller di menit ’80. Saat skor 2-2, Maradona beraksi dan menyodorkan umpan ajaib kepada Jorge Burruchaga untuk menjadi gol penentu kemenangan. Argentina pun menjadi juara dunia, berpesta pora.

Empat tahun berselang, Argentina dan Jerman kembali bertemu di final Piala Dunia 1990 di stadion Olimpico, kota Roma. Kali ini Argentina seperti pasukan tak lengkap dengan badai cedera beberapa pilarnya. Sedangkan Jerman lebih kuat dan lebih matang dibandingkan dengan empat tahun sebelumnya di Meksiko.

Laga final paling menjemukan, kata banyak orang. Argentina bermain keras, dan Maradona tak dapat berbuat banyak di bawah tekel dan ganjalan bek Guido Buchwald. Permainan keras Argentina membuat mereka harus bermain 10 pemain setelah Pedro Monzon diusir wasit karena mengganjal Jurgen Klinsmann.

Jerman terus mengurung dan akhirnya pada menit ke-85, wasit memberikan hadiah penalti kepada Jerman setelah Roberto Sensini melabrak Voller hingga terguling di dalam kotak penalti. Bek kiri Jerman Adreas Brehme sukses menjalankan tugas berat menceploskan gol ke gawang Goycochea. 1-0 bertahan hingga selesai, Jerman barat juara dunia di Italia.

Dua final tersebut menunjukkan secara terang bahwa Meksiko ’86 adalah puncak kegemilangan prestasi Maradona dan Argentina. Di Italia empat tahun kemudian, Maradona tak mencetak satu gol pun, ia tampil seperti singa yang terluka. Namun begitu, Argentina tak bisa ke final tanpa peran Maradona. Di final pun, sangat tidak mudah bagi Jerman mengalahkan Argentina.

Waktu kemudian bergulir selama 24 tahun hingga Argentina dapat kembali ke pertandingan final Piala Dunia 2014. Tak ada lagi Maradona sebagai pemimpin lapangan, namun Argentina beruntung melahirkan seorang Lionel Messi, pesepak bola terhebat Argentina di abad milenium, yang selalu disamakan dengan prestasi sang mega bintang. Padahal Messi bahkan belum lahir ketika Maradona memimpin Argentina merebut gelar kedua Piala Dunia tahun 1986.

Fenomena Jerman

Dan entah kenapa ketika berhasil ke final, lawannya lagi-lagi Jerman. Musuh bebuyutan La Albicelesteini merupakan juara tiga kali Piala Dunia (1954, 1974, dan 1990).

Brasil 2014 merupakan final kedelapan bagi Jerman. Terbanyak dari negara mana pun. Bagaimana bisa mereka selalu gemilang saat tampil di turnamen Piala Dunia. Inilah fenomena Jerman yang sepertinya tidak bakalan habis untuk dibahas. Penampilan tim lain bisa turun atau naik, namun tak berlaku untuk Jerman, negara besar dengan sejarah besar.

Pemahaman yang terkenal untuk mengungkit sepak bola Jerman adalah “selama bola itu bulat dan selama ada waktu 90 menit, tujuan bia dicapai” (der ball ist rund und das spiel dauert 90 minuten). Jerman pertama kali melakoni ini dalam Beattle of Bern 1954, yang merupakan titik balik karakter khas Der Panser. Lewat tipikal tankPanser, perlahan tapi memusnahkan, Der Panser selalu memerankan antagonis, kelompok jahat yang membunuh orang-orang baik, sebuah tim yang bermain indah.

Sampai kemudian Jurgen Klinsmann melatih, dan kemudian merevolusi sepak bola Jerman lebih modern. Setelah Klinsi, Joachim Loew menyempurnakan metode warisan sang bos. Hal terbesar yang direncanakan adalah bagaimana para barisan pemain muda yang segar, berteknik tinggi, dan antusias, berkembang dan membentuk tim yang stabil, konsisten. Bediri dan bertempur, semboyan itulah yang dilakukan pasukan der-Panser setiap menghadapi turnamen besar. Para pemain Jerman berhati seteguh baja.

Thomas Reilly dan A. Mark, menulis dalam bukunya, Science and Soccer (2003), satu hal yang tak terbantahkan adalah sepak bola dimainkan dalam tempo yang lebih cepat dibanding pada dekade-dekade sebelumnya, dan pemain dipersiapkan lebih baik di semua segi untuk memainkan perannya. Bahwa tim sepak bola yang mau berubah dan mengikuti perkembangan zaman mendulang sukses lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang enggan berubah.

Teori Thomas dan Mark benar-benar diracik dengan sempurna pelaku sepak bola Jerman. Tak ada satu pun serapi dan seakurat mempersiapkan tim seniat Jerman. Mulai kakus kaki, sepatu, akomodasi, sampai pemilihan wasit, dan sebagainya.

****

Michel Platini pernah berujar, “Dalam bola siapa yang memberikan segalanya pada awal, jarang ia memperoleh ganjaran pada akhirnya. Akhirlah yang menentukan segala-galanya dalam bola. Final.”

Siapa yang akan mengangkat trofi emas tinggi-tinggi? Philip Lahm atau Lionel Messi? Dalam hasil pertandingan sepak bola, Tuhan tidak mau campur. Tuhan tidak mungkin menyalahi salah satu sifat dasarnya, keadilan. Biarlah semua pemain kedua tim yang berusaha sendiri untuk menentukan hasil akhir final Piala Dunia edisi ke-20 yang akan diadili wasit asal Italia, Niccola Rizzoli. Di Brasil. Di Estadio Marcana.

Salam Pildun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun