Siang-siang kemarin saya nonton film Qodrat di bioskop.
Saya bukan fans berat film horor. Namun ketika tahu pemerannya Vino Bastian dan Marsha Timothy, saya jadi tertarik untuk nonton. Mengamati track record mereka berdua di perfilman, model film yang mereka mainkan umumnya tidak klise atau cetek. (selain itu, entah kenapa makin tua saya makin tidak takut nonton horor. Sudah sadar kalau masalah hidup ternyata lebih mengerikan dari hantu kayaknya ha...ha...ha)
Film ini berdurasi 1,5 jam lebih sedikit tapi terasa kayak 2 jam. Ada momen-momen tidak betah, ingin cepat keluar, karena grafiknya lumayan sadis. Adegan-adegan mengagetkan hadir terus-menerus, sampai timbul pikiran, "aduh ini cerita kapan klimaksnya ya? Kok sadismenya gak kelar-kelar?"
Sempat terpikir untuk keluar menyudahi, tapi pikir-pikir lagi saya akan penasaran soal akhir cerita dan pesannya. Ditambah lagi saya masih yakin - Â pasti ada kisah bagus dari film yang dimainkan Vino dan Marsha ini.
Sinopsis
Sinopsi Qodrat, seperti yang bisa kita baca di media online manapun, adalah soal Qodrat, seorang ustad yang di masa lalu gagal merukiyah anaknya sendiri. Qodrat kehilangan anaknya. Memori hitam itu terus membayanginya hingga suatu saat hidup membawanya berhadap-hadapan kembali dengan roh kegelapan yang merasuki mendiang anaknya, yang kini merasuki seorang anak lain.
Mungkin hampir setengah lebih dari film ini yang kita tonton bolak-balik adegan-adegan orang kerasukan setan. Wajah mereka berubah menyeramkan. Tindakan mereka menjadi sadis. Keluarga di sekitar mereka menangis frustasi.
Pembuat cerita atau sutradara film ini bisa dibilang, kok tega ya? Penonton bukan lagi disuguhi tetapi dibombardir dengan grafik-grafik macam itu hampir tiga perempat film.
Nah kejutannya ternyata menjelang akhir film. Â Sisi "udang di balik batu"mulai terungkap satu per-satu.
Inilah bagian favorit saya dari film ini.
Kejutan Menjelang Akhir Film
Film horor umumnya adalah soal manusia sebagai sosok protagonis, dan setan sebagai antagonis. Penonton dibuat terbuai oleh pembagian binary seperti itu. Yang baik dan yang jahat. Kalau horor, sudah pasti manusianya baik. Setannya jahat.
Tidak dengan film Qodrat. Kisahnya mengupas, membongkar, mempreteli, membedah -- bahwa soal rasuk-merasuk yang katanya semata didalangi setan, bisa juga adalah buah dari masalah sosiologis, budaya, spiritual. Bahkan ekonomi! Juga politik!
Nah lho?
Menurut saya, kisah Qodrat sesungguhnya adalah bukan soal melawan setan si jahat, tetapi soal dualisme dalam diri manusia, yang selama bisa bernafas pastinya bisa terjerat oleh yang namanya ketamakan, keserakahan. Hasrat untuk membuahi godaan-godaan itu kemudian dipoles dalam kedok agama, institusi, jabatan. Apa saja bisa menjadi kedok. Namun masyarakat bawah yang terbiasa memandang silau kedok-kedok itu, gagal memahami persoalan yang sebenarnya memasung mereka.
Jeng Christine, berat-berat amat sih ngulasnya?
Well, hidup itu kayak kuali, apa saja bisa masuk untuk dimasak. Politik iya, sosiologi iya, ekonomi iya, budaya iya, agama iya, dan lainnya. Betul apa betul? Film Qodrat berhasil membungkus aspek-aspek itu dalam wujud sebuah film horor.
Hm, akhir kata - untuk rekomen film ini saya gak berani juga karena grafiknya yang lumayan mengerikan belum tentu dapat diterima semua orang. Tetapi secara pribadi, bravo Qodrat. Terimakasih untuk sebuah film yang cerdas. Christine Setyadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI