Kurang lebih satu bulan belakangan ini saya rutin membacakan anak-anak buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams. Kadang pagi hari, kadang siang, lebih seringnya malam menjelang tidur. Saya membacakannya agar kedua anak saya bersentuhan dengan salah-satu sejarah terpenting dalam hidup mereka: sejarah kemerdekaan tanah air mereka sendiri.
Perjalanannya boleh dibilang selow. Banget. Kadang hanya dua tiga halaman saya bacakan sekali duduk. Kadang 1-2 hari kami istirahat tidak membacanya. Tetapi buku bersampul merah itu selalu ada terlihat mata, karena komitmen saya untuk menyelesaikannya bersama anak-anak.
Yang menarik dari buku ini bukan saja soal fakta-fakta sejarah, narasi, atau lembaran kertas coklat ringannya yang saya suka, tetapi juga betapa indahnya menyaksikan si 10 tahun dan si 12 tahun berinteraksi dan berelasi dengan kisah-kisah sejarah. Kadang mereka mengernyitkan dahi, kadang tertawa, kadang berempati, kadang bertanya, kadang terhenyak.
Suatu kali si bungsu, terkaget-kaget mendengar asal-usul nama Soekarno. Ketika lahir, Soekarno lahir dengan nama Kusno. Agar ia tidak sering sakit-sakitan, Ayahnya memutuskan untuk mengganti namanya menjadi "Karna," nama salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita klasik Hindu Mahabharata. Kala itu Soekarno kecil kebingungan, bukankah "karna" berarti telinga, tanyanya pada Ayah. Sang Ayah membenarkan, "karna" memang berarti telinga, sebab dalam kisahnya tokoh Karna ini lahir melalui telinga seorang putri bernama Kunti.
Di situlah anak saya terheran-heran, antara kaget sekaligus merasa lucu, "Bayinya keluar lewat telinga?" sambil menunjuk telinganya. Butuh sekitar beberapa menit untuk dia memprosesnya: tertawa sekaligus berdiam seolah membayangkan seorang bayi yang begitu besar lahir lewat lubang telinga yang kecil.
Pada momen lain, keduanya kaget mendengar nilai rupiah di masa Soekarno kecil. Ada satu bagian Soekarno menceritakan besaran biaya-biaya yang dikeluarkan keluarganya, "Gaji Bapak 25 rupiah sebulan. Dikurangi sewa rumah kami di jalan Pahlawan 88, neraca menjadi 15 rupiah."
Kedua anak saya terbelalak, "Tunggu tunggu tunggu. Berapa? Maksudnya 25 RIBU rupiah?" Gegar soal perbedaan nilai rupiah ini cukup membuat heboh mereka. Apalagi soal uang ini ada beberapa kali diceritakan Soekarno, saat ia membayar uang kos, uang sekolah, membeli kopi, dan lainnya, yang semuanya kalau tidak bernilai satuan, mentok-mentok puluhan (doang). Sementara anak-anak (juga saya) tahunya membeli cokelat saja di Indomaret sudah 8.000 rupiah. "Hah?"celetuk anak sulung ya, "CUMA 25 rupiah?"
Untuk soal ini, saya belum bisa membawa anak-anak kepada penjelasan bagaimana rupiah berubah hingga menjadi nilai di hari ini. Saya sendiri juga perlu belajar kembali terlebih dulu. Bukan masalah. Saya pikir, perjumpaan dengan "25 rupiah"di masa Soekarno akan membawa kami ke pembahasan tersendiri soal sejarah rupiah suatu hari nanti.
Membaca narasi hidup seorang Soekarno yang lahir di tahun 1901, pastinya tidak jauh dari kolonialisme. Pada kisah-kisah inilah kedua anak saya berempati. Ada cerita dimana Soekarno sebagai seorang inlander (pribumi) berhadap-hadapan langsung dengan diskriminasi di bangku sekolah sampai-sampai ia berkesimpulan, "Angka sepuluh tidak pernah diperoleh seorang murid pribumi."
Soekarno menyebut masa-masa itu sebagai pengalaman pahit. Di klub sepakbola, ia bercerita soal anak-anak Belanda mengejeknya sejak di pintu masuk, "He, kamu -- Brownie! Anak kulit coklat yang tolol dan malang, pribumi, inlander, anak kampung ..."
Anak-anak saya termenung saja mendengarnya. Tidak berkata apa-apa.
Menarasikan Peristiwa Sejarah
Buku sejarah yang ditulis dengan narasi yang bertutur dengan sabar, bukan sekedar sekumpulan peristiwa, nama dan tanggal -- memampukan si pembaca untuk membangun relasi dengan tokoh dan peristiwa sejarah, meski terpaut puluhan tahun yang lalu. Menariknya, anak-anak terbukti mampu mencerna bacaan "berat"macam buku ini.
Seringnya (atau selalu sebenarnya) kita orang dewasa mengasingkan buku-buku seperti ini dari anak-anak, mengira belum waktunya mereka membacanya. Padahal anak-anak terlahir tidak sebagai kertas kosong, apalagi ember kosong. Mereka terlahir dengan paket lengkap: jasmani, rohani, akal budi, nalar dan nurani. Tinggal kita mendampinginya dengan sabar dan lembut agar semua itu dapat terasah.
Umumnya, bagi anak-anak, sejarah adalah pelajaran di sekolah yang harus dihafal agar nilai di rapor tidak merah. Jika kita lihat buku teks sejarah sekolah, yang disajikan adalah fakta-fakta sejarah saja. Penulis sudah mensarikan untuk siswa sekolah poin-poin apa saja yang perlu mereka ketahui. Contoh: sidang BPUPKI pertama dan kedua diadakan tanggal berapa, apa kepanjangan dari BPUPKI, istilah Jepang untuk BPUPKI, dan lainnya.
Bandingkan dengan peristiwa yang sama tetapi disajikan dalam bentuk narasi (halaman 239, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia):
Tanggal 28 Mei Badan Penyelidik mengadakan sidangnya yang pertama ... rapat-rapat yang diselenggarakan benar-benar kacau ... tidak ada yang berkoordinasi dengan yang lain. Orang-orang terpelajar yang berpikiran sempit dari Jawa, para pedagang dari Sumatera, para penduduk di pulau-pulau perbatasan, masing-masing tidak memiliki dasar pemikiran yang sama.Â
Saat istirahat dari jam satu sampai jam lima petang, kelompok Islam melakukan pertemuan sendiri, kelompok kebangsaan melakukan pertemuan sendiri, kaum federalis dan pendukung negara kesatuan melakukan pertemuannya masing-masing ... terjadilah silang pendapat yang sengit tanpa ada titik temunya. Selama tiga hari terdapat perbedaan -perbedaan yang besar berkenaan dengan prinsip dasar dari Indonesia Merdeka.Â
      Terlihatkah perbedaannya yang mencolok? Bukan saja soal cara penyajiannya, tetapi juga soal bagaimana peristiwa itu terhubung dengan kita atau tidak. Narasi soal rapat pertama BPUPKI menggambarkan sejelas-jelasnya seperti apa rupa dan rasanya rapat itu. Pembaca ikut merasakan, bahkan seolah mengalami betapa rumitnya perjuangan dan perjalanan menuju kemerdekaan itu.
      Lantas apa? Apa sih tujuan dari mempelajari sejarah? Jika kita belum mengetahuinya, atau bahkan tidak merasa berelasi dengan sejarah -- maka ada sesuatu yang tidak tepat dalam pendidikan sejarah kita saat kita bertumbuh. Inilah yang harus dikorek kembali. Kadang kita harus kembali ke titik nol dan bertanya, sudah tepatkah model pendidikan kebangsaan atau sejarah yang dialami siswa-siswa Indonesia?
      Melalui momen-momen sederhana ini, dengan modal sebuah buku harga puluhan ribu, sebuah komitmen waktu untuk duduk membaca bersama anak-anak, kadang sembari tengkurap di kasur -- harapan saya adalah agar sedikit demi sedikit benih tertabur -- agar si bungsu dan si sulung betul-betul meresapi dan menghargai perjuangan dan kemerdekaan tanah airnya. (Christine Setyadi)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H