Mungkin kita memang bangsa yang latah, yang mudah mengikuti sesuatu yang dinilai sedang ngetrend. Contoh yang paling jelas adalah bagaimana kita begitu gegap gempita menyambut sebuah istilah baru yang terdengar sexy: firehose of falsehood. Hampir semua orang membicarakan kata itu, walaupun mungkin tak pernah sungguh-sungguh tahu apa artinya.Â
Termasuk juga saya yang tidak pernah secara khusus mencari referensi apa sebenarnya arti istilah itu, selain hanya beberapa tulisan sekilas di facebook.Â
Sepemahaman saya, arti istilah itu sebenarnya tidaklah terlalu baru, yaitu tentang 'kebohongan publik'. Kalaupun ada tambahannya, maka itu adalah 'dilakukan dengan sengaja dan terus menerus dan sistematis' sehingga orang-orang yang terpapar informasi itu akan mengikuti kemauan si pembuat informasi.
Tak pernah saya mencoba menelisik lebih detail, termasuk cara penulisan yang benar, sampai ketika seorang juru bicara seorang Capres menuliskan kata 'Firehouse of Falsehood' di tweetnya. Seorang pendukung capres lainnya dengan cepat menyambar tweet tersebut dengan balasan: 'Firehouse, emangnya grup musik'.Â
Barulah saya ngeh, bahwa penulisan yang benar adalah 'firehose'. Memang bagi kami generasi 80an dan 90an, kata firehose akan sangat rancu dengan Firehouse, sebuah grup musik yang kata seorang teman, mengusung aliran rock menye-menye, yang lagu-lagunya sangat ngehit pada saat itu. Maka wajar, kalau kami salah-salah menuliskan kata baru itu (ngeles mode on).
 Yang membuat geleng kepala adalah, ketika membaca sebuah tulisan di grup alumni yang menulis mengenai 'kemiskinan literasi' pendukung capres sebelah. Tak kurang dia juga menuliskan dengan gagah kata-kata sakti itu: Firehouse of Falsehood.Â
Membaca komen-komen tulisan tersebut, semua mengamini adanya firehouse of falsehood, tanpa adanya satu koreksipun hingga akhir. Membaca ini, tak pelak harus mengelus dada, siapakah sebenarnya yang miskin literasi itu?
Tapi si penulis itu sesungguhnya tak perlu kecil hati, karena kalau kita googling, maka kita akan tahu, bahwa dia tidak sendirian: media-media arus utamapun tak luput dari kesalahan penulisan itu.Â
Pun demikian juga dengan para tokoh partai, bahkan menteri, walaupun ini belum jelas juga yang salah orangnya atau medianya. Berbeda halnya jika kita mengintip laman dari luar negeri, maka hampir seluruhnya benar dalam penulisan. Maka kita tahu, siapakah sebenarnya yang miskin literasi itu.
Maka bagi saya, terlepas dari siapapun penulis kata itu, juga walaupun dia juru bicara capres yang saya dukung (kode keras), saya tetap merasa malu. Tapi untungnya generasi kami punya maestro yang mampu mengatasi situasi semacam itu, sehingga kami dapat menyanyikan rasa malu itu, ataupun malu tapi tetap mampu menyanyi.Â
Beliau adalah Bung Obbie Messakh yang mampu menggubah sebuah masterpice, sehingga kami dapat bersenandung: malu aku malu, pada semut merah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H