Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita 'Kebetulan' tentang Anies Baswedan

17 Maret 2016   08:55 Diperbarui: 17 Maret 2016   09:12 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini bukan cerita tentang puja puji seorang tokoh yang mungkin sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas, juga bukan cerita seorang teman yang dekat dengan beliau, karena senyatanya beliau mungkin tidak mengenal saya, sementara saya pasti kenal dengan beliau. Namun demikian, saya merasa dekat dengan nama itu, karena beberapa kali pertemuan 'tanpa sengaja' yang justru terjadi pada momen-momen cukup penting dalam kehidupan saya.

Pertemuan pertama kali dengan Anies Baswesan terjadi sekitar pertengahan tahun 1988, ketika saya masuk SMA di salah satu SMA di Yogyakarta, yaitu SMA 2 atau Smada. Anies ternyata salah satu siswa di situ, yang sepertinya sudah cukup ngetop, karena terpilih sebagai salah satu siswa pertukaran pelajar atau AFS. Saya lupa ditempatkan dimana Mas Anies waktu itu, tapi yang saya ingat adalah, ketika kami para siswa baru dikumpulkan di aula terbuka, yang kami sebut Joglo Wiyata Mandala, seorang guru tengah bercerita bahwa salah satu muridnya tengah mengikuti pertukaran pelajar dan saat ini sudah kembali lagi ke tanah air. Pas ketika guru itu menyampaikan, datanglah Anies dari kejauhan, dan salah satu guru yang cukup urakan, namanya saya ingat adalah Pak Ngulomo, guru olahraga, spontan berteriak: " Nah, itu dia orangnya masih hidup", yang disambut dengan lambaian tangan Anies sambil tersenyum. Saya lupa apakah waktu itu dia memberikan sambutan, tapi sepertinya tidak, karena kemudian masuk ke kelas. Jadi kalau dihitung-hitung, Anies masuk SMA pada tahun 1985, dan seharusnya sudah masuk kuliah waktu itu, namun karena program pertukaran pelajar itu, dia harus mengulang lagi satu tahun, jadi selisih 2 tahun denganku. Sayang sekali waktu itu aku cukup kuper di SMA, terutama pas kelas 1, jadi tidak banyak mendengar kiprah Anies di SMA, mungkin juga karena anak kelas 3 sudah mulai persiapan untuk ujian akhir dan masuk perguruan tinggi.

Pertemuan kedua terjadi pada waktu saya penataran P4 di UGM tahun 1991, ketika itu mendapat tugas entah apa lupa, sehingga harus berkunjung ke Gelanggang Mahasiswa UGM, pusat kegiatan mahasiswa UGM ketika itu. Saya mendapati Anies yang saat itu sedang duduk santai di salah satu ruangan. Saya yang tengah melintas spontan menyalaminya, sambil berkata: "Mas Anies ya?" Dia tersenyum sambil mengangguk. "Sesama Smada," kataku kemudian. Dia kemudian tertawa lebar, dan saya kemudian beranjak pergi. Terus terang, saya memang tidak pede untuk ngobrol banyak dengan dia. Sempat terdengar celetukan aktifis lain yang berkomentar menggoda dia, katanya" Ngetop niyeee."

Nama Anies kemudian mulai banyak disebut-sebut, ketika dia menjadi aktifis dan kemudian Ketua Senat Mahasiswa di paruh pertama era 90an, ketika represi rezim Soeharto masih begitu kuat. Sempat saya membaca salah satu catatan aktifis mahasiswa yang menjadi saksi bagaimana beliau memimpin teman-temannya menghadapi demo tentang salah satu isu yang saya lupa. Memang harus diakui bahwa Anies memiliki jiwa kepemimpinan dan intelektualitas yang mampu menjadikan dirinya memiliki posisi penting di setiap tempat yang disinggahinya. Hal ini mungkin tidak terlepas dari darah aktifis dan intelektual yang turun dari keluarganya. Kakeknya adalah AR Baswedan, salah satu tokoh kemerdekaan seangkatan Bung Karno yang seolah mampu menjadi wakil dari golongan keturunan Arab untuk berkiprah dalam kemerdekaan republik ini. Kemudian ayahnya adalah seorang akademisi di salah satu perguruan tinggi di Yogya. Itu sekilas yang saya tahu.

Selepas kuliah, saya sempat mendengar dan membaca dia terlibat di salah satu lembaga penelitian di Jakarta, kemudian melanjutkan sekolah di Amerika. Selepas itu, namanya sering terdengar dengan program Indonesia Mengajarnya, yang sungguh saya salut untuk programnya mencerdaskan Indonesia hingga ke pelosok. Namanya semakin moncer ketika terpilih sebagai rektor Universitas Paramadina, mungkin salah satu rektor termuda di Indonesia waktu itu. Dan selanjutnya, tentu semua sudah tahu bagaimana kiprahnya yang kemudian banyak bersinggungan dengan dunia politik.

Saya tidak tertarik untuk mengupas isu-isu serius itu, namun ada beberapa cerita ringan lain yang patut diceritakan ketika saya mulai bekerja dan kemudian berumahtangga. Di kantor, ketika teman-teman banyak bercerita soal masa sekolahnya, saya sering dengan iseng namun juga nada bangga menceritakan tentang SMA 2, yang adalah sekolahnya Anies Baswedan. Mungkin ini semacam kompensasi perasaan inferior dan jengkel karena Smada seringkali dianggap kurang favorit, terutama dibanding SMA 1 'Teladan' dan SMA 3 'Padmanaba' di Yogya. Smada dari dulu mungkin hanya dikenal karena Peleton Intinya yang sering menjuarai berbagai lomba, namun kurang dari sisi akademik. Siapa yang tidak mangkel kalau seolah dilompati semacam itu coba, masak dari 1 langsung 3? Maka saya seringkali ganti bikin mangkel teman-teman yang sering bertanya, SMA 2 yang mana sih? Jawabnya: masak gak tahu, itu lho sekolahnya Anies, hahaha.

Dan ternyata setelah berkeluarga dan memiliki anak, dan kemudian menyekolahkan anak-anak di salah satu sekolah Islam di kawasan Kotabaru, ternyata Anies juga alumni Taman Kanak-kanak tersebut, yaitu TK Masjid Syuhada. Anies juga lagi-lagi menjadi kebanggaan, yang seringkali disebut-sebut sebagai contoh alumni yang berhasil. Sempat ditunjukkan juga momen ketika Anies berkunjung ke sekolah dan menyalami bekas guru-gurunya dahulu. Ya, banyak kebetulan-kebetulan memang yang terjadi dalam hidup saya terkait dengan Anies Baswedan, walaupun mungkin nasib dan jalan hidup berbeda jauh hehehe. 

Harapannya, semoga Mas Anies tetap konsisten dan istiqomah dengan segala visi yang dimiliki, yang tentunya dipupuk dari jejak-jejak pendidikan masa lalu yang ternyata secara kebetulan terasa dekat dengan kehidupan saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun