Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Renungan Wastafel #3: Ideologi Pasta Gigi

25 Februari 2016   12:59 Diperbarui: 25 Februari 2016   13:25 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pasta gigi dapat memberikan kita pelajaran mengenai ideologi. Umum kita mengenali kelebihan sebuah pasta gigi dari busanya yang berlimpah, yang menyebabkan kita menilai semakin banyak busanya berarti semakin bagus kualitas pasta gigi tersebut. Setidaknya itu yang tertanam dalam benak saya mengenai sebuah kelebihan pasta gigi, entah apakah persepsi itu tertanam dari pembiasaan dan pengenalan yang dilakukan sedari kecil, atau menyerap dari lingkungan sekitar, sama seperti ketika kita berpersepsi bahwa sabun yang baik adalah yang memiliki busa berlimpah, sebagaimana banyak iklan secara terang-terangan menyatakan demikian.

Untuk pasta gigi, setahu saya tidak ada memang yang secara eksplisit menyampaikan bahwa busa pasta yang banyak merupakan kelebihan pasta gigi mereka. Mungkin hal ini didasari pada pengetahuan pembuat pasta gigi bahwa memang bukan pada sisi busanyalah fungsi sebuah pasta gigi terutama dimiliki, tapi dari kandungan lainnya yang mampu menguatkan gigi atau membunuh kuman.

Jadi, fungsi busa di sini dapatlah disamakan dengan fungsi penggembira, yang membuat seorang pengguna merasa yakin bahwa pasta gigi yang digunakannya memiliki fungsi yang baik sesuai dengan kebutuhannya.

Namun belakangan, di luar jalur utama yang dianut para pembuat pasta gigi, yang beberapa merupakan perusahaan multinasional yang berbasis di luar negeri, terdapat sebuah produk pasta gigi lokal yang lebih memilih untuk memasarkan pasta giginya tanpa busa yang berlimpah. Dan hebatnya, pasta gigi tersebut mampu eksis di tengah gempuran pasta gigi arus utama, tanpa bombardir iklan yang bertubi-tubi masuk lewat layar kaca. Lebih hebatnya lagi, pasta gigi tersebut adalah buatan lokal, yang seperti saya pernah baca pada sebuah berita di Kompas pada rubrik Sosok beberapa tahun yang lalu, pasta gigi itu dibuat karena rasa penasaran seorang konsumen terhadap sakit gigi yang dideritanya yang tak kunjung sembuh.

Si konsumen tersebut kemudian melakukan berbagai percobaan, yang akhirnya menemukan sebuah formula yang cukup layak dan mampu dipasarkan secara komersial. Metode yang digunakan cukup ekstrim berbeda dengan pasta gigi yang ada, karena tidak menggunakan diterjen yang menimbulkan busa melimpah itu, namun justru memanfaatkan enzim-enzim yang ada pada mulut untuk memacu fungsinya secara optimal.

Berpikir mengenai pasta gigi tersebut membaca saya pada sebuah perenungan, bahwa hidup memang sebuah pilihan. Ada banyak jalan yang dapat dipilih, apakah jalan yang penuh gebyar dan wah, atau jalan sepi yang mungkin tidak banyak orang menjalani, namun sebenarnya tidak kurang berarti. Pasta gigi yang penuh busa tadi, mungkin serupa jalan hidup yang begitu wah, setiap orang mungkin akan mengagumi dan iri melihatnya, namun soal fungsi mungkin si pasta gigi yang memilih tanpa busa itu tidak dapat diremehkan begitu saja.

Dari sisi pencapaian, mungkin apa yang diperoleh pasta gigi tanpa busa itu justru luar biasa, dengan modal, sumber daya manusia, peralatan, pemasaran yang mungkin jauh lebih kecil dibandingkan si pasta gigi penuh busa yang diproduksi perusahaan multinasional itu, toh dia tetap dapat eksis dan diterima oleh berbagai pihak. Sesungguhnya, pilihan pasta gigi tanpa busa itu adalah pilihan yang ideologis, karena hampir menafikan berbagai kelebihan yang disukai masyarakat dengan budaya pop yang penuh gebyar ini, namun justru memilih jalan sepi yang tidak banyak dilalui. Dan hebatnya lagi, mampu eksis dan tetap tegak berdiri.

Dan belajar dari pasta gigi itu, mungkin kita pun bisa mengambil inspirasi, bahwa tidak perlu penuh gebyar untuk berprestasi, jalan sepi dan sunyipun bisa, asalkan kita sadar dan tahu, bahwa pilihan kita adalah pilihan yang berideologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun