Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Kembali Bertemu Teman SD

25 Juni 2015   07:50 Diperbarui: 4 April 2017   18:29 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa kecil memang masa paling membahagiakan. Dunia bebas, tanpa beban, dengan berbagai pikiran polos dan keapaadaan, sesuatu yang sekarang mungkin terasa sulit ditemukan dan menjadi mengharukan ketika mengingatnya kembali. Maka, ketika beberapa waktu yang lalu saya menerima pesan di WA dari seorang teman SD yang sudah 30 tahun tidak ketemu, yang kemudian menginvite untuk masuk dalam grup alumni, tiba-tiba berbagai kenangan itu seolah hadir lagi. Terus terang, saya seringkali rindu dengan masa-masa itu. Masa-masa yang ternyata meninggalkan banyak kenangan di hati, meskipun tidak selalu sesuatu yang indah, namun sepertinya itu adalah masa-masa paling jujur yang pernah terjadi dalam hidup, sehingga selalu menimbulkan kerinduan untuk kembali merasai.

Begitulah yang terasa ketika saya menerima pesan lewat WA sore itu. Berbagai kenangan tentang kejadian-kejadian masa SD dulu yang masih terrekam erat dalam benak tiba-tiba berhamburan keluar. Ternyata saya masih merekam dengan kuat semua kenangan itu, misalnya tentang acara yang cukup memalukan di sebuah ulang tahun teman cewek, yang ketika saya kedhapuk harus menyanyi ke depan karena sebuah permainan, dengan polosnya menyanyikan lagu Garuda Pancasila. Kemudian ketika pulang, roti yang dikasih sebagai oleh-oleh saya berikan pada teman yang menerima dengan senang hati di pintu gerbang rumah teman cewek itu, yang tentu melihat apa yang saya lakukan. Saya bahkan masih ingat peristiwa ketika teman cewek itu yang mungkin merasa mangkel dengan kelakuan saya mengatakan saya sebagai 'anak aneh' meskipun secara tidak langsung di depan teman-teman cewek lain. Saya yang waktu itu sedang bermain bola di halaman dengan posisi penjaga gawang, karena begitu malu, akhirnya kabur ke depan meninggalkan gawang tanpa penjaga. Ah, mungkin saya memang aneh kok...

Saya juga masih merekam dengan kuat berbagai kelakuan konyol dan memalukan yang pernah terjadi, misalnya ketika salah menangkap perintah guru untuk mengambilkan pulpen, yang saya kira masih merupakan bagian dari sandiwara yang semula diajarkan, kemudian kejadian ketika saya menyambut dengan berlebihan kedatangan pak guru di rumah yang kemudian disinggung pak guru itu di depan kelas tanpa menyebut nama bahwa kejadian itu seperti pentas wayang orang, kemudian juga kejadian ketika saya dengan polos menabung pertama kali Rp25 ketika yang lain membawa minimal Rp100, bahkan Rp500, sebuah jumlah yang cukup besar waktu itu. Kemudian juga saya masih mengingat berbagai ketakutan-ketakutan yang seringkali tidak masuk akal, misalnya ketakutan untuk menjawab ketika dipanggil absen, karena saya memiliki penyakit gagap yang seringkali menyebabkan tidak mampu mengeluarkan suara ketika harus berbicara. Bahkan saya pernah masuk UKS karena tidak mampu membaca dengan lancar karena gagap, tapi oleh guru dikira sesak napas. Saya juga memiliki ketakutan untuk berbicara, bahkan ketika dibutuhkan, sehingga sempat dimarahi oleh seorang guru yang mengurusi tabungan karena saya tidak menyampaikan bahwa saya akan menarik uang tabungan ketika kas sudah ditutup. Tidak bisa ngomong ya, katanya waktu itu dengan galak di depan kelas. Saya juga pernah salah tangkap dengan maksud guru, ketika seharusnya jawaban ditulis dalam kertas, entah mengapa saya mengira tanya jawab lisan dan terbuka. Maka saya kemudian membaca dalam buku catatan dan menjawab dengan keras. Saya masih ingat waktu itu pelajaran IPS, yang akhirnya menyebabkan protes dari teman yang mengira saya sedang pamer kepinteran. Pak guru pun akhirnya membatalkan soal satu itu karena sudah terbocorkan.

Ya, entah mengapa saya lebih banyak mengingat hal-hal konyol dan bodoh yang pernah saya lakukan ketika SD, padahal bukannya sombong, saat itu saya hampir selalu juara kelas, kalau tidak salah minimal juara 3. Tapi entah mengapa predikat yang tambah gagah itu terasa tak menimbulkan rasa bangga dalam hati. Malah kadang-kadang lebih banyak rasa minder dan rendah diri yang muncul, entah karena apa. Mungkin karena saya waktu itu bertubuh kecil dibandingkan teman-teman lain, atau mungkin karena saya pendiam dan tidak banyak bicara. Entahlah, saya juga tidak mengerti mengapa saya waktu itu merasa serba kikuk dan canggung dalam pergaulan.

Namun begitu, ternyata saya juga masih mengingat berbagai kejadian yang membanggakan, misalnya ketika dipuji jenius oleh teman hanya gara-gara hapal ibukota provinsi di Indonesia yang waktu itu berjumlah 27, kemudian  juga pujian dari seorang guru dalam pelajaran mengarang yang tidak habis pikir dengan hasil karangan saya yang disebutnya melampaui daya pikir anak seusia saya. Waktu itu saya menulis tentang ayah yang beternak ayam petelur untuk menambah penghasilan keluarga, sesuatu yang menurut saya biasa-biasa saja dan wajar, namun entah mengapa dinilai begitu luar biasa oleh bu guru. Beliau membacakan pembukaan kalimat saya di depan kelas, kalau tidak salah begini bunyinya: 'Biaya kehidupan yang semakin besar membuat ayahku harus berusaha di luar tugasnya sebagai guru'. Mungkin karena beliau seolah tertohok dengan kalimat itu dan diam-diam membenarkannya dalam hati sehingga menganggap sebagai hal yang luar biasa. Beliau bahkan sempat mengira itu hasil dari tulisan bapak, namun terpatahkan sendiri karena itu adalah tugas di kelas. Mengarang memang hal yang saya senangi karena seolah mampu menjadi penyambung lidah saya yang cenderung pendiam dan canggung ini. Bahkan kalau tidak salah, saya pernah menjadi juara III Porseni SD se Kabupaten Bantul,  juga pernah juara untuk sebuah lomba yang lain. Selain itu, bersama-sama teman-teman lain kami juga pernah menjadi juara I Karawitan atau gamelan Jawa pada event yang sama. Waktu itu, kami secara rutin melakukan latihan menabuh gamelan di sebuah ruangan di pojok kantor bupati Bantul yang sering kami sebut Paseban, kadang juga di rumah seorang guru. Juga waktu itu saya menjadi anggota drum band, dengan secara konsisten memegang alat musik seruling. Sempat juga mengikuti semacam silat massal dengan berseragam hitam-hitam di lapangan Dwi Windu Bantul, entah untuk acara apa. Ternyata lumayan juga kegiatan waktu SD dulu.

Demikianlah berbagai kenangan itu seolah hadir kembali ketika datang undangan dari Grup WA Alumni SD Bantul III. Sekolah ini sekarang sudah rata dengan tanah dan berganti menjadi lahan parkir untuk kompleks perkantoran Pemda Bantul. Gedungnya kemudian pindah di wilayah pinggiran kota.

Di grup WA itu, mereka yang sekarang semua semestinya sudah berkepala 4 (awal) itu bersepakat untuk meninggalkan segala predikat dan jabatan saat ini, memanggil dengan nama kecil masing-masing, yang meskipun memang di awal-awal agak canggung juga tapi lama-lama akhirnya terbiasa.

Teman-teman bahkan masih saling bercanda, mengejek seperti masa kecil dulu. Ah masa kecil yang tak pernah hilang dalam ingatan...

Ya, suasana di WA itu seperti suasana waktu kecil dulu yang polos dan lugu. Semua seolah menjadi anak kecil yang melepaskan semua predikat di dunia nyata yang mungkin mengungkung benak. Padahal mereka saat ini juga sudah eksis dengan berbagai profesi. Dan saya sendiri, diam-diam mensyukuri kehadiran teknologi yang mampu mendekatkan kembali kerinduan-kerinduan masa kecil itu. Ah, mungkin mereka tidak tahu kalau saya kadang-kadang melakukan searching di google untuk mencari tahu nasib teman-teman, yang ternyata hanya sebagian yang dikenali jejaknya. Dan mereka mungkin juga tidak tahu kalau diam-diam saya pernah menulis sebuah cerita pendek yang terinspirasi oleh cerita jaman SD itu, yang kemudian dimuat di Majalah Kawanku sekitar tahun 1998. Judulnya Teman Masa Kecil. Ah, jadi teringat yang bukan-bukan :)

 

Note:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun