Kulon Progo adalah daerah yang membuat saya penasaran, sayangnya bukan karena prestasinya, tetapi lebih karena kontradiksinya. Kabupaten ini sebenarnya memiliki akses lokasi yang jauh lebih terbuka dibandingkan dua kabupaten lain di DIY, yaitu Bantul dan Gunung Kidul. Kabupaten Kulon Progo berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman di Sebelah Timur, dan Kabupaten Purworejo yang masuk Provinsi Jawa Tengah di sebelah barat. Akses ke barat ini merupakan akses utama jalur lintas selatan menuju Purwokerto, Bandung, hingga Jakarta. Dengan demikian, Kulon Progo merupakan salah satu simpul penting jalur selatan Jawa yang memegang peranan dalam distribusi barang dan jasa.
Di sisi lain, dua kabupaten lain di DIY, yaitu Bantul dan Gunung Kidul memiliki akses yang relatif terbatas. Kabupaten Bantul adalah kabupaten yang dibatasi oleh 4 kabupaten lain di DIY, yaitu Yogyakarta dan Sleman di sebelah utara, Kulon Progo di sebelah barat dan Gunung Kidul di sebelah timur. Kabupaten ini tidak dilewati jalur utama perjalanan lintas selatan Jawa di pusat kotanya, hanya dilewati pada bagian utara yang menjadi jalur lingkar selatan kota Yogyakarta.Dengan demikian, sebagian besar karakteristik perjalanan di Kabupaten Bantul merupakan perjalanan-perjalanan jarak pendek antar kabupaten di DIY. Kalaupun ada perjalanan ke luar daerah, biasanya perjalanan non reguler yang bertujuan untuk kepentingan sesaat, seperti pariwisata dan urusan keluarga. Dengan karakteristik semacam itu, peran Kabupaten Bantul dalam distribusi barang dan jasa di wilayah yang lebih luas sebenarnya relatif terbatas.
Kabupaten Gunung Kidul juga merupakan kabupaten yang memiliki keterbatasan akses, karena dibatasi oleh pegunungan Kidul atau Seribu di sebelah timur, yang memiliki kontur menanjak. Kondisi ini serupa dengan kabupaten lain di sebelah timur, yaitu Wonogiri, Pacitan, Trenggalek dan seterusnya. Karena karakteristik ini, jalur Gunung Kidul dan beberapa kabupaten di lintas pegunungan Seribu bukan merupakan akses utama untuk menuju kota-kota besar di sebelah timur Jawa, seperti Malang dan Surabaya. Pelaku perjalanan lebih memilih melalui jalur Solo, Madiun dan seterusnya yang relatif datar, dengan infrastruktur jalan yang bagus. Wilayah-wilayah kabupaten di sebelah selatan tersebut akhirnya menjadi relatif jarang dilewati dan hanya dikunjungi ketika ada maksud tertentu di wilayah tersebut. Akibatnya, perkembangan wilayah juga relatif menjadi lambat. Apalagi daerah tersebut dikenal memiliki kondisi iklim yang kering dan kesuburan tanah rendah.
Gambaran posisi ketiga kabupaten tersebut dapat dilihat dalam peta berikut, dengan Kulon Progo adalah wilayah yang diarsir abu-abu, Bantul warna putih dan Gunungkidul warna biru:
[caption id="attachment_385790" align="aligncenter" width="518" caption="Posisi kabupaten/kota di DIY"][/caption]
Melihat sekilas kondisi tersebut, tentu kita akan menebak bahwa Kulon Progo dapat berkembang jauh lebih pesat dibandingkan kedua wilayah tetangganya. Namun data yang ada ternyata tidak demikian. Dilihat dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)nya, kabupaten ini memiliki PDRB yang jauh lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya di DIY, seperti dapat dilihat dalam tabel berikut:
Selain itu, Kulon Progo juga memiliki prosentase penduduk miskin yang tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di DIY:
[caption id="attachment_385796" align="alignnone" width="632" caption="Kondisi kemiskinan di DIY"]
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa letak yang cukup strategis dari Kabupaten Kulon Progo, setidaknya hingga awal dekade ini, belum mampu mendorong perkembangan kesejahteraan di kabupaten tersebut. Di sisi lain, apabila dilihat dari indikator non ekonomi, misalnya angka harapan hidup dan melek huruf, kabupaten Kulon Progo relatif memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan kabupaten lainnya, terutama Gunung Kidul dan Bantul, seperti dapat dilihat dalam tabel berikut:
[caption id="attachment_385802" align="alignnone" width="626" caption="Indikator non ekonomi"]
Tingkat kualitas SDM yang cukup tinggi tersebut dapat berpengaruh pada indikator lainnya, misalnya tingkat pengangguran terbuka yang angkanya cukup rendah dibandingkan kabupaten lainnya.
Sumber: DPKPD, Kemenkeu, 2014
Secara keseluruhan, dengan pendekatan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikembangkan PBB, Kabupaten Kulon Progo memiliki posisi keempat, di atas Kabupaten Gunung Kidul, dan hanya terpaut sedikit dengan Kabupaten Bantul yang memiliki posisi di atasnya.
[caption id="attachment_385803" align="alignnone" width="632" caption="Indeks Pembangunan Manusia"]
Hal ini menunjukkan, bahwa Kabupaten ini sebenarnya memiliki potensi besar untuk berkembang. Apalagi saat ini Bupati yang menjabat cukup visioner dengan menyusun berbagai prorgram untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya (lihat juga tulisan ini). Dalam kunjungan ke Kulon Progo beberapa waktu lalu, saya dapat melihat, selain pembangunan non fisik, terdapat pembangunan berbagai prasarana baru yang cukup megah, seperti pasar, fasilitas pendidikan dan olahraga (walaupun mungkin tidak dibangun langsung oleh Pemda, hanya sebagai fasilitator), sebagaimana dapat disimak dalam foto-foto berikut:
[caption id="attachment_385808" align="aligncenter" width="366" caption="Pasar Sentolo"]
[caption id="attachment_385811" align="aligncenter" width="421" caption="Kolam renang Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) cabang Wates"]
[caption id="attachment_385813" align="aligncenter" width="424" caption="Kampus UNY Wates"]
Satu apresiasi patut diberikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang mau membuka kampus cabang di Wates, ibukota Kabupaten Kulon Progo. Pembukaan kampus ini diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas SDM masyarakat Kulon Progo sendiri, maupun menarik minat mahasiswa dari berbagai daerah untuk menimba ilmu di daerah ini. Berbagai keuntungan ikutan akan muncul dengan kedatangan para mahasiswa tersebut, sebagai sebuah multiplier effect, sebagaimana dapat dilihat dari keberadaan berbagai kampus di Yogyakarta. Nama besar UNY tentu diharapkan dapat menjadi salah satu daya tarik untuk itu.
Akhirnya, saya sebagai salah satu warga di DIY yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apapun dengan kabupaten ini, berharap Kulon Progo akan lebih berkembang, sesuai dengan potensi yang dimiliki. Karena sebenarnya wilayah ini memiliki potensi yang lengkap, selain aksesibilitas yang baik, juga berbagai produk pertanian (vanili, coklat, durian), ternak (kambing ettawa), wisata gunung/bukit (Clereng), wisata air (Waduk Sermo) dan pantai (Glagah, Congot, Trisik). Ditambah lagi, saat ini berbagai mega proyek sedang direncanakan untuk dikembangkan, terutama di daerah pesisir selatan Kulon Progo, seperti pengembangan bandara baru dan pabrik pasir besi. Meskipun saat ini, mega proyek yang merupakan proyek dari pemerintah provinsi maupun nasional tersebut masih dirundung berbagai permasalahan seperti ganti rugi tanah dan konflik lay out yang berpotensi menghambat realisasinya. Harapannya, mega proyek tersebut akan mampu mendorong geliat aktifitas perekonomian di kabupaten ini, bukan justru menenggelamkannya dalam berbagai permasalahan dan kontroversi yang tidak perlu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H