Tulisan ini sebenarnya melengkapi tulisan sebelumnya yang disampaikan oleh rekan Purnahasna Luthfi dalam tulisannya berjudul Transjogja Tak Lagi Berhati Nyaman, yang mengeluhkan semakin menurunnya kualitas pengoperasian Trans Jogja yang diharapkan mampu menjadi salah satu solusi bertransportasi masyarakat Jogja. Alih-alih memenuhi harapan tersebut, saat ini beberapa indikator menunjukkan bahwa pengoperasian bus tersebut belum memenuhi harapan para penggunanya. Dapat ditemukan sebagaimana diuraikan oleh rekan Luthfi, adanya kondisi bus yang tidak prima, kualitas layanan dalam bus yang buruk, misalnya dengan matinya AC, kemudian emisi gas buang yang terindikasi melebihi batas ambang terlihat dari tampilan asap yang hitam pekat, serta perilaku sopir bus yang ugal-ugalan. Saya tidak akan menyoroti semua aspek tersebut, yang sepertinya cukup kompleks untuk dipecahkan satu persatu, walaupun bukan tidak mungkin untuk diatasi, karena pihak-pihak dan aturan main yang berlaku seharusnya jelas hitam di atas putih. Dapat ditelusur misalnya, bagaimana standar layanan yang diharapkan, kemudian apa sanksi yang seharusnya diberikan apabila melanggar, dan sebagainya. Secara legal formal semua hal tersebut dapat diterapkan, hanya saja mungkin terdapat 'aspek non teknis' yang seringkali menjadi penghalang dalam penerapannya.
Kali ini saya hanya akan menyoroti satu hal, yaitu tentang perilaku sopir bus yang ugal-ugalan, atau bertindak semaunya. Saya juga salah satu penumpang Trans Jogja, walaupun hanya sesekali, namun memiliki pengalaman tidak mengenakkan dengan perilaku sopir bus tersebut. Walaupun tidak sampai menimbulkan korban, namun saat itu saya mendapati bagaimana sopir menjalankan kendaraan dengan semaunya, tanpa mempertimbangkan kenyamanan penumpang dalam bus maupun keselamatan para pengguna jalan lainnya. Saya mengalami bagaimana sopir membawa bus meliuk-liuk ke kiri dan kanan untuk menyalip kendaraan lainnya, kemudian menginjak gas dengan kencang setelah berhenti yang menimbulkan sentakan tidak nyaman bagi penumpang yang berdiri, serta menjalankan kendaraan dengan kecepatan yang relatif tinggi. Saat itu saya berpikir, apa yang dikejar oleh sopir bus ini, toh dia telah digaji tetap, tidak memiliki beban untuk mengejar penumpang untuk menaikkan pendapatan. Sebagai informasi, gaji sopir bus Trans Jogja cukup tinggi untuk standar Kota Yogya, yaitu sekitar Rp2 juta pada periode 5 tahun terakhir. Gaji itu diusulkan akan dinaikkan menjadi Rp2,6 juta tahun ini (lihat berita ini). Besaran ini jauh di atas UMR DIY sekitar Rp1,3 juta. Lalu mengapa mereka justru berperilaku semacam itu?
Saya pernah membaca sebuah artikel yang menyoroti respon perilaku para pekerja ketika diberi insentif berupa kenaikan gaji. Ada yang kemudian bertambah semangat kerjanya sesuai dengan pendapatan yang diterimanya. Namun ada juga yang tidak berdampak signifikan, alias sama saja dengan ketika belum diberikan penambahan pendapatan. Yang mengherankan, ada juga pegawai yang justru turun kinerjanya setelah pendapatannya bertambah. Mengapa bisa demikian, karena ternyata pegawai tersebut membelanjakan kelebihan uangnya untuk hal-hal yang menjadi kesenangan semata, misalnya mengkonsumsi minuman keras maupun narkoba. Hal ini menjadikan kenaikan pendapatan justru menurunkan kinerja dirinya.
Hal serupa walau tak sama persis sepertinya terjadi pada sebagian pengemudi bus Trans Jogja. Sebagian dari mereka direkrut dari sopir bus angkutan kota yang dihentikan operasinya setelah dioperasikannya Trans Jogja. Para pengemudi itu dikontrak dengan sistem gaji tetap, berbeda dengan sebelumnya dengan sistem setoran. Meskipun pendapatan yang diterima telah jelas, dengan besaran yang terindikasi lebih tinggi, namun perilaku yang dimiliki ternyata tidak banyak berubah. Mengapa demikian, karena menurut informasi dari seorang staf Dinas Perhubungan ketika berdiskusi di Pemda DIY, sopir-sopir tersebut masih terbawa perilaku lama, yaitu ingin segera bersantai di terminal sambil ngobrol, minum dan makan dengan sesama pengemudi. Akibatnya, mereka membawa kendaraan dengan terburu-buru, agar dapat memanfaatkan sisa waktu untuk menyenangkan dirinya. Tentu tidak semua perilaku pengemudi seperti itu, hanya saja karena perilaku tersebut sangat terasa dan berdampak nyata pada penumpang maupun pengguna jalan lainnya, maka menjadi sangat mudah menjadi sorotan.
Demikianlah, sepertinya memang diperlukan kearifan tersendiri untuk membentuk perilaku pengemudi, bukan hanya dengan penambahan gaji atau insentif, namun juga pembentukan mental dan karakter yang akan berpengaruh pada cara kerja mereka. Hal itu tentu tidak dapat dibentuk begitu saja, karena dipengaruhi pendidikan sejak kecil, juga kondisi lingkungan, sehingga diperlukan perhatian pada berbagai aspek agar terbentuk etos kerja yang tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H