Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Apa yang Sudah Dilakukan untuk Kelestarian Air?

24 April 2015   10:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:44 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kebiasaan yang Salah

Menyimak pertanyaan dalam judul itu terasa sedih, karena ternyata belum banyak yang sudah dilakukan, walaupun sebenarnya bisa. Ambil contoh, anak-anak kita biasakan mandi dengan ember besar yang penuh, lalu pada saat terakhir kita biasakan mengguyur hingga basah dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seringkali juga anak dibiasakan untuk mandi dengan mencebur ke dalam ember, sehingga mau tidak mau semuanya harus dihabiskan karena kotor. Padahal, kalau dilihat kebutuhannya untuk sekedar membersihkan badan dan rambut sesekali dan gosok gigi, mungkin hanya diperlukan tidak sampai sepertiga ember penuh. Seringkali juga, kamar mandi sudah dilengkapi dengan shower namun jarang digunakan, karena terasa kurang puas dengan guyuran air yang sedikit demi sedikit itu. Akhirnya, shower hanya menjadi sekedar hiasan di kamar mand.

Contoh kecil lain, seringkali kita membiarkan air kran tetap mengalir ketika menggosok gigi, padahal bisa saja setelah membasahi sikat dan pasta gigi, air dapat terlebih dahulu dimatikan. Namun seringkali rasa malas untuk sekedar memutar kran mengalahkan niat berperilaku baik tersebut. Seringkali juga, kemalasan yang sama terjadi ketika mandi dengan shower, misalnya dengan membiarkan air tetap mengalir ketika sedang menggosok tubuh atau rambut. Percikan air dari shower kita biarkan jatuh ke lantai tanpa dipergunakan sedikitpun. Alangkah menyedihkan.

Kebiasaan untuk berboros-boros dengan air tersebut mungkin merupakan kebiasaan yang tumbuh dari masa kecil dahulu. Kita sebagai orang tua yang dididik pada generasi 70an hingga 80an terbiasa dengan ketersediaan air bersih yang berlimpah, sehingga tidak pernah memikirkan dan membayangkan terjadinya krisis air. Namun kondisi saat ini sudah berubah jauh, ketika penduduk tumbuh, diikuti dengan bertambahnya kebutuhan air. Di sisi lain, sumber-sumber air bersih berkurang, dengan semakin terdesaknya ruang hijau yang menjadi tempat penampung air dengan aneka penggunaan lahan budi daya.

Kebijakan dan Kondisi Makro

Ketersediaan air bersih dan sanitasi yang baik merupakan salah satu Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) dengan target mengurangi kekurangan akses air bersih yang masih dialami oleh setengah dari penduduk Indonesia saat ini. Hasil kajian Unicef tahun 2012 mengungkapkan bahwa Indonesia sesungguhnya berada pada arah yang tidak tepat untuk mencapai target MDGs tersebut. Hasil kajian tersebut menyatakan bahwa dibandingkan tahun 2007, data tahun 2010 menunjukkan akses penduduk ke air bersih mengalami penurunan sebesar 7%. Kondisi ini terutama dialami oleh penduduk di perkotaan yang rata-rata mengalami penurunan akses sebesar 23%. Kondisi ini bahkan juga dialami oleh penduduk berpendapatan tertinggi yang memiliki kemampuan untuk membeli air bersih dalam botol (air mineral), yang menurut kajian ini mengalami penurunan akses sebesar 32%.

Untuk kondisi Yogyakarta tempat penulis tinggal, DIY sebenarnya termasuk provinsi dengan kualitas penyediaan air bersih yang masih relatif baik. Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Litbang Kementerian Kesehatan tahun 2013 menunjukkan bahwa DIY termasuk dalam urutan kedua setelah Bali untuk provinsi dengan penyediaan air minum improved, yaitu mencapai 81,7%. Air minum improved adalah air minum yang berasal dari air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan, dan air kemasan, dengan syarat sumber air untuk keperluan rumah tangga lainnya juga improved (Riskesdas, 2013). Kriteria penyediaan air bersih yang digunakan mengacu pada kriteria JMP WHO-UNICEF tahun 2004 yaitu pemakaian air minimal 20 liter per orang per hari, sarana improved dan berada dalam radius 1 kilometer dari rumah.
Namun demikian, patut diwaspadai adanya kecenderungan penurunan besaran air minum improved tersebut dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hasil Riskesdas tahun 2010 masih mendudukkan DIY sebagai provinsi tertinggi penyedia air minum improved dengan prosentase sebesar 87,9%. Dapat dilihat, bahwa dalam kurun waktu 3 tahun terdapat penurunan sebesar 6,2%, atau rata-rata 2,1% per tahun. Kecenderungan ini cukup memprihatinkan, karena menunjukkan semakin berkurangnya kapasitas penyediaan air minum maupun air bersih bagi masyarakat di DIY.
Yang perlu diwaspadai juga adalah, pola penurunan kualitas yang dapat saja berbentuk eksponensial bukan linier, yang menunjukkan pola penurunan yang semakin memburuk dari tahun ke tahun. Tentu kita tidak mengharapkan hal ini terjadi. Namun berita di koran lokal beberapa waktu lalu yang menyatakan keringnya beberapa sumber air di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa kekhawatiran tersebut bukanlah kekhawatiran yang berlebihan.

Lalu Apa yang Harus Dilakukan?

Penurunan kapasitas dan kualitas air bersih tentu tidak terlepas dari penurunan kualitas lingkungan secara keseluruhan. Penggunaan ruang secara massif untuk fungsi-fungsi budidaya ditengarai merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas tersebut. Adanya kontrol yang ketat pada dokumen perencanaan ruang yang sudah disusun merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah penurunan kualitas lingkungan yang semakin parah. Memang, diperlukan berbagai prasyarat seperti konsistensi dan koordinasi yang baik antar pihak, sehingga langkah tersebut bukan hanya sekedar dituliskan, namun juga mampu untuk diterapkan.

Dari sisi pribadi, adanya perubahan perilaku mutlak untuk dilakukan. Sudah menjadi kewajiban kita, terutama yang sudah menjadi orang tua, untuk menurunkan kebiasaan baik kepada anak-anak kita, bahkan mungkin juga kepada rekan-rekan yang sering berinteraksi, sehingga terdapat perilaku yang sehat dalam pemanfaatan air. Bukan hanya dalam pemanfaatan air domestik, namun juga dalam pengaturan fasilitas untuk mampu menampung air secara cerdas, misalnya dengan menempatkan sumur-sumur peresapan dan biopori di setiap sudut rumah. Dengan langkah-langkah kecil ini, kita harapkan ketersediaan air akan tetap terjamin. Mungkin bukan hanya untuk kita, namun yang lebih penting baik anak cucu kita nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun