Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

GNNT: Mau Kembali ke Jaman Batu?

27 Maret 2015   11:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:55 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup memang sebuah siklus, sebagaimana manusia yang berangkat dari bayi tak bisa apa-apa, kemudian tumbuh berkembang dan akhirnya kembali pada ketidakberdayaan. Demikian juga sepertinya bagaimana manusia mengelola hidupnya. Kita mengenai bagaimana manusia mengembangkan teknologi modern, membangun berbagai gedung dan alat-alat canggih yang memudahkan hidupnya. Namun seringkali manusia rindu kepada kesederhanaan, kepada segala sesuatu yang alami dan berbasis alam. Maka umum dikenal berkembangnya berbagai lokasi wisata yang berbasis alam, seperti Bunaken, Raja Ampat, Derawan, dan sebagainya. Demikian juga, orang rindu dengan alat-alat transportasi tradisional, makanya banyak yang kembali bersepeda. Bentuk dan model rumah juga banyak yang kembali ke bentuk tradisional, walaupun tidak meninggalkan kesan modern. Toh, walaupun sebegitu artifisialnya semua ekspresi tersebut, semuanya menunjukkan bahwa manusia akan selalu kembali kepada hal-hal awal yang dulu dikenalnya.

Demikian juga sepertinya kita dapat menilai Gerakan Nasional Non Tunai yang dicanangkan oleh Pemerintah beberapa waktu yang lalu. Gerakan ini ibarat mengembalikan pola-pola transaksi sebagaimana awal mula dahulu manusia mengenal budaya. Dahulu manusia tidak mengenal uang, hanya melakukan tukar menukar barang yang diperlukan, misalnya daging dengan buah, ubi dengan ikan dan sebagainya. Metode ini menyulitkan karena tidak selamanya masing-masing orang memiliki kepentingan yang sama pada waktu yang sama, misalnya orang menukarkan beras dengan ikan, namun yang ada orang yang memiliki daging, dan seterusnya. Dapat dibayangkan bagaimana kerepotan orang dengan model transaksi semacam itu.

Oleh karena itu, manusia dengan akal budinya kemudian mencari barang yang kemudian diberi nilai sesuai dengan kesepakatan, misalnya peralatan dari gading, tulang, maupun benda-benda yang dianggap berharga lainnya.  Barang-barang inilah yang kemudian digunakan sebagai pengganti pembelian barang. Mungkin inilah cikal bakal uang dalam bentuk yang paling awal. Kesulitan kemudian muncul karena bentuk barang-barang tersebut tidak praktis dan cenderung merepotkan ketika digunakan untuk bertransaksi. Makanya kemudian muncul kepingan logam sebagai pengganti uang yang disepakati nilainya. Logam yang terbuat dari emas akan bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan perak. Inilah sistem yang digunakan oleh Khalifah Islam yang menggunakan mata uang berbasis nilai emas maupun perak.

Sistem tersebut dinilai lebih riil karena berbasis pada nilai riil barang, bukan pada nilai simbolik yang tertera pada uang tersebut. Namun kemudian, dengan berjalannya waktu, dikenallah sistem uang sebagaimana yang digunakan sekarang, yang sebenarnya lebih berbasis pada nilai simbolik, bukan nilai nyata dari uang tersebut. Maka dikenallah sistem uang kartal dan uang giral. Uang kartal meliputi uang kertas dan uang logam yang dapat langsung digunakan sehari-hari, sementara uang giral adalah uang yang berbentuk kertas atau dokumen yang menyatakan nilai uang tertentu. Uang giral dengan demikian merupakan simbol dari uang kartal yang biasanya digunakan terutama untuk transaksi-traksaksi besar.

Dalam perkembangan selanjutnya, sistem pembayaran secara tunai dengan uang kartal dinilai tidak selalu efisien. Hal ini karena banyaknya permasalahan, seperti kebutuhan pengembalian yang tidak selalu tersedia (misalnya di supermarket atau pintu tol), resiko adanya pemalsuan uang, tidak tercatatnya transaksi sehingga memudahkan dalam mendukung kejahatan kerah putih (korupsi, pencucian uang), serta biaya pengelolaan yang besar oleh pemerintah untuk pencetakan, pengedaran dan pemusnahannya. Oleh karena itu diperlukan sistem yang memudahkan transaksi pembayaran secara non tunai. Bentuk transaksi non tunai tersebut beraneka ragam, yang mungkin beberapa sudah familiar kita lakukan, seperti pembayaran melalui ATM maupun kartu kredit. Transaksi besar yang dilakukan perusahaan mungkin sebagian besar sudah menggunakan non tunai karena kepraktisannya, misalnya dengan sistem transfer antar bank (RTGS).

Namun demikian, di Indonesia ternyata penggunaan non tunai untuk pembayaran masih sangat kecil, yaitu kurang dari 1% dari total pembayaran. Konsumsi masyarakat Indonesia tercatat sebesar Rp1531 trilyun pada Triwulan IV 2014 , dengan prosentase transaksi tunai sebesar 99,4%. Dengan demikian, nilai transaksi non tunai yang dilakukan masyarakat pada kurun waktu tersebut adalah sebesar 0,4% atau Rp6,12 trilyun, jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan total transaksi. Prosentase penggunaan transaksi non tunai ini lebih rendah dibandingkan dengan transaksi non tunai di negara Asean lainnya, terutama Singapura yang sudah mencapai 55,5%.

Beberapa sebab mengapa transaksi non tunai masih jarang dilakukan sesuai dengan pengalaman dan opini penulis adalah:

1.Belum familiarnya masyarakat dengan perbankan. Keberadaan perbankan adalah mutlak, terutama untuk penggunaan ATM dan kartu kredit, karena merupakan kesatuan sistem pengoperasian. Hal ini diperparah dengan terbatasnya jaringan ATM terutama pada bank-bank yang beroperasi secara lokal, serta bank yang lebih banyak membidik masyarakat perkotaan. Sistem ini mungkin sudah dicoba diatasi dengan ATM bersama walaupun masih dikenai biaya yang seringkali cukup besar apabila nilai penarikannya kecil. Namun demikian, saat ini keterbatasan ATM sudah tertolong dengan banyaknya mesin EDC pada berbagai supermarket, walaupun seringkali dengan nilai minimal pembelian tertentu.

2. Belum familiarnya masyarakat dengan model-model transaksi non tunai, selain ATM dan kartu kredit. Keberadaan uang elektronik (e-money), walaupun sudah diberlakukan di berbagai sistem pembayaran di berbagai kota, namun belum semua masyarakat mengenal maupun pernah menggunakannya. Penulis sebagai salah satu civitas akademika di UGM yang notabene sudah pernah dilakukan sosialisasinya pada Agustus hingga November 2014, belum pernah sekalipun melihat dan memegang uang elektronik tersebut. Memang di UGM sudah dikenalkan sistem smart-card untuk naik bus TransJogja dengan menggunakan kartu mahasiswa, yang menurut hemat penulis juga merupakan salah satu bentuk uang elektronik. Sepertinya masih diperlukan sosialisasi kepada berbagai kalangan masyarakat, karena bahkan bagi masyarakat yang mudah mengakses informasipun soal uang elektronik ini tidak banyak diketahui.

3. Lebih detail dari permasalahan sebelumnya, juga terdapat ketidakjelasan mekanisme untuk mendapatkan uang elektronik dan bagaimana cara pengisian ulangnya. Memperhatikan bahwa tempat-tempat untuk menerima transaksi dengan uang elektronik tersebut sangat luas, termasuk juga minimarket-minimarket yang dapat ditemui di setiap ruas jalan di Kota Yogya, maka ketidakjelasan mengenai mekanisme ini sebenarnya sangat merugikan. Hal ini karena sistem uang elektronik sebetulnya sangat praktis dan presisi untuk menghitung setiap transaksi.

Yang perlu dicatat juga adalah, transaksi non tunai ini juga sudah sukses dilakukan oleh bukan hanya negara maju, namun juga negara berkembang seperti Kenya. Faktor yang menjadi kunci kesuksesan di Kenya adalah dominannya peran operator telekomunikasi yang sekaligus menjadi operator penggunaan uang elektronik yang dikenal dengan nama M-Pesa. Dengan contoh sukses di negara berkembang tersebut, maka penerapan serupa di negara lain yang memiliki tingkat modernitas serupa tentu bukan sesuatu yang mustahil.

Tentu, kembali ke transaksi non tunai bukan berarti kita benar-benar kembali ke jaman batu yang tidak mengenal uang. Kembali ke transaksi non tunai dapat diartikan kita kembali ke kejujuran kita sebagai manusia, sebagaimana fitrahnya yang tidak mengenal tipu-tipu dan syak wasangka. Menggunakan transaksi non tunai juga berarti kita mendukung sistem pengelolaan pemerintahan yang lebih efisien, sekaligus mengurangi peluang-peluang transaksi tidak tercatat yang merugikan negara dan masyarakat, serta mengurangi beredarnya uang palsu. Semoga kita dapat mendukung Gerakan Nasional Non Tunai ini, tentu untuk Indonesia yang lebih maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun