Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Para Orangtua, Janganlah Melampaui Batas

24 Februari 2015   17:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:36 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menangis rasanya membaca berita mengenai anak 7 tahun yang meninggal dipukuli bapaknya karena bertengkar memperebutkan pakaian (lihat berita ini di Kompas, dan diberitakan dengan judul mengharukan di berita ini). Mengapa seorang Bapak tega melakukan itu pada anaknya? Apakah dia tidak menyayangi anaknya? Apakah kenakalan anaknya sudah kelewat batas? Kalaupun kelewat batas, apakah pantas dia diperlakukan seperti itu, yang berujung pada kematiannya? Lalu apakah dia tidak pernah melakukan kenakalan sebagaimana yang dilakukan anaknya sewaktu kecil? Ataukah sebenarnya jangan-jangan dia yang memang bermasalah atau sedang menghadapi masalah lain sehingga tidak mampu berpikir jernih? Sungguh banyak pertanyaan yang menghambur dalam pikiran, melihat fenomena ini.

Semarah-marahnya orang tua, dia seharusnya tidak akan tega sampai memperlakukan anaknya sekeji itu. Apalagi ini hanya masalah relatif kecil bagi orang tua, walaupun mungkin dianggap penting bagi anak-anak. Lebih-lebih lagi, dia sudah diperingatkan adiknya supaya tidak bertindak kelewatan. Mengapa dia tetap bertindak seperti orang kesetanan seperti itu? Mengapa anak-anak yang belum bisa berpikir selayaknya orang dewasa itu harus menerima akibat jauh lebih besar dibandingkan kenakalan yang dilakukan?

Yang membuat pedih, anak kecil itu justru meminta maaf kepada ayah dan kakaknya atas segala kelakuannya. Di ujung hidupnya dia bertindak selayaknya orang dewasa yang arif dan seolah ingin menyadarkan bapaknya atas kelakuan tidak pantas yang dilakukan. Lalu, dia berlaku sebagaimana anak-anak, meminta es krim, seolah sebuah permintaan terakhir sebelum meninggal dunia. Sungguh sebuah fragmen kisah yang mengharukan.

Rasa sesal yang ditunjukkan belakangan tidaklah banyak guna, ketika tindakan yang dilakukan sudah menyakiti, bukan hanya hati, namun juga fisik yang berujung kematian. Mengapa kesadaran itu datang terlambat? Mengapa tidak datang ketika anak kecil itu berteriak, atau meminta ampun? Mengapa orang tua bisa begitu kelewatan kepada anaknya, seolah dia yang menciptakan dan dialah yang berhak memperlakukan anaknya semaunya?

Para orang tua, juga sebagai pengingat bagi diri sendiri, jangan pernah bertindak melampaui batas pada anak-anak. Mereka tetaplah anak-anak, yang kenakalannya mungkin bukan untuk menyusahkan kita, tapi untuk mendapat perhatian selayaknya dari diri kita. Mereka masih kecil, mereka masih perlu ditunjukkan jalan selayaknya manusia yang masih belajar. Dan tugas kita adalah menunjukkan jalan itu. Dan tugas itu maha berat, sehingga kita harus juga terus belajar, terus mengembangkan diri kita sehingga mampu menjadi penunjuk jalan, bukannya justru menghancurkan jalan masa depan anak-anak kita.

Semoga apa yang terjadi, juga pada banyak tempat di negeri kita ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua. #STOP KEKERASAN PADA ANAK#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun