"Sebuah kisah tentang perjalanan pulang, melalui pertarungan demi pertarungan, kesedihan demi kesedihan, untuk memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit. Pulang."
Berangkat dari rekomendasi seorang teman akan tema cerita yang diangkat, saya akhirnya memutuskan untuk membaca novel ini. Pulang, judul yang awalnya saya anggap cukup sederhana ternyata menyimpan berbagai makna dibaliknya.Â
Setelah membaca sinopsisnya, saya berekspektasi bahwa Tere Liye akan menyajikan cerita berlatarbelakang zaman peperangan hanya karena sebuah kata "pertarungan". Akan tetapi ekspektasi awal saya berubah 180 derajat, novel ini benar-benar menyajikan sesuatu yang berbeda.
Sebutlah Bujang, seorang anak laki-laki pedalaman Sumatra yang tidak mengenal dunia luar dan tidak pula mengenyam pendidikan. Dalam satu tubuh anak ini mengalir darah orang-orang hebat di pulau Sumatra. Kakek dari Bapaknya merupakan seorang jagal paling mahsyur di pulau Sumatra, dan Mamaknya merupakan putri dari Tuanku Imam, seorang pemuka agama di pulau Sumatra. Dua hal yang berkontradiksi ini membuat orangtua Bujang terusir dari kampung tempat mereka tinggal.
Hari itu saat Bujang masih berusia 15 tahun, Tauke Besar-pemimpin Keluarga Tong-dan anak buahnya berkunjung ke Talang. Bapaknya Bujang, Samad, yang merupakan mantan tukang pukul keluarga Tong menyambut mereka dengan hangat. Dari luar terlihat bahwa tujuan mereka datang adalah untuk memburu babi hutan, akan tetapi tujuan mereka sebenarnya bukan itu. Alasan mereka datang adalah untuk menjemput Bujang, anak semata wayang Samad dan Midah. Pada malam itu saat sedang berburu bersama Tauke Besar, Bujang telah kehilangan 1 emosi dalam hatinya, yaitu takut. Malam itu di tengah derasnya hujan, di pedalaman rimba Sumatra, seorang monster bermata merah telah mengambil rasa takut Bujang.
Keesokan paginya Bujang memutuskan untuk ikut Tauke Besar ke Ibu Kota, dan dengan berat hati Midah melepas anak semata wayangnya itu. Berulang kali Midah berpesan kepada Bujang untuk tidak meminum alkohol dan memakan daging babi, karena ia tahu akan menjadi apa anaknya kelak di kota. Dalam waktu 2 tahun Bujang berhasil menyelesaikan pendidikan setara SD, SMP, dan SMA-nya. Setelah itu Bujang menempuh pendidikan tinggi di Universitas kota. Selama 2 tahun itu juga, Bujang dilatih bertinju oleh Kopong, bermain pedang oleh Guru Bushi, dan latihan menembak dengan Salonga. Â Kehidupan Bujang sebagai mahasiswa terlihat biasa dari luar, orang-orang akan mengira Bujang adalah seorang kutu buku yang senang berdiskusi dengan profesornya. Ketika malam tiba image kutu buku itu hilang, ia bertransformasi menjadi penjagal keluarga Tong. Selama masa kuliah itu Bujang melakukan riset mendalam mengenai shadow economy, sebuah riset yang kelak akan membawa Keluarga Tong menjadi salah satu keluarga berpengaruh di dunia.
Setelah mendapatkan gelar sarjana, Bujang menempuh pendidikan magister ekonomi di Amerika. Sekembalinya Bujang dari Amerika, ia mulai melakukan berbagai inovasi untuk keluarga Tong. Berbagai pertempuran dalam mempertahankan dan memperluas kekuasaan keluarga Tong Bujang lakukan. Dimulai dari pertempuran untuk merebut teknologi keluarga Tong yang dicuri keluarga Lin hingga pengkhianatan yang menentukan nasib keluarga Tong. Setelah melewati rangkaian pertempuran, Bujang mendapatkan pelajaran yang ia lewatkan selama ini, sesuatu yang ia anggap tidak penting hingga saat itu tiba.
Melalui novel ini saya mendapatkan banyak pelajaran dan pengetahuan, Bujang mengajarkan saya untuk berpegang teguh pada prinsip yang dipegang. Sejak awal ia berprinsip untuk tidak memakan daging babi dan meminum alkohol, meskipun sering diejek oleh para anggota keluarga Tong yang lain tentang prinsip aneh yang dipegangnya ini, ia tetap mengikuti kata Mamaknya itu. Menurut saya, prinsip hidup akan sangat menentukan jalan hidup seperti apa yang akan kita ambil, karena jika kita tidak mempunyai dasar pondasi yang kuat maka hidup yang diibaratkan sebagai sebuah bangunan ini akan runtuh oleh pengaruh-pengaruh dari luar.
"Mamak, Bujang pulang hari ini. Tidak hanya pulang bersimpuh di pusaranmu, tapi juga telah pulang kepada panggilan Tuhan. Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang. Anakmu telah pulang."(halaman 400)
Paragraf diatas merupakan salah satu bagian favorit saya, seketika saya tersadar akan sesuatu ketika membaca paragraf tersebut. Saya tersadar bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya, selalai apa pun kita terhadap perintah-Nya, Ia akan selalu membimbing kita ke jalan yang benar.Â
Tuhan dengan berbagai cara akan selalu berusaha memanggil kita. Pada hakikatnya semua pilihan terletak di diri manusia, akan berada di jalan yang seperti apa diri kita kelak?