Mohon tunggu...
Croissant Kezia
Croissant Kezia Mohon Tunggu... -

Satu-satunya ..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Biarkan Kursi Itu Kosong

15 Juli 2010   06:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Raniiiiii!!!! Lama-lama aku ngikat kamu pake tali, trus aku tarik lho!”
“Hah? Emang kenapa?”
“Kamu jalannya lelet banget! Cepetan dikit”
“Yee... Kamu jalan duluan aja, Ann. Ntar aku ikutin dari belakang”
“Nggak mau, aku nggak suka kalau kamu jalan di belakangku. Kayak pembantu aja. Jalan di sebelahku dong, kita kan teman”

Kenangan yang kembali muncul membuat air mataku merebak dan menetes membasahi buku catatan biologi yang kubuka asal-asalan di atas meja. Alice, cewek yang duduk di depanku, menarik kursinya ke arahku. Dia mengeluarkan sekotak tisu dan meletakkannya di depanku tanpa ngomong apa-apa.

“Thanks ya, Lis”

Alice mengangguk dan mengusap kepalaku. Beberapa teman berhenti dengerin penjelasan Bu Eka dan ngeliat ke arahku. Bu Eka yang biasanya suka ngambek kalo penjelasannya nggak didengerin kali ini diem aja.

“Ran, aku duduk di situ ya?” tanya Alice sambil menunjuk ke kursi kosong di sebelahku.
“Jangan Lis. Biakan kursi itu tetep kosong”
“Oke.... Jangan sedih terus, Ran. Anne pasti nggak mau liat kamu sedih terus”
“Iya. Sekali lagi, thanks ya”

Alice tersenyum lembut dan kembali memperhatikan Bu Eka. Aku mencoba untuk berkonsentrasi pada pelajaran yang diberikan Bu Eka, tapi tetep aja nggak bisa. Suara Bu Eka malah lama-lama terdengar menjauh.

Hmph.... Emangnya sejak kapan sih apa pernah memperhatikan apa yang dijelasin sama Bu Eka? Aku melirik sekilas ke kursi kosong di sebelahku. Dulu, aku selalu mengganggu orang yang duduk di situ saat pelajaran. Dulu, aku dan pemilik kursi itu nyaris selalu kena marah dari para guru gara-gara ribut sendiri dan nggak ngedengerin penjelasan guru. Pemilik kursi itu juga pernah panik setengah mati saat
asmaku kambuh di kelas.

Sayangnya, dia nggak akan pernah datang ke sekolah lagi. Selamanya aku nggak akan pernah denger suaranya yang biasanya mampu nenangin aku kalo aku lagi ada masalah. Dia.... sudah beda dunia sama aku.

“Rani, Edvanne Hartono itu bukannya teman kamu yang sering main ke sini?” tanya Mama.
“Iya. Kenapa Ma?”

Aku berjalan mendekati Mama yang lagi baca koran di ruang tamu. Beliau mengulurkan koran yang tadi dibacanya kepadaku. Aku melihat koran itu sekilas tanpa berminat buat ngebaca. Sebuah foto di pojok kanan menarik perhatianku. Foto Anne.

“Telah pulang ke rumah Bapa di Surga dengan tenang pada hari Sabtu, 13 Februari 2010 jam 22.45. Anak, Saudari, dan Cucu kami yang tercinta : EDVANNE HARTONO”

Detik berikutnya, tanganku menjadi lemas.. Koran yang kupegang terlepas jatuh ke lantai. Mama yang ngeliat aku kayak gitu langsung memegangi tubuhku dan mendudukkanku di atas sofa.

“Nggak... Ini nggak mungkin... Anne nggak mungkin udah...”

Aku mulai menangis, berharap ini semua cuma mimpi buruk. Ya.... aku harap ini semua cuma mimpi. Saat bangun nanti, aku akan ketemu Anne di sekolah dan semua akan baik-baik aja.....

***

BRUKK

Suara benda yang dilemparkan di atas meja mengagetkanku yang lagi tenggelam dalam kenangan tentang Anne. Merasa terganggu, aku melihat ke sebelah kananku dengan sedikit cemberut.

“Apa-apaan sih Christ?!”

Christ cuma nyengir dan mengambil tas yang tadi dilemparkannya. Lalu dia duduk di atas kursi Anne yang sengaja kukosongkan tanpa meduliin tampangku yang udah tambah lecek.

“Christ, minggir”, desisku.
“Nggak mau. Kenapa harus minggir?”
“Jangan duduk di situ”
“Kenapa? Ini kan bukan kursimu”

Cowok sialan bernama Christ itu tetep cuek dan duduk di kursi Anne. Aku terpaksa diam dan menahan diri buat nggak memaki-maki Christ karena guru udah datang. Aku nggak mau kena marah cuma gara-gara cowok sialan ini.

Seisi kelas juga udah tau kalo aku minta supaya kursi Anne dibiarkan kosong. Semua memenuhi permintaanku, kecuali si Christ. Aku mengeluarkan buku pelajaran dan meletakkannya di atas meja. Well, lebih tepatnya membanting sih. Christ nggak bereaksi dan tetep ngerjain latihan dari buku paket. Aku cuma menyalin ulang soal karena otakku masih blank.

“Kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini, Ran. Dia udah nggak ada. Kamu harus nerima kenyataan itu”

Aku terkesiap mendengar kata-kata Christ. Apa-apaan sih cowok ini? Udah lancang duduk di kursi Anne, eh sekarang dia malah ngomong hal-hal yang nggak jelas.

“Maksudmu apa sih?”
“Kamu nggak bisa ngosongin kursi Anne tiap hari. Selamanya dia nggak akan sekolah bareng kita lagi. Dia udah nggak ada, Ran. Aku tau itu berat, tapi kamu harus belajar nerima kenyataan”

Skakmat. Aku nggak bisa ngomong apa-apa. Jujur, aku cukup terkejut karena Christ tau alasanku ngosongin kursi Anne. Aku masih berharap suatu saat nanti Anne akan datang ke sekolah dan duduk di sebelahku lagi.

Aku membiarkan Christ duduk di sebelahku di sepanjang sisa hari itu. Christ nggak ngomong apa-apa lagi dan membiarkanku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Akhirnya, bel tanda pulang berbunyi dan semua bersiap untuk pulang. Christ membereskan buku-bukunya. Aku masih mematung di kursi, sama sekali nggak beres-beres kayak yang lain

“Aku harap semua ini cuma mimpi, Christ”, gumamku.

Christ berhenti sejenak dan menatapku. Aku menunduk, berusaha menghindari pandangan mata Christ.

“Anne adalah orang pertama yang mengatakan kata “teman” padaku. Dia itu teman pertamaku, nggak, dia satu-satunya temanku. Sekarang dia udah nggak ada. Aku sendirian lagi... Kalian nggak tau gimana rasanya kehilangan dia”

Aku kembali menangis. Dulu kukira kematian satu orang yang kukenal tidak akan membuat dampak besar dalam hidupku. Hanya akan membuatku sedih untuk waktu yang singkat. Udah, itu aja. Tapi ternyata nggak begitu. Udah dua bulan sejak kecelakaan yang merenggut nyala Anne, tapi rasanya ada sesuatu yang kosong di hatiku. Tempat yang dulunya diisi oleh Anne.

“Ssshhh... Tapi sebenernya temanmu bukan cuma Anne, Ran”

Christ maju selangkah dan mengangkat wajahku dengan kedua tangannya. Mata coklatnya menatap tepat ke dalam mataku. Sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar jenaka itu kini menatapku dengan lembut. Cengiran konyol yang selalu terpasang di bibirnya kini digantikan dengan seulas senyum yang menenangkan.

“Ran, temanmu bukan cuma Anne. Coba kamu lihat sekelilingmu”, kata Christ lembut.

Dengan pandangan yang masih sedikit buram karena air mata, aku melihat Alice, Elisa, Jonathan, dan tema-teman sekelas mengitari kami. Beberapa menatapku dengan sedih. Alice dan Elisa bahkan menangis. Ya ampun... Ternyata mereka semua belum pulang. Aku jadi sedikit malu gara-gara mereka ngeliat aku nangis.

“Lihat? Kami semua teman-temanmu, Ran”, ujar Christ sambil tersenyum.
“Kami juga ngerasa kehilangan Anne, Ran. Bukan cuma kamu”, kata Alice, masih dengan air mata mengalir di pipinya.
“Ran, tolong jangan terus tenggelam dalam kesedihan itu. Anne sekarang udah punya kehidupan sendiri di atas sana, di surga. Dia udah bahagia. Tapi Ran, kamu masih punya kehidupanmu sendiri di sini.... bersama kita”

Aku terdiam, berusaha mencerna kata-kata mereka. Apa yang dikatakan mereka benar. Rasa sedih akibat kehilangan Anne telah membuat mata dan hatiku tidak dapat menyadari keberadaan dari teman-temanku yang lain. Air mataku yang selalu mengalir seolah menutupi keberadaan mereka.

“Maaf.... Maafkan aku...... teman-teman”, kataku pelan.

Alice langsung maju dan memelukku. Christ mengusap-usap kepalaku dengan tangannya yang besar. Ternyata seperti ini rasanya berada di antara teman-teman. Hangat dan nyaman....

**********************************************************************************

Jam masih menunjukkan pukul 06.15. Masih terlalu pagi. Koridor yang biasanya dipadati murid-murid tampak lenggang. Suasana yang jarang kulihat karena biasanya aku selalu nyaris telat. Aku membuka pintu kelas dan meletakkan tasku di atas meja dekat jendela. Kursi di sebelahku masih kosong, tapi itu nggak akan berlangsung lama. Beberapa menit kemudian, pintu kembali terbuka dan Christ masuk dengan headset menempel di telinganya. Dia berjalan mendekati mejaku.

“Boleh duduk di sini?”, tanya Christ.

Aku tersenyum dan mengangguk. Christ meletakkan tasnya dan duduk di sebelahku. Kursi ini sekarang udah nggak kosong lagi. Alice, Elisa, Christ, dan teman sekelas bergantian duduk di kursi Anne. Ternyata emang lebih menyenangkan kalo kursi di sebelahmu nggak dibiarkan kosong.

“Ran, dengerin nih”

Christ mengulurkan salah satu headsetnya kepadaku. Aku memasang benda itu di telingaku. Suara seorang penyanyi legendaris yang melantunkan sebuah lagu dengan lembut memenuhi pendengaranku. Bibirku spontan membentuk sebuah senyuman saat mendengar liriknya. Christ ikut tersenyum bersamaku.

“You are not alone... Cause I am here with you...”

Benar... Aku udah nggak sendirian lagi. Aku punya banyak teman sekarang.

Lots of thanks to my beloved besties, Edvanne Hartanto
You’re the first
You’ll always live in my heart

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun