Mohon tunggu...
CRMS Indonesia
CRMS Indonesia Mohon Tunggu... -

CRMS Indonesia (Center for Risk Management Studies) adalah institusi pelatihan manajemen risiko yang telah diakui dunia.

Selanjutnya

Tutup

Money

Legal Risk Management - Konteks Indonesia

4 April 2017   12:40 Diperbarui: 4 April 2017   12:45 2595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wawancara dengan Dr. Ratna Januarita, S.H., LL.M., M.H.

(anggota Dewan Penasihat Akademik CRMSIndonesia)

Bandung – Indonesia, 1 Mei 2013

Pewawancara dan penyusun hasil wawancara:

Stefiany dan Afwan (Tim Peneliti CRMS Indonesia)

Tanya  : “Menurut pandangan Ibu Ratna, apa cakupan legal risk management?”

Jawab : “Cakupan legal risk management meliputi banyak aspek. Namun, seiring dengan meningkatnya perhatian pelaku usaha terhadap risiko-risiko bisnis yang berkaitan dengan hukum, maka aspek hukum dalam kerangka manajemen risiko kini mulai dimasukkan dan dikembangkan. Untuk dapat mengidentifikasi risiko hukum, salah satu langkah pertama untuk memulainya adalah membangun sense of crisis terhadap suatu hal yang akan dihadapi oleh perusahaan. Hal ini bisa berupa proyek, perjanjian, transaksi, dan banyak hal lainnya yang menjadi kegiatan perusahaan dalam menjalankan usahanya. Dalam pandangan saya, semakin tinggi rasa genting atau kritis yang kita miliki terhadap suatu peristiwa atau potensi yang akan terjadi, maka kita akan semakin peka untuk bisa mengidentifikasi risiko-risiko tersebut. Berikutnya adalah melakukan pemetaan (mapping) atas risiko atau potensi risiko dan menentukan langkah untuk dapat mengantisipasi risiko-risiko tersebut”

Legal risk tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang terukur secara angka atau ekonomi, namun juga berkaitan dengan hal-hal yang  melampaui angka-angka . Dalam risiko hukum, terdapat beberapa risiko yang akan berakibat finansial (kerugian materiil),  dan non-finansial (tidak bisa dihitung dengan angka), misalnya kerugian reputasi dan kerugian imateriil. Bahkan dalam banyak kasus, kerugian imateriil sering kali lebih besar dari kerugian materiil.”

Tanya  : “Dalam mapping pada risk management umumnya terdapat identifikasi risiko, analisis untuk assessment, bentuk treatment, dan sebagainya. Apabila dalam konteks mengelola legal risk, bagaimana bentuk mapping-nya?”

Jawab : “Belum ada bentuk atau cara mapping yang baku dalam mengelola legal risk. Hal ini dikarenakan legal risk management termasuk salah satu pemikiran atau kajian yang relatif baru. Banyak orang lupa bahwa risiko hukum juga merupakan suatu risiko yang harus kita perhitungkan, karena pada dasarnya suatu bisnis saat mencapai suatu titik tertentu, terutama ketika terjadi default urusan perjanjian, akan bisa berimplikasi ke ranah hukum. Langkah mengelola risiko hukum yang umumnya dilakukan masyarakat dan pelaku usaha umumnya menempuh jalan musyawarah, pengadilan, atau forum lainnya selain pengadilan (arbiterase atau alternative penyelesaian sengketa). Sebenarnya, sebelum memasuki tahap mitigasi semacam ini, dan seusai tahap identifikasi risiko, dapat dilakukan kajian-kajian terlebih dahulu yang meliputi kajian hukum. Sebaiknya dibantu oleh ahli hukum yang dapat memberikan opini hukum dan sudah memiliki metodologi tersendiri untuk memitigasi risiko-risiko hukum secara umum."

Tanya : “Menurut Ibu Ratna, sejauh apa penerapan legal risk management dalam perusahaan-perusahaan di Indonesia?”

Jawab : “Penerapan legal risk management di berbagai perusahaan tergantung pada size perusahaan tersebut dan ruang lingkup bisnisnya. Untuk perusahaan yang scope-nya kecil, mereka tidak terlalu membutuhkan legal risk management dalam pemahaman yang luas, namun setidaknya bisa mengandalkan pembuatan perjanjian bisnis yang dibuat dengan hati-hati.

“Untuk perusahaan besar, saya yakin mereka lebih berhati-hati dalam hal ini, karena semakin besar return yang diharapkan, mereka menyadari akan semakin besarnya potensi risiko yang akan dihadapinya Jadi umumnya mereka akan lebih siap perangkatnya. Namun untuk perusahaan kecil, sepertinya mereka belum terlalu peka dalam permasalahan hukum ini, sehingga harus diberikan pencerahan. Untuk beberapa perusahaan dalam sektor seperti perbankan dan perusahaan yang sudah go public, saya yakin persiapannya -nya sudah  baik, tinggal menempatkan aspek risiko hukum dalam agenda manajemen risikonya.

Tanya  : “Langkah-langkah apa saja yang sebaiknya perusahaan lakukan agar dapat memperkuat daya tahan perusahaan terhadap risiko hukum?”

Jawab : “Banyak hal yang bisa dilakukan perusahaan, yang paling sederhana adalah melakukan penyusunan kontrak dengan sangat hati-hati. Secara umum, perusahaan yang merasa tidak mampu membuat kontrak yang dapat memastikan perlindungan bagi posisi tawarnya (bargaining position)at - maka lebih baik meminta bantuan lawyer, in house lawyer atau external lawyer.”

Tanya  : “Dalam konteks demontrasi buruh, langkah-langkah apa saja yang bisa diambil perusahaan secara efektif tetapi masih dalam koridor hukum terkait dengan demonstrasi buruh ini?”

Jawab : “Demonstrasi buruh saat ini mungkin risikonya tidak lagi  setinggi jaman tahun 1990-an, karena tidak lagi  merusak factor-faktor produksi, .. Menurut saya yang harus diperkuat itu adalah bagaimana perusahaan dalam menyusun perjanjian kerja dengan para pekerjanya yang memposisikan kedua belah pihak pada posisi mitra yang sebenarnya (win-win). Di samping itu, hubungan tripartit antara pengusaha, pekerja dan pemerintah seyogianya dibangun dalam tatanan good governance.

Tanya  : “Siapa badan atau orang yang paling tepat mengelola legal risk?”

Jawab : “Dari level direksi adalah direktur kepatuhan. Mengingat dalam kerangka GCG wujud yang paling sederhana dari GCG adalah patuh terhadap peraturan perundang-undangan. Di level management, dapat diberikan kewenangannya ke legal department. Legal department harus paham pada regulasi yang relevan dengan bisnis usahanya tersebut. Tentunya risk management perlu ada kolaborasi dengan legal department. Harus ada kesadaran bahwa risk management itu tidak hanya berkaitan dengan implikasi ekonomi saja, tetapi juga yang berkaitan dengan implikasi hukum.”

Tanya  : “Siapa saja yang berpotensi menghadapi risiko hukum? Apakah hanya perusahaan, badan pemerintah, atau yayasan saja?

Jawab : “Saya kira setiap institusi bahkan kita sebagai individu pun akan berhadapan dengan risiko hukum, karena kita adalah sebagai subjek hukum. Selama kita menjadi subjek hukum, kita akan berhadapan dengan risiko hukum. Subyek hukum dalam system hukum perdata di Indonesia meliputi orang dan badan hukum. Yang termasuk  badan hukum di Indonesia bukan hanya perseroan terbatas tetapi juga ada badan-badan hukum lainnya, mulai dari yayasan, koperasi, dan juga badan pemerintah, yang tidak luput dari risiko hukumnya masing-masing.

Tanya  : “Mengenai ASEAN community, dampak dari ASEAN community 2015 nanti terhadap Indonesia dalam kaitannya dengan legal risk itu seperti apa?”

Jawab : “Banyak hal-hal yang harus kita siapkan, karena kita akan menjadi pasar yang terbuka untuk ASEAN. Apakah kita sudah siap? Koridor hukumnya sudah siap atau belum? Pasar terbuka biasanya identik dengan kompetisi, dan ini  menuntut kesiapan bisnis dari industri  yang akan masuk ke pasar ASEAN (SME dan industri kreatif juga termasuk di dalamnya). Lalu apakah pemerintah sudah menyiapkan koridor hukum untuk memfasiltiasi keterbukaan pasar ini?”

“Dalam bidang jasa, perbankan kita sudah banyak “dikuasai” oleh bank-bank asing. Hal tersebut menunjukkan bahwa dampak dari ASEAN community ini sudah mulai terasa sebelum ASEAN community ini berjalan. Di industri keuangan lainnya, misalnya asuransi, pembiayaain, dll apakah sudah siap? Di ASEAN, Indonesia  merupakan pasar yang paling menarik, sehingga semua akan berlomba untuk masuk ke Indonesia. Lalu apakah pemerintah sudah bisa melindungi industri-industri barang ataupun jasa?“

“Dari sisi pemerintah, seharusnya bisa menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dari sisi pengusaha, seharusnya bisa membuat strategic alliance yang lebih baik dengan pihak asing supaya tidak terpapar habis. Hal ini dilakukan agar bisa mendapatkan bargaining position. Jadi dalam 2015 nanti, kita juga perlu berpayung pada konvensi yang merupakan hasil kesepakatan antar negara ASEAN, dan level di bawahnya pada tahap eksekusi adalah kontrak (join venture/join enterprise).”

Tanya  : “Bagaimana sinkronisasi hukum di antara negara-negara ASEAN?”

Jawab : “Sudah terdapat harmonisasi hukum dalam law association di ASEAN, jadi mereka dapat membuat  konvensi yang didalamnya ada keseragaman hukum yang disepakati oleh masing-masing pihak. Jadi, kesepakatan hukum yang berupa konvensi itu dapat menjadi payung  dalam kegiatan operasionalnya. Jadi penyusunan kontrak dengan membuat klausul-klausul untuk melindungi kepentingan kita sendiri, menjadi hal penting, terutama klausul tentang settlement of dispute. 

www.crmsindonesia.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun