Mohon tunggu...
crist Sunarto
crist Sunarto Mohon Tunggu... Guru - guru Matpel Bahasa Indonesia SMAK 3 PENABUR JAKARTA

Saya adalah salah seorang guru SMA swasta. Pengampu Matpel Bahasa Indonesia. Ayah dari dua putri, tinggal di kota Bogor. Hobi membaca, menulis, berolahraga dan bermain musik. Berprofesi menjadi guru hampir 30 tahun. Ingin mengembangkan passion menulis, semoga bermanfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berubah untuk Berbuah

24 Juli 2024   07:55 Diperbarui: 24 Juli 2024   08:02 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lalu berkata di hati kita, semua terjadi karena keberhasilan kita sebagai guru? Tidak, sekali lagi saya katakan tidak sama sekali. Jangan pernah mengukur masa depan siswa melalui proses dan hasil belajar mengajar di sekolah, karena masa depan siswa sepenuhnya merupakan otoritas Tuhan. 

"Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan  Allah yang memberi pertumbuhan. Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri." (1 Kor 3:6-7).

Dalam suasana santai dan akrab seorang rekan guru senior yang menjadi panutan di SMAK 3 Penabur Jakarta berkelakar demikian "Mogi, Mogi (nama alumnus), kalau kebetulan saya naik pesawat dan saya tahu kamu pilotnya, saya akan minta turun dari pesawat. Saya takut kamu tidur ketika menjalankan pesawat" Itulah sepatah kata yang terucap dari rekan guru senior dari salah seorang siswa kami yang berhasil menjadi pilot, sebagai ungkapan rasa bangga dan ucapan syukur bagaimana Tuhan memberi pertumbuhan dan mengubah seorang siswa yang dahulu 'pendekar tidur' kini menjadi seorang pilot. Rasa bangga dan syukur melihat siswa berhasil adalah upah profesi seorang guru. 

Sebagaimana orang tua yang bangga melihat anak-anaknya berhasil dalam hidupnya, begitu juga kita sebagai guru, pengganti orang tua di sekolah  merasa sangat bangga melihat keberhasilan siswa-siswi kita.  Lebih-lebih kebanggaan kita sebagai guru diimani karena Tuhan mengizinkan  kita walau dalam waktu yang terbatas boleh  campur tangan mengubah sebuah pribadi dari remaja menjadi seorang dewasa, dan telah menemukan kepribadian dan jati diri sesungguhnya.

Siswa yang diajar (naradidik) bukanlah seperti saat kita menjadi siswa, walau kita pernah menjadi siswa dan mereka belum menjadi orang dewasa seperti kita sekarang.

Mengapa hal itu penting, dan harus terus kita hayati dalam mengubah paradigma kita dalam memandang keberadaan siswa sekarang? Seiring dengan perubahan zaman, maka dalam berpikir, bersikap, dan bertindak siswa sekarang sangat berbeda dengan zaman kita menjadi siswa dahulu. Lingkungan masyarakat, keluarga, sekolah, teknologi informasi begitu besar pengaruhnya dalam pembentukan kepribadian siswa, Hal itu sangat berpengaruh dalam cara berpikir, bersikap, dan bertindak.

Satu contoh konkret, Sewaktu kita sekolah dahulu jika terjadi perbedaan pendapat antara kita (pada waktu itu menjadi siswa) dengan orang tua atau guru kita, kemudian orang tua/guru kita berkata "Bapak/Ibu tidak setuju dengan usulan atau keinginan kalian, tapi ya terserah pada kalian" Kalimat itu dimaknai larangan. Zaman itu kita sebagai siswa di sekolah/anak di rumah akan mundur teratur tidak akan melakukan sesuatu sesuai dengan usulan atau keinginan kita karena guru/orang tua sudah melarang kita. Kalimat yang sama tercetak miring di atas, siswa sekarang memaknai "ya, terserah pada kalian" diartikan bahwa orang tua/guru membolehkan/mengizinkan. Selanjutnya siswa akan melaksanakan rencana seperti apa yang diusulkan/diinginkan. Oleh karena itu,  jika terjadi perberbedaan pendapat dengan anak/siswa sekarang harus tegas antara boleh dan tidak boleh/dilarang, jangan ada di ranah abu-abu.

Dalam kasus di atas, demokrasi memberi ruang kepada siswa untuk  berani mengambil sikap berbeda dengan guru/orang tua. Artinya, walaupun orang tua/guru tidak sependapat dengan ide/usulan mereka, jika mereka menganggap  rencana tersebut adalah baik dan benar menurut siswa, maka siswa akan  melaksanakan dengan konsekuensi risiko yang harus ditanggungnya. Makna 'terserah pada kalian'  Zaman dahulu dimaknai saya tidak akan melakukan karena dilarang orang tua/guru, sedangkan zaman sekarang diterjemahkan orang tua/guru sudah menyerahkan kepada kita, sesuai dengan pilihan kita. Perbedaannya bahwa tidak setuju dan terserah pada zaman dahulu sudah cukup tegas dan jelas saya tidak berbuat/melakukan sesuatu karena ada otoritas guru/orang tua berupa larangan dan itu harus dihormati. Sedangkan, siswa sekarang menerjemahkan orang tua memang tidak setuju, namun memberi kebebasan kita untuk memilih. Jadi kita lakukan/kerjakan saja rencana kita dengan risiko yang akan kita tanggung. Dalam kasus di atas, tidak ada sesuatu yang bisa disalahkan. Ketika penulis tegur mengapa kamu tetap melaksanakan kegiatan itu, bukankah guru-guru sudah melarang? Mereka menjawab dengan tegas dan tidak merasa bersalah, Bapak/ibu guru tidak pernah melarang hanya tidak setuju dan menyerahkan kepada kita, maka kita melaksanakan seperti rencana kita, khan Bapak/Ibu menyerahkan kepada kita. Haruskah kita sakit hati? Tentu saja tidak. Mengapa? Itulah era sekarang, zaman yang sedang kita hidupi. Akhirnya pada sebuah kesimpulan sebagai berikut:

            Berubah untuk berbuah, berarti bahwa kita boleh membuat rencana/rancangan, namun tidak perlu menargetkan "Seperti tingginya langit dari bumi demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu". (Yesaya 55:8). Ya dan amin bahwa "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya..." (Pengkotbah 3:11). Berubahlah dalam paradigma jika itu dipandang perlu dan menghasilkan buah yang lebih baik lagi seturut dengan kehendakNya. Berubah untuk berbuah, dimaknai  jauhkan perasaan sombong dan terlalu bangga ketika  melihat siswa kita sukses dan berhasil seakan-akan kita sukses mengajar. Ingatlah, siapakah kita dibanding kuasa dan otoritas Allah. Kita ini hanyalah debu, peran kita sangatlah kecil dalam proses keberhasilan siswa. Berubah untuk berbuah adalah ucapan syukur karena Tuhan mengizinkan kita boleh menikmati suatu era yang jauh dari apa yang pernah kita mimpikan. Tidak perlu sakit hati, saat siswa tidak selalu menuruti keinginan kita, karena argumen mereka dianggap benar era sekarang sekalipun kurang mempertimbangkan etika dan rasa dari anak/siswa terhadap guru dan orang tua. Kiranya Tuhan Allah selalu menolong kita untuk terus berubah untuk berbuah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun