Paskah tahun ini beda. Tidak persis sama situasinya bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu kita misa online, misa tanpa dihadiri umat. Tahun ini kita misa bersama umat, tetapi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
Perayaan yang dulunya meriah, disederhanakan. Banyak momen yang berpotensi bersentuhan ditiadakan. Tahun ini tidak ada perarakan daun palma, tidak ada pembasuhan kaki para rasul, adorasi yang biasanya tiap tahun sampai pagi, dibatasi sampai jam 12 malam saja.
Tidak ada tablo atau jalan salib hidup. Lagu-lagu juga disederhanakan, tidak semua lagu misa dinyanyikan. Kita semua tahu dan paham. Kita dibayang-bayangi penyebaran virus corona.
Yang lebih menggemparkan dan menyedihkan adalah, peristiwa bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, lagi-lagi di mabes polri. semuanya menambah, ruwet dan rasa was-was, paskah tahun ini.
Pertanyaan sederhana adalah, mungkinkah tragedi yang memiluhkan itu, menghentikan paskah Tuhan? rasanya tidak. Paskah adalah sengsara Yesus, paskah adalah kematian Yesus dan paskah adalah kebangkitan Tuhan.
Sulit kita berbicara tentang iman kristiani tanpa adanya paskah Tuhan. Sulit kita berbicara kebangkitan jika tidak ada kematian. Tetapi sia-sia juga, kita berbicara tentang harapan kalau tanpa kebangkitan.
St. Paulus menulis; "Andaikata Kristus tidak bangkit, maka sia-sialah iman kita." Kematian Kristus menjanjikan keikhlasan dalam pengampunan. Sementara kebangkitan Kristus memberikan sukacita dalam pengharapan.
Kisah injil Markus 16:1-7 (bacaan Sabtu Suci), dibuka dengan satu intro menarik, "pagi-pagi benar, pada hari pertama dalam pekan, para wanita pergi ke makam. Mereka mendapati batu sudah terguling dari makam."
Apa yang harus kita maknai?
Pertama; Tindakan para perempuan yang pergi pagi-pagi ke makam Yesus, memberikan satu pelajaran yang positif bagi kita. Bahwa hal pertama yang perlu kita lakukan ketika bangun pagi adalah, pergi mencari Tuhan.