Setelah mendengar masukan dari ulama dan tokoh agama maka Presiden Jokowi akhirnya mencabut lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal khususnya yang mengatur investasi minuman beralkohol (miras).
Saya yakin Presiden Jokowi mendapat tekanan keras dari berbagai pihak, termasuk legislatif maupun tokoh agama, soal penanaman modal investasi baru miras.
Pemerintah tentunya tidak bodoh ketika mengambil keputusan tentang pembukaan usaha baru investasi miras. Ada beberapa pertimbangan meski izin penanaman modal investasi miras telah dicabut.
Relita masyarakat membuka mata kita. Miras bukan persoalan baru, entah legal maupun ilegal, tetap akan ada miras di masyarakat. Kita tahu, meski sudah berulang-ulang digrebek, ada operasi basmi miras dari aparat keamanan, toh miras tetap saja ada dan cara dapatnya juga tidak sulit.
Sebagai contoh di NTT, masyarakat tetap memproduksi miras, (sopi). Miras lokal, bernilai ekonomi, karena selain masyarakat digunakan untuk kepentingan adat. Budaya orang NTT itu beda, rasanya belum lengkap bila setiap acara tidak disuguhkan miras, tentu bukan untuk memabukkan tetapi untuk persaudaraan dan kekeluargaan.
Sulit dipahami bila miras itu ilegal secara aturan tetapi realita masyarakat tetap ada miras, bahkan tetap memproduksi miras. Jadi kesimpulannya legal maupun ilegal miras tetap ada. Miras itu seperti judi, dilarang pun tetap ada sampai detik ini.
Justru karena dilarang inilah banyak masalah muncul, minum sembunyi-sembunyi, impor sembunyi-bunyi, manipulasi harga dan pajak tak terkontrol. Ada permainan dan bekingan dari pihak-pihak tertentu.
Saya pikir baik juga bila pemerintah mengatur soal miras, bahkan bukan saja miras, rokok juga sama. Kita menolak pemerintah mengatur miras, tetapi diam-diam kita terima karena investasinya menggiurkan. Sebagai contoh DKI memiliki saham besar untuk minuman bir.
Jadi kesannya melarang miras seperti kita bermain kucing-kucingan dengan aturan. Di satu sisi melarang tetapi di sisi lain membuka investasi dan menerima retribusi. Jadi dari pada kita bermain kucing-kucingan, yang tersurat itu melarang, tetapi dalam realitas tetap diijinkan, atau dibiarkan.
Atambua, 03.03.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H