"Untuk sebagaian orang kulit pisang dan batang pisang tidak bernilai, tapi tidak untuk umat Paroki Kapi, Keuskupan Agast Papua."
Kapi adalah nama sebuah kampung yang mungkin terasa asing di telinga kita. Kampung Kapi terletak di tepi sungai Mamats, Keuskupan Agats Papua.
Menurut data dari Keuskupan Agats, tahun 2018, jumlah umat Santo Gabriel Kapi mencapai 2.219 Jiwa dengan klasifikasi 115 kepala keluarga. (sumber:keuskupanagats.or.id). Penduduk Kapi bersifat homogen, artinya hanya satu suku yakni Asmat.
Bagi saya umat Paroki Kapi unik dan menarik karena, mereka hidup di atas air, (rawa-rawa). Menurut cerita Pastor Paroki Kapi, pastor Hendrikus Antoin Ola, Pr, bahwa umatnya tidak pernah merasakan yang namanya lahan kering, semuanya adalah air.
"Kami tinggal di atas air, rawa-rawa. Kami tidak pernah merasakan yang lahan kering atau tanah kering", Kata romo Heri Ola, Pr, imam asal Noemuti, Nusa Tenggara Timur, (NTT), yang saat ini dipercayakan menjadi pastor paroki Kapi.
Hal ini menarik karena di sebagian daerah kulit pisang tidak memiliki nilai jual tapi tidak untuk anak-anak Paroki Kapi, Keuskupan Agast Papua, batang pisang menjadi makanan khas dan bisa dipasarkan.
Cara pembuatannya juga sederhana;
1. Keripik batang pisang
"Pisang dikupas kulit kerasnya (bagian luar), diambil bagian tengahnya saja kemudian dicuci tiga kali, lalu direndam dengan air tumbukan bawang putih, kunyit, ketumbar, daun jeruk purut dan penyedap Royco. Selanjutnya, dicelup ke dalam tepung beras (5 sendok kuah) dan tepung tapioka (2 sendok kuah) kemudian baru digoreng." Keripik batang pisang siap dikonsumsi atau dibungkus sesuai harga untuk dipasarkan.