Dunia dalam susana mencekam. Betapa tidak, corona merenggut nyawa manusia tanpa ampun. Hingga detik ini, puluhan ribu nyawa manusia melayang. Angka kematian terus bertambah setiap hari.
Semua pada takut. Bahkan takut untuk keluar rumah. Soalnya Covid 19 ini menyerang tanpa pandang buluh. Mau kaya, miskin, negara maju, berkembang, pejabat, rakyat biasa, pemuka agama, umat, semua bisa diserang. Ibarat kereta api, sekali jalan tidak pernah berhenti sampai tujuan.
Menakutkan? Iya. Menyedihkan? Memang. Mencemaskan? Apalagi. Diperkantoran terlihat sepi. Sekolah sekolah diliburkan. Pertokoan juga sama. Bahkan di rumah rumah ibadat pun sama. "Kami tak berdaya menghadapinya, kami hanya bisa jaga diri dengan tetap tinggal di rumah", begitu kata teman saya di sebrang.
Banyak cara dilakukan untuk mengamankan diri. Seruan pemerintah, seruan gereja pun sama. Intinya agar masyarakat dan umat tetap jaga diri. Mulai dari gunakan masker, cuci tangan, hindari kerumunan massa, hindari kontak langsung, jaga jarak, dan tetap 'Stay at home'.
Saya membaca di facebook tertulis "Untuk pertama kalinya dalam sejarah, bersatu kita mati, bercerai kita selamat". Ada juga yang tulis, "untuk pertama kalinya dalam sejarah, gereja juga libur".
Suasana hari ini pun sama. Tidak seperti biasanya. Di gereja Katedral Atambua, kota perbatasan, juga dilangsungkan perayaan ekaristi tanpa umat.
Uskup Atambua, Mgr. Dr. Dominikus Saku, Pr. memimpin langsung perayaan, didampingi oleh Rm. Stefanus Boisala, Pr, pastor paroki Katedral dan juga Rm. Kristianus Fallo, Pr, pastor pembantu.
Perayaan Ekaristi yang disiarkan langsung lewat link facebook, Komsos Keuskupan Atambua, bekerja sama dengan RRI, Dinas Infokom, Humas Setda Belu, berjan lancar.
Ada rasa haru, dan menyedihkan. Bahkan bapak uskup sendiri meneteskan air mata, ketika harus berhadapan dengan bangku kosong, tanpa umat dalam gereja. Memang tidak biasa, tapi ini jalan terbaik yang harus ditempuh demi keselamtan.
Dua hal penting yang diuangkapkan bapak uskup dalam homilinya yakni:
1. "Penyakit ini, kematian Lazarus mengungkapkan kemuliaan Tuhan. Dihadapan kematian, dihadapan penyakit ini, kita tak berdaya. Tuhan justru hadir sebagai Dia yang mengubah, dari rasa takut menjadi berani, putus asa menjadi penuh harapan, bahkan kematian menjadi kehidupan".