Ada seorang penjual jamu yang menjadi langganan istriku setiap hari di rumah, beliau berjualan tidak menggunakan
sepeda motor atau sepeda kayuh namun masih menggunakan gendongan dan berjalan kaki mengelilingi dari desa ke desa
umurnya sudah tergolong tua yaitu sekitar 65 tahun, dan badannya sudah agak membungkuk karena mungkin sudah dari dulu
menggendong beberapa botol berisi berbagai macam jamu yang tentunya bukan sesuatu yang ringan. Penjual jamu itu bernama
Mbah Sri, beliau berasal dari desa Ngluwar kabupaten Magelang JAwa tengah, sebuah desa yang berjarang 10 km dari desaku, dengan berjalan kaki dan menggendong jamu dia melayani dari desa ke desa hingga sampai ke desaku biasanya pukul 11 siang.
Pernah suatu kali bertemu saat aku dan istriku membeli jamu untuk kesehatan, kebetulan aku membeli jamu pegel linu dan istriku membeli jamu kunir asem, sambil meracik dan menyeduh jamu kami banyak bertanya tentang kehidupan sehari harinya, beliau sudah berjualan jamu sejak usia 20 tahun, dan semua jamu adalah racikan sendiri dan dari dulu dengan di gendong.
" Kok mboten ngagem sepeda mawon mbah "?( kok tidak naik sepeda saja mbah) tanyaku
" kulo mboten saged numpak sepeda mas"(saya tidak bisa naik sepeda mas) jawabnya polos,
" putrane pinten mbah ? "(anaknya berapa mbah) tanyaku lagi
" lare wonten 4 mas, putu kulo wonten 6, lare sing kalih dados dokter wonten Jakarta,sing 1 dados PNs wonteng Kabupaten   Magelang, sing Ragil tasih kuliah S2 wonten Jogja" ( anak saya ada 4, cucu ada 6, dua anak saya jadi dokter dijakarta, yang 1 jadi PNS di kabupaten Magelang, yang bungsu masih kuliah S2 di JOgja) jawab simbah
" kok mboten tumut putrane mawon mbah, trus leren dodolan jamu kan luwih kepenak ?" ( kok tidak ikut anaknya saja mbah, berhenti jualan kan lebih enak hidupnya tanyaku lagi
" kulo mboten pengin ngrepoti anak mas, wong dodolan jamu sampun dados pegaweane kulo kawit enom riyen,
sangking dodolan niki kulo saged nyekolahke lare-lare, trus nek mandeg mangkeh misakke tiyang tiyang sing sampun langganan kawet riyen"( saya tidak mau merepoti anak mas, jualan jamu ini juga sudah jadi pekerjaan saya sejak muda dahulu, dari jualan ini saya bisa menyekolahkan anak-anak, terus kalau berhenti jualan nanti kasihan orang-orang yang sudah langganan minum jamu dari dulu" jawabnya
Saya kemudian sedikit tersentak dengan jawaban itu dan terkagum -kagum dengan kegigihan dan pergorbanan simbah ini,
dan memang kata istriku kalau pas hari raya lebaran anak-anaknya pada pulang dari jakarta dan selalu penuh halaman rumahnya terparkir mobil -mobil ber plat B dan apa yang dikatakan simbah ini tentang anaknya memang benar adanya, kemudian tak lupa saya meminta nasehat dari orang hebat di depan saya ini dan beliau hanya berkata "nerimo ing pandum". Satu kalimat yang sangat umum didengar di kalangan masyarakat jawa namun maknanya luas sekali dan salah satu yang berhasil menerapkan adalah simbah yang hebat didepanku ini. Setelah selesai minum jamu maka simbah itu bergegas untuk melanjutkan berdagang jamunya dengan tersenyum dan ucapan terima kasih khas jawa beliau meninggalkan teras rumah kami, semoga kesehatan dan rejeki selalu menaungi panjenengan mbah.......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H