Mohon tunggu...
crisna mariana
crisna mariana Mohon Tunggu... -

suka bossas, suka baca, kadang suka ngobrol sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Belum Terjudul.....

2 Mei 2012   16:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:49 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jingga kini mulai merebak. Dari semburat warna kuning, menyebar menjadi jingga yang berpendar ke setiap sudut bumi. Tapi hanya sebentar saja, sebab warna hitam sudah menunggu tampil berikutnya. Sudah berubah udara, bahkan cahayanya. Yang terasa tetap hanyalah bunyi tapak kakilaki_laki tua. Tua ketika uban memenuhi kulit kepala dan dagunya. Tua ketika keriput itu memenuhi sekujur tubuhnya. Dia renta.Entah sudah tahu jadwal atau memang takdir yg menggerakkan. Laki_laki tua selalu datang di warung pojok itu jam 6 lebih 10 menit setiap petangnya. Hanya diam, tanpa suara, tanpa pesanan. Dalam sekali lirikan mata, pemilik warung membuatkan secangkir kopi kental dgn sedikit gula, dua potong singkong goreng dan secuil gula kelapa. Hafal di luar kepala tanpa berkata.

Seperti slow motion , pertunjukan laki_laki tua itu di mulai. Pertunjukan tanpa penonton, tanpa mata yg menjenguk sesaat. Bahkan pemilik warung lebih memilih melihat televisi penuh semutnya.tetap tenang si laki_laki tua. Sedikit seruputan di ujung bibirnya, membuyarkan keheningan kopi di depannya. Tanpa senyum, hanya sedikit kepuasan.kembali terdiam, laki_laki tua bertangan gemetar meraih singkong dgn tangan kirinya dan gula kelapa di tangan kanannya. Butuh lebih dari 7 detik untuk mengarahkan tangannya sendiri ke mulutnya. Satu gigitan sudah, dan tangan kanan mengikuti arah menuju mulutnya. Satu gigitan singkong dan sesuil kecil gigitan gula kelapa. Seakan kelelahan laki_laki tua meletakkan tangannya di meja usang itu.Kunyahan demi kunyahan. Entah ia menikmatinya atau tidak, ia tak pernah perduli. Tetap dalam gerak lamban mungkin lebih lamban setiap saatnya, hingga 1 potong singkong habis dan gula kelapa yg tersisa seruas. Kambali ke kopi hitamnya. Tetap tanpa senyum. Bunyi seruputan itu pun memenuhi warung. Tapi pemilik warung tak perduli, seperti biasanya.Habis, hanya ampas hitam di dasarnya. Laki_laki tua terdiam, memandang cangkir itu. Entah menyamakan dengan nasibnya, atau malah mengolok hitamnya ampas kopi itu. Laki_laki tua meletakkan beberapa recehan di atas meja, mengambil sisa singkong serta gula kelapa dan membungkus dengan ujung bajunya. Laki_laki tua mencari pegangan, berdiri dan mencoba melangkah lebih kuat. Berhasil. Laki_laki tua tak perduli pamit, itu sudah biasa.

Menunduk dan merambat,malu pada orang lain atau malu melihat kelakuan orang lain, hanya laki_laki tua yg paham. Berjalan seakan jauh, sekali waktu laki_laki tua berhenti, mencari udara bersih yg tersisa di sekitarnya. Terkumpul sedikit, cukup untuk langkah selanjutnya. Laki_laki tua terus menapaki tepian jalan raya itu, berbelok kesisinya memasuki pinggiran rel kereta. Berhenti kembali, menengadah ke langit. Laki_laki tua tak memohon apa2 hanya ingin menyapa bulan yg sudah bersiap menemani gelap. Laki_laki tua hidupnya tak pernah gelap.

Bunyi tapak kakinya tetap terdengar, kadang terseret kadang menjejak.suara kereta yg lewat menghilangkan sejenak bunyi tapaknya. Tak perduli. Laki_laki tua tetap berjalan menunduk dan merambat. Laki_laki tua tak ingin naik kereta, kereta itu pun tak perduli laki_laki tua itu ada. Berhenti. Tapi kali ini tidak untuk mencari sisa udara, istananya sudah di depannya. Tangan laki_laki tua memeriksa ujung bajunya, memastikan hadiah itu tersimpan rapi. Laki_laki tua menyiapkan wajah keriputnya, menaikkan ujung_ujung bibirnya dan membuka pintu dengan gemetar.

“Bu, aku pulang”Senyum itu terpasang manis di wajah tuanya. Tanpa cela.

“Pak, syukurlah”Wanita yg menunggu istananya beringsut duduk menyambut laki_laki tua.Senyum yg sama menghiasi wajah wanita tua. Cantik.

Mereka duduk berdampingan di atas kasur yg mulai menghitam. Tetap dengan senyum yang semakin mengembang. Seperti perkenalan pertama mereka yg penuh suka.

“aku bawa ini buatmu bu”Senyum itu tetap terpampang di sana, begitu indah. Senyum yg di simpannya seharian dan hanya di persembahkan untuk istrinya. Saja.

Laki_laki tua berTangan renta meletakan singkong dan Gula kelapa itu di tangan istrinya dengan bangga

“makanlah bu”

Wanita tua menyambut senyuman, wajahnya semakin cantik. Laki_laki tua tak perduli dgn kelumpuhan istrinya, di hadapannya hanya ada wanita tercantik yg di kasihinya. Singkong dan gula kelapa itu kesukaan istrinya. Dan itu hadiah teridah yg bisa di berikan laki_laki tua setiap hari untuk wanitanya. Laki_laki tak pernah perduli jika esok harus pergi ke jalanan untuk mengamen hanya dengan tepukan tangannya. Laki_laki tua tak perduli jika esok hujan dia akan menggigil di pinggir trotoar. Laki_laki tua hanya ingat rumah dan istrinya. Wanita yang tak pernah mengeluh akan kesendiriannya tanpa seorang anak pun.wanita renta yg hanya bisa beringsut karena kelumpuhannya. Wanita renta yg tetap muda di mata laki_laki tua. Wanita renta yg tiap malam bergumam lagu_lagu lama dengan suara seraknya.wanita renta yg selalu menunggu kepulangan suaminya. dan laki_laki tua hanya perduli bahwa wanita renta itu miliknya.

“matursuwun pak, aku makan ya” nada ceria seperti bayi meluncur dari mulut wanita renta.

Keduanya terkekeh. Kereta api lewat lagi, meredam suara mereka,seakan tak mengijinkan dunia mendengarnya. Laki_laki tua dan wanita renta tak perduli dunia. Tangan mereka yg saling menggenggam sudah lebih dari segala isi dunia bagi mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun