Nyonya,
Aku mengenalmu sejak kau masih sangat muda. Kau gadis kecil ceria berambut panjang. Ada kalanya kepangmu dua. Ada kalanya kuncirmu begitu tinggi melekat di puncak kepala. Pipimu bulat merona. Seperti merahnya hamparan apel Anna di kebun nenekku. Parasmu semanis apel manalagi yang sangat kusuka.
Entah sejak kapan kerinduanku muncul pada sosokmu yang terkadang terdiam seolah menyimpan misteri hati. Satu yang kutahu, aku mulai tergila-gila padamu. Berharap kau berpaling sekejap padaku. Membiaskan senyummu. Atau ada kalanya hanya sekedar lirikan judesmu padaku.
Kau merindukan ribuan bintang untuk kau peluk dan kau hafal namanya. Dan kita bersama menikmati kelap-kelipnya di bawah kelam langit malam. Hanya hening dan tanpa kata. Tapi kau begitu dekat hingga aku bisa mendengar desah nafasmu. Terpancang pada kekaguman pada jutaan benda langit di atas sana.
"Aku ingin masuk astronomi" katamu suatu ketika.
Aku percaya kau mampu. Dengan kecerdasanmu yang membuatku kadang terkesima. Dan aku menatapmu dengan sungguh. Lalu aku mengucapkan ini "Kutunggu kau di Bandung."
Kemudian kau menatapku dengan pendar mata yang seumur hidup tak akan kulupa. Membenamkanku pada lautan utopia tentang kita. Dan sejuta letupan dan lompatan degub dan rasa tentang kita.
Nyonya,
Ingatkah kau pada pelukanku saat harapanmu kandas? Saat itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk memberi masa depan yang terbaik untukmu. Aku menatanya dengan terbang menggapai bekal mimpi walau harus berada sangat jauh darimu.
Kau berdiri dengan tegakmu dalam balutan kesetiaan. Sayangnya aku tidak. Ketika sepi mendera aku berpaling. Sejenak melupakanmu dalam penantian yang tak henti. Kuterima marahmu. Ya aku bersalah.
Gelisahmu sadarkan aku bahwa kau terlalu berharga untukku. Aku tak ingin melepasmu walau gamang menyergapku karena jalinan rumit masa lalu. Tapi aku terjebak ragu. Bisakah aku membahagiakanmu? Aku hanya bisa terhenyak ketika kau mengatakan dengan begitu sedih "Kau makin asing bagiku."