Mohon tunggu...
Chris D.a
Chris D.a Mohon Tunggu... -

Just an ordinary man. Hard-worker, husband, father

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

26 Tahun Hidup Tanpa Limpa

4 Oktober 2014   20:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:23 3111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu hari Minggu di awal Oktober 26 tahun yang lalu, saya mengalami kecelakaan yang buat saya cukup mengerikan. Saya diseruduk truk bersama motor yang saya kendarai di dekat rumah Eyang saya di Surabaya. Salahnya, karena merasa “cuma dekat ini” jadi saya tidak memakai helm. Saat itu pemakaian helm belum jadi suatu kebutuhan (atau mungkin kewajiban?) seperti sekarang ini.

Akibatnya sangat fatal. Saya mengalami gegar otak karena kepala saya kena benturan. Tulang rusuk ada yang patah dan melukai lambung (kalau tidak salah lambung saya sempat berlubang). Limpa pecah dan harus diangkat. Memar di sana-sini. Saya kolaps selama hampir seminggu dan setelah itu masih juga dirumahsakitkan dalam jangka waktu yang cukup lama. Untung saja sekeluarnya dari rumah sakit masih bisa mengejar ketinggalan pelajaran dan masih bisa naik kelas 2 SMA.

Lalu apa yang terjadi setelah saya tidak punya limpa lagi? Ya senyatanya saya masih hidup sampai sekarang. Dengan kata lain orang masih bisa hidup tanpa limpa. Tapi.. saya jadi gampang sakit. Gopok, kalau orang Jawa bilang. Serangan flu yang mungkin ringan buat orang lain bisa membuat saya terkapar 1-2 minggu karena bisa merembet jadi radang tenggorokan yang parah. Saya juga mudah lelah. Sungguh bukan suatu hal yang menyenangkan. Tapi lama-lama saya jadi terbiasa dan bisa hidup “normal” kembali (dengan belajar mengenali “alarm” tubuh kapan sekiranya saya butuh istirahat), bahkan bisa survive selama bertahun-tahun belajar di negeri orang.

Hanya saja mungkin karena lambung saya sudah terlanjur “cacat”, ditambah lagi dengan pressure dari pekerjaan yang membuat saya sering stress, ditambah dengan berbagai peristiwa yang membuat saya banyak mengalami kehilangan, gastritis pun menghampiri saya. Jadilah selama bertahun-tahun ini saya hidup berdampingan “dengan rukun” dengan penyakit itu. Dari yang cuma sekedar perih-perih sedikit karena terlambat makan, sampai yang berhari-hari harus terkapar di rumah sakit karena perdarahan, saya pernah mengalaminya.

Dari rentang 26 tahun sejak kejadian diseruduk truk itu hingga saat ini, ada banyak tahun-tahun berat yang harus saya lalui berganti-ganti dengan banyak hal yang menggembirakan yang saya dapatkan. Dari semuanya itu yang saya rasakan termasuk paling berat (setelah peristiwa sakit dan meninggalnya adik laki-laki saya, dan kehilangan gadis yang sangat saya cintai) adalah sepanjang tahun kemarin dan tahun ini.

Tahun kemarin saya berkali-kali menghadapi hambatan relasi dan komunikasi dengan keluarga. Tahun ini saya 2 kali menjalani operasi besar dalam jangka waktu kurang dari 4 bulan, entah berapa kali bolak-balik masuk rumah sakit, beberapa kali juga mampir di ICU, di tengah-tengahnya resign dari kantor lama dan pindah ke tempat kerja baru, semuanya menimbulkan stress tersendiri yang tentunya sangat berpengaruh pada kondisi fisik dan mental saya.

Capek? Sangat. Tapi belakangan ini relasi dan komunikasi dengan keluarga sungguh bergerak ke arah positif. Dukungan dari seluruh keluarga dan para sahabat benar-benar membuat saya seolah selalu mendapat kekuatan baru untuk tetap bertahan dan bergerak menuju pulih. Ditambah lagi dengan tempat kerja baru yang sangat mengerti kondisi kesehatan saya sehingga memberi kesempatan untuk ambil waktu istirahat kapan saja saya membutuhkan.

Setiap senyum manis istri saya dan berondongan BBM dari putri saya menjadi sumber kekuatan bagi saya untuk tetap bersabar menghadapi semua tekanan yang ada. Juga setiap kata penyemangat yang diucapkan oleh abang via telepon. Juga setiap canda yang dilontarkan oleh adik saya. Juga support tanpa putus dari para sahabat.

Menjelang bertambahnya usia dan berkurangnya waktu hidup saya minggu depan, pada awalnya saya merasa bahwa entah sampai kapan saya bisa bertahan. Tapi semalam putri saya mengatakan, “Ada yang minta aku jaga Papa. Aku gak bisa tiap hari ketemu Papa, jadi aku cuma bisa jaga Papa dengan doa.”

Doa. Setiap panjatan doa adalah seluruh kekuatan yang saya miliki. Saya sendiri selama ini memang tak pernah minta untuk disembuhkan. Saya hanya minta kesabaran dan kekuatan untuk semua yang memang harus dihadapi. Dan saya sudah mendapatkan itu. Plus mendapatkan keluarga dan sahabat-sahabat yang sangat solid menyemangati saya.

Jadi, apa lagi yang harus saya minta?

__________

(JP.04.10.2014.Chris D.a)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun