perjamuan bukanlah perjamuan.
yang dijanjikan akan tiba
bisa jadi sesuatu yang menyepi,
menjauhi. rusuk tertusuk.
daging mengering. setiap kali
maut tercerabut, ada getir
yang lebih menyihir
dari kilau petir. bangkit
dari rasa sakit, ia mulai mengerti
mengapa piring dan pisau
seperti dering yang sengau,
menjadi musuh sekaligus teman,
sekutu sekaligus lawan.
sedangkan hidangan,
yang teronggok tak berdaya
di hadapannya,
adalah korban. ia barangkali
salah satu yang
terkhianati perjamuan itu.
sayang sekali, gelas-gelas
tak terisi anggur.
juga roti, remahnya tak terjamah
bahkan oleh mata yang buta.
sedikit-sedikit, sementara
detik berganti menit,
ia cemaskan selalu
hal yang sama
: pengakuan dosa
yang dusta belaka.
hingga nyaris tak terasa
jeda merupa aroma,
terhirup teregup.
sekalipun terperi, tak pernah
tampak ia berseri.
sejak awal,
hanya ajal yang kekal,
menjelma renjana
baginya.
2011
Pasta Gigi
pagi menggantikan
dini hari,
tapi suara seseorang itu belum
muncul-mengambul di
dinding-dinding
yang masih beku. gumamnya,
aku masih
harus sabar menanti.
kembali, ia bayangkan
gempal tubuhnya
disakiti dengan hati-hati.
tangan seseorang itu
menggenggam
seperti hendak melepaskan
sesuatu yang lain.
sampai saat ini,
ia tak juga tahu sesuatu itu.
yang ia tahu,
hanya satu
: ia diciptakan
untuk
sempurna dikorbankan.
selalu ia ingat,
betapa ngilu menjadi lipu
ketika perlahan-lahan
dingin pasta
keluar meninggalkannya.
ada yang terasa
: sakit.
ada yang tersisa
: rindu.
tanpa dinyana,
ia menjadi
hamba sesuatu yang
menyakitinya.
tanpa dinyana,
ia begitu
setia menyaksikan
dirinya
dikorbankan.
gumamnya,
aku masih harus
sabar
menanti.
Bogor.September.2011
Sumbu dan Rindu yang Lipu