Masyarakat modern masa kini, termasuk saya dan Anda yang sedang mengakses situs blog Kompasiana saat ini, pastinya sudah kenal dengan yang disebut media sosial. Ada yang perkenalan pertamanya dengan Friendster, ada juga yang mengenal Tumblr lebih dulu. Saya pribadi mengenal Facebook lebih dulu sebelum bertemu media sosial yang lainnya. Anak-anak yang sedang beranjak remaja sekarang ini mungkin saja langsung mengenal Instagram.
Sebagai pengguna internet dan media sosial aktif, tentu kita mengharapkan perolehan informasi dan jalur komunikasi yang lebih cepat dan tanggap. Sebelum ada media sosial, untuk memperoleh informasi, kita harus menanti media cetak seperti koran dan majalah yang hanya update per hari. Ada juga saluran broadcasting melalui televisi, namun tentu tidak secepat platform berita online yang sangat menjamur di masa kini.
Apakah Anda mengenal Twitter? Saya sudah menggunakan Twitter sejak tahun 2014, namun tak bertahan lama sebab pada masanya saya jenuh dengan media sosial yang lebih dominan pada tulisan, tidak seperti Instagram yang lebih dominan pada audiovisual. Tahun 2020, saya kembali bermain Twitter dan mendapati akses informasi yang super cepat dalam platform tersebut. Salah satu informasi yang sering saya dapat di Twitter adalah thread dengan tajuk "Twitter, Please Do Your Magic!". Isi utasnya (thread) pun beragam, mulai dari meminta bantuan sumbangan bagi orang yang kurang mampu, mengiklankan small business yang tak kunjung laku, hingga mem-viral-kan kasus-kasus tertentu seperti pelecehan seksual, perilaku tak senonoh dari oknum polisi, kriminal, dan masih banyak lagi. Dari utas yang dibuat oleh para pengguna Twitter ini, tak jarang yang mendapat respon secara masif dan berhasil menuntaskan masalah yang ada. Itulah mengapa, warga Twitter sudah akrab dengan sebutan 'magic', karena dianggap hanya dari sebuah utas bisa membuahkan hasil yang ajaib dan luar biasa. Tahukah Anda, bahwa fenomena ini punya kaitan dengan budaya populer?
John Storey (dalam Triana, 2017) menjelaskan bahwa budaya populer atau popular culture hadir karena adanya proses urbanisasi. Masyarakat secara individu mengeksplor produk industri dan menjadikannya budaya yang populer. Dalam konteks sebelumnya, Twitter diposisikan sebagai produk industri dan para penggunanya yang mengembangkan isi di dalamnya sehingga menjadi suatu budaya populer, contohnya utas bertajuk "Twitter, Please Do Your Magic!". Berlawanan dengan budaya tinggi (high culture) yang tidak dapat dijangkau semua khalayak, budaya populer justru menciptakan kemungkinan tersebut. Sebab, budaya populer diciptakan oleh masyarakat sendiri (bukan oleh industri atau kaum kapitalis) dan ditujukan kepada masyarakat umum juga, sehingga mudah untuk disukai dan diterima banyak orang (Storey dalam Ardia, 2014).
Masih berbicara mengenai media sosial, pernahkah Anda mendengar istilah SJW atau Social Justice Warrior? Mengutip whiteboardjurnal, SJW adalah mereka yang memperjuangkan keadilan sosial. Istilah ini sedang marak di platform online seperti Twitter dan Instagram karena media-media tersebut banyak menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyatakan keresahan mereka mengenai lingkungan sekitar. Sebut saja permasalahan politik. Mudah bagi kita untuk menulis keluhan, kritik, maupun saran bagi pemerintah, kemudian mention akun pemerintah sehingga membuka kemungkinan untuk pemerintah dapat mendengarkan suara rakyat secara dalam jaringan.
Budaya atau kultur dapat dimaknai sebagai cara mengekspresikan makna dan nilai tertentu dalam kehidupan, sedangkan subkultur merupakan istilah bagi kondisi budaya dalam kehidupan yang berbeda dari masyarakat pada umumnya, bahkan dapat menyimpang (Mitasari, 2016). Social Justice Warrior dapat dikatakan sebagai subkultur. Khususnya pada Twitter, para penggunanya secara umum akan menggunakan media tersebut untuk sekadar menebar ocehan dan mencari informasi agar tetap up to date. Para SJW dapat memperhatikan fenomena-fenomena pada Twitter secara mendetail dan mengkritisinya. Tak heran jika sekarang banyak orang yang bahkan hanya sekadar berbeda pendapat dan langsung diberi cap sebagai SJW.
Kedua fenomena di atas pastinya memiliki tujuan tertentu. Bagi para penulis utas "Twitter, Do Your Magic!", mereka memanfaatkan situasi dimana titel tersebut sudah dikenali oleh massa. Oleh karena itu, para penulisnya memiliki keyakinan bahwa kepentingan mereka pasti akan dilihat oleh publik, cepat atau lambat. Dengan demikian, massa menjadi mudah dipersuasi bahkan diprovokasi untuk ikut andil dalam isu yang terjadi dalam utas tersebut. Meski begitu, tidak jarang ada oknum yang memanfaatkan keadaan untuk menciptakan isu yang mengandung hoaks.
Sebagai penggiat sosial, keberadaan SJW pasti ingin diketahui publik, bahkan dari kalangan sosial manapun. SJW berupaya untuk memperjuangkan keadilan dengan beragam cara. Dalam media sosial, bisa berupa kritik tajam dan protes. Apabila keinginan atas keadilan tercapai, maka SJW mencapai tujuannya. Namun, sama seperti fenomena utas "Twitter, Do Your Magic!", ada pula oknum tak bertanggung jawab yang menggunakan identitas SJW bukan untuk menangani, namun justru menciptakan masalah.