Mohon tunggu...
Credentia Gisela
Credentia Gisela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Sedang berada di semester tujuh dan sedang mencoba untuk tetap produktif. Sambil diikuti, sambil dilihat kontennya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Banyak Media Sosial yang Sejenis? (Analisis Produksi dalam Circuit of Culture)

8 Maret 2021   15:44 Diperbarui: 8 Maret 2021   16:07 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial yang pertama kali saya gunakan adalah Facebook pada tahun 2010. Bukan keinginan saya pribadi untuk menjajal media sosial, melainkan orang tua saya yang ingin agar saya tetap keep in touch dengan teman-teman saya di sekolah. Sebab, di tahun 2010 saya harus ikut orang tua saya pindah ke luar kota. Mereka tak ingin saya lupa dengan teman-teman di kota asal saya.

Fitur Facebook pada masanya masih sangat terbatas. Sejauh yang saya ingat, fitur yang saya gunakan adalah menulis di laman saya sendiri atau orang lain, berbagi gambar atau video, direct messages, dan beberapa game menarik seperti Pet Society dan Ninja Saga. Kini, Facebook telah banyak melakukan improvisasi, seperti adanya Facebook Story yang mengijinkan penggunanya untuk menyebarkan momen hanya dalam kurun waktu 24 jam saja.

Kian hari, media sosial semakin inovatif dan beragam. Terhitung, media sosial yang aktif saya gunakan hingga detik ini adalah Instagram, Twitter, TikTok, WhatsApp, dan Line. Saya masih menggunakan Facebook, namun seperti yang saya katakan, adanya inovasi membuat saya akhirnya melirik pada hal-hal baru. Di antara keenamnya, media sosial yang terbaru adalah TikTok.

Sekarang, saya ingin membicarakan tentang circuit of culture. Mengutip dari Junifer (2016), circuit of culture meliputi representasi, identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi. Kelima aspek ini saling berkaitan dan melengkapi satu dengan yang lainnya. Sebagai aspek pokok, representasi merupakan produksi makna melalui bahasa. Makna tersebut yang akan menciptakan identitas. Selanjutnya, akan ada yang memproduksi dan mengonsumsi produk budaya tersebut, yang turut melahirkan regulasi tertentu terkait produk budaya. Lalu, apa hubungannya dengan media sosial yang sudah dibahas di atas tadi?

Apakah Anda pernah memperhatikan bahwa dari sekian banyak media sosial yang tersebar saat ini, banyak di antaranya memiliki jenis yang sama? Contohnya, antara WhatsApp, LINE, Telegram, WeChat, KakaoTalk, dan masih banyak lagi. Kelimanya memiliki fungsi utama yang serupa, yakni sebagai media untuk berkomunikasi mulai dari text message hingga call dan video call. Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa media sosial terus berkembang meski dalam fungsi yang mirip?

Semakin hari, dengan teknologi yang semakin canggih pula, manusia semakin gemar untuk menciptakan banyak inovasi di dalamnya. Meski tampak senada, namun setiap inovasi yang tercipta tentunya memiliki perbedaannya masing-masing. 

Contohnya, kapasistas memori, kekuatan penggunaan sinyal internet, kecanggihan fitur, dan masih banyak lagi. Selain menciptakan, manusia juga suka untuk mencoba hal-hal yang baru. Alasan saya sendiri menggunakan sejumlah media sosial yang serupa adalah untuk menikmati fitur-fitur yang tidak ada pada media yang lainnya. LINE memiliki fitur yang jauh lebih banyak dibandingkan WhatsApp, salah satunya adalah LINE mempunyai penyimpanan berkas, foto, audio, hingga video bernama Keep. Itulah alasan mengapa saya menggunakan LINE. Terlepas dari fitur tersebut, bagi saya, WhatsApp cenderung lebih ringan dan praktis. Itulah juga alasan mengapa saya menggunakan WhatsApp.

Produksi dapat berproses bukan hanya dipengaruhi oleh bahan baku saja, namun juga dapat disebabkan oleh tingginya konsumsi atau demand (permintaan konsumen). Banyaknya konsumen yang senang menyicipi media-media baru membuat para pencipta atau produsen membuat sejumlah karya media sosial baru. Namun demikian, para produsen pun tetap berlomba untuk bersaing dalam proses produksinya. Sebab, untuk berhasil mendapatkan 'nama' dan atensi dari para pengguna internet atau netizen, proses produksi perlu untuk diperhatikan dan disesuaikan dengan kebutuhan konsumsi juga.

Daftar Pustaka

Junifer, C. (2016). Brightspot market sebagai representasi identitas "cool" kaum muda di Indonesia. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi. 21(1): 109-131.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun