Mohon tunggu...
Cove Zebua
Cove Zebua Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil -

Belajar dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Interaksi Harmonis Luar dan Dalam Menuju Keluarga Indonesia yang Damai dan Tenteram

20 Juli 2015   14:37 Diperbarui: 20 Juli 2015   14:37 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi Keluarga Bahagia, Sumber: www.tnbflash.wordpress.com"][/caption]

Mumpung masih segar, tulisan ini saya buka dengan mengucapkan: “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H, mohon maaf lahir dan batin”.

Awalnya ada keraguan dan rasa tidak percaya diri ketika saya mulai menulis topik ini. Bagaimana seorang yang baru mulai belajar menulis plus baru setahun berkeluarga dapat berbagi cerita tentang kehidupan rumah tangga? Jangan-jangan karena keterbatasan jam terbang, tulisannya menjadi sangat dangkal dan tidak “dianggap” oleh para pembaca. Saya mencoba membuat daftar referensi apa saja yang saya punya sebagai bekal untuk menulis, dan ternyata memang sangat sedikit. Tapi seperti kata pepatah: sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, saya putuskan untuk memulai menulis. Semoga seiring bertambahnya kalimat demi kalimat, ide tulisan pun berkembang sekedar untuk menambah panjang dan memperbanyak jumlah kata. Berbagai teladan yang didapatkan dari orang tua tentunya dapat menambah materi tulisan. Lagi pula, sedikit tidak berarti tidak ada yang dapat dibagikan.

Membangun keluarga berkualitas, tidak lepas dari interaksi-interaksi yang terjadi baik di dalam maupun di luar keluarga. Setidaknya ada 4 macam interaksi yang melibatkan keluarga, yaitu: interaksi suami dengan istri, interaksi orang tua dengan anak, interaksi antar anak, dan interaksi keluarga dengan lingkungan/ masyarakat. Kesemuanya berperan penting untuk membentuk keluarga yang harmonis “di dalam” dan juga “di luar” sebagai bagian dari masyarakat/lingkungan. Keharmonisan luar dan dalam seperti ini menciptakan keluarga berkualitas dan menjadi modal penting untuk membangun bangsa.

Interaksi Suami – Istri

Terkadang ada beberapa kejadian dalam hidup kita yang kontradiktif dengan apa yang selama ini di-amini oleh masyarakat luas. Banyak orang berkata bahwa pernikahan itu indahnya hanya di bulan pertama, lama-kelamaan menjadi biasa saja dan terasa hambar. Bulan-bulan awal menikah bagaikan surga, masih terbawa romantisme masa-masa pacaran. Meski banyak yang mengamini, namun yang saya alami tidak seperti itu. Justru 3 bulan pertama cukup berat untuk kami lalui bersama. Proses adaptasi satu sama lain ternyata tidak mudah. Tak jarang kami bertengkar hanya karena masalah status bbm, selera makan, channel TV, dll. Waktu itu ingin rasanya dapat segera mengubah sifat-sifat istri sesuai selera saya, tetapi tidak pernah berhasil. Ya, kita tidak akan pernah berhasil jika dilandasi ego bahwa kita yang paling benar dan yang lain salah. Harus ada ruang toleransi yang mampu menggerakkan hati, pikiran, dan seluruh jiwa raga kita untuk menerima pasangan apa adanya. Tidak ada orang yang mau dikoreksi terus menerus, dan sangat jarang yang dapat serta merta berubah setelah dikoreksi. Semua butuh proses, dan supaya lebih efektif, proses itu haruslah merupakan usaha bersama antara suami dan istri. Seperti jargon Pertamina: Mulai dari Nol, ketika satu sama lain mau menerima apa adanya, maka tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Kompromi dengan kesenangan istri, dan sebaliknya istri juga tidak menutup diri dengan kegemaran suami. Kondisi seperti itu tanpa disadari akan memicu usaha bersama untuk menemukan pola keseimbangan yang terbaik. Lambat laun hal-hal yang tidak baik akan tereliminir dengan sendirinya, tanpa harus bertengkar dan saling menghakimi.

Menerapkan hal di atas tentu tidak semudah berteori, yang paling susah adalah inisiatif untuk memulai. Ajaibnya ketika sudah dilakoni, semuanya akan berjalan dengan sendirinya. Saat saya mau membuka diri untuk menerima segala kekurangan istri, secara otomatis istri pun berlaku demikian. Semakin hari ego pribadi semakin mengecil dan dikesampingkan, bagaikan proses looping dalam pemrograman, dengan lingkaran yang semakin lama semakin mengecil. Ini yang disebut Give and Take (saya lebih suka mendahulukan give sebelum take, memberi sebelum menerima).

Belakangan saya menyadari, ternyata tidak sepenuhnya yang dulu saya anggap benar itu baik. Interaksi Give and Take dengan istri sangat membantu untuk menemukan yang terbaik bagi keluarga kecil kami. Saat ini saya mengerti alur cerita beberapa judul sinetron, punya “koleksi” foto-foto selfie dan kuliner (yang dulu saya anggap hanya dilakukan para alayers :D), dan tentu saja lebih sabar menghadapi istri. Sebaliknya, istri saya pun dapat memahami jika terkadang saya harus pulang malam untuk menyelesaikan beberapa tanggung jawab, mengerti bahwa tidak semua kejadian harus diukir indah di wall Facebook, bbm, dan medsos yang lain, lebih bijak menghadapi persoalan hidup, dan jarang menuntut.

Permasalahan keluarga yang dihadapi para pembaca dan masayarakat pada umumnya mungkin jauh lebih berat. Tetapi saya percaya formula ini berlaku universal, dan efektif untuk pemecahan berbagai masalah antara Suami dan Istri.

Interaksi Orang Tua – Anak

Dalam biografi salah satu tokoh idola saya: Bapak Anies Baswedan, digambarkan secara jelas bahwa pembentukan karakter seseorang dimulai dari keluarga. Interaksi antara orang tua dan anak sangat menentukan seperti apa kepribadian si anak kelak. Jika saat ini kita melihat sosok Pak Anies Baswedan yang bijak, berwawasan luas, lembut sekaligus tegas, ternyata semua berawal dari interaksi yang akrab dan penuh kehangatan di antara beliau dan orang tua. Orang tua memainkan peran sebagai teman bertumbuh bagi Anies kecil. Membiasakan sang anak untuk selalu bercerita tentang pengalaman sehari-hari, sekaligus menjadi pendengar setia. Tidak banyak koreksi, anak dibiasakan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, belajar dari masalah tersebut untuk menjadi bekal hidup di kemudian hari. Orang tua hanya membantu dan mengarahkan jika sudah jauh melenceng. Pernah suatu kali Aliyah (ibu dari Pak Anies) melihat anaknya dikeroyok di komplek perumahan, bukannya melerai dan meyelamatkan Anies, beliau malah membiarkannya. “Selama tak membahayakan, saya biarkan ia berkelahi. Saya anggap itu pelajaran bagaimana ia menghadapi masalah”, begitu kata Aliyah. Toh begitu Anies pulang dengan wajah dan baju penuh pasir, ia langsung memeluknya dan membersihkannya. Adegan berikutnya, Anies dengan penuh semangat bercerita tentang kejadian hari itu dan si Ibu mendengar dengan seksama dan penuh kasih sayang. Peristiwa lain yang membuat saya kagum dengan keluarga ini adalah ketika Anies remaja mengalami kecelakaan hingga pergelangan tangannya retak. Vespa yang dikendarai tidak dapat dikendalikan dengan baik karena melaju dengan kecepatan tinggi. Mendengar kabar anaknya kecelakaan, Rasyid (ayah dari Pak Anies) dengan nada tenang menyarankan Anies untuk memeriksakan diri ke Rumah Sakit. Tidak ada amarah, apalagi hukuman dari sang ayah. Responnya sangat penuh dengan kasih sayang. “Jadi orang tua itu harus tahu, anak dalam kondisi panik atau tidak. Kalau saya datang dengan marah-marah, seperti apa mental dia. Walaupun saya panik, khawatir, saya sejukkan hati Anies”, kata Rasyid.

Jika dalam keluarga Pak Anies orang tua berperan sebagai teman bertumbuh, orang tua saya menempatkan diri sebagai teladan yang baik bagi anak-anaknya. Dari sana karakter kami terbentuk tidak jauh berbeda dengan Bapak dan Mama, seperti kata pepatah: buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Selama dibesarkan oleh kedua orang tua, kami tidak pernah melihat adanya pertengkaran di antara mereka, jikapun ada (sepertinnya mustahil akur terus, :D hehehe) mungkin sudah komitmen untuk tidak menunjukkannya kepada anak-anak. Tidak pernah kami mendengar kata-kata kasar dari orang tua, baik yang dilontarkan kepada anggota keluarga maupun orang lain. Meskipun hati panas, semua persoalan diselesaikan dengan kepala dingin. Rumah benar-benar diperuntukkan sebagai tempat berbagi kasih sayang di antara anggota keluarga. Sangat jarang Bapak dan Mama membawa-bawa masalah pekerjaan ke rumah. Suatu teladan yang baik menurut saya.

Interaksi antara orang tua dan anak, sebagai teman bertumbuh ataupun sebagai teladan hidup sama-sama baik untuk diterapkan. Tinggal bagaimana kita memilih formula terbaik untuk keluarga kita masing-masing.

Interaksi antar anak

Hubungan antar anak sering kali diwarnai keributan-keributan kecil, terutama pada masa pertumbuhan. Namun, bila tidak dimanage dengan baik, dapat terbawa-bawa hingga dewasa. Menurut saya formula terbaik untuk membangun hubungan harmonis di antara anak-anak adalah menghormati yang lebih tua, dan menyayangi yang lebih muda. Setiap friksi yang terjadi akan dapat diminimalisasi karena dibatasi rasa hormat dan sayang satu sama lain.

Interaksi keluarga dengan lingkungan/ masyarakat

Kualitas sebuah keluarga tercermin dari peran sertanya dalam masyarakat. Keluarga yang baik selalu mampu beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Biasanya meski harus berpindah-pindah tempat tinggal, keluarga yang seperti ini selalu mengambil peran dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Ketiga jenis interaksi yang diuraikan sebelumnya, bermuara pada kemampuan keluarga untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Jika berhasil menciptakan interaksi yang harmonis di antara anggota keluarga, maka secara alami keharmonisan itu juga terpancar keluar saat berinteraksi dengan lingkungan/ masyarakat sekitar. Sebagai tambahan, pesan orang tua saya berikut ini mungkin bisa menjadi masukan yang baik bagi kita dalam berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Di beberapa kali kesempatan, beliau menyampaikan pesan yang juga didapatkan dari orang tua beliau (kakek saya): “Dalam hidup, ada dua hal yang tidak boleh diingat. Yang pertama segala hal buruk yang pernah kita terima dari orang lain, dan yang kedua segala hal baik yang kita perbuat untuk orang lain”. Kalimat sederhana ini menuntut kita untuk senantiasa membuka pintu maaf selebar-lebarnya kepada orang lain, dan juga tidak pernah bosan untuk berbuat baik seakan-akan tidak pernah berbuat baik sebelumnya.

Di atas semuanya itu, sebagai bangsa yang berkeTuhanan, setiap interaksi kita baik di dalam keluarga maupun dengan lingkungan sekitar, haruslah dilandasi oleh takut akan Tuhan. Sebab, Tuhanlah sumber segala hikmat, yang akan membimbing dan menuntun kita untuk mampu menerapkan keempat pola interaksi di atas dengan baik. Meski sulit, jika diterapkan oleh setiap keluarga di Indonesia, maka niscaya bangsa ini akan menjadi bangsa yang damai dan tenteram karena hidup sebagai satu kesatuan keluarga harmonis: Keluarga Indonesia.

 

Referensi:

  • Buku “Melunasi Janji Kemerdekaan” - Biografi Anies Rasyid Baswedan, Penerbit Zaman
  • Pengalaman pribadi sebagai guru terbaik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun