Semangat dari sistem zonasi PPDB adalah kenyamanan anak bersekolah karena sekolah dekat dengan tempat tinggal, pemerintah daerah mempunyai peta infrastruktur pendidikan di wilayahnya, meningkatkan peran pemangku kepentingan (khususnya orang tua), dan semua bergerak untuk semua sekolah bermutu. Tentunya Itu butuh proses dan waktu, tidak instan.Â
Dampak dan Strategi
Dampak dan solusi dari sistem PPDB ini, untuk jangka pendek antara lain, pertama adalah kemarahan dari hampir seluruh pemangku kepentingan yang zona nyamannya terganggu, sekolah yang statusnya sudah favorit. Ke depan, mereka seharusnya dijadikan sekolah unggulan. Kedua, pemerintah daerah yang kebingungan dengan sebaran sekolah dan peserta didik serta guru. Seharusnya mereka segera melakukan pemetaan dan pemenuhan kebutuhan infrastruktur pendidikan dengan berbagai upaya dan kolaborasi antara semua pemangku kepentingan. Ketiga, sekolah swasta merasa terabaikan karena kecenderungan masyarakat yang ingin sekolah gratis.
Jangka menengah, seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat mulai bisa memahami keuntungan dari PPDB karena anak ke sekolah bisa saja dengan berjalan kaki, bersepeda, dan mudah dimonitor, secara ekonomi akan mengurangi biaya yang tidak perlu sehingga bisa digunakan untuk kebutuhan lain. Anak-anak juga merasa nyaman, kuatir pertemanan yang eksklusif, tidak juga, karena kita bicara lingkungan sebuah wilayah dengan karakter khusus keragamannya.Â
Pemerintah daerah seharusnya sudah punya peta infrastruktur pendidikan dan mulai melakukan pembenahahan, seperti membangun sarpras tuk sekolah atau ruang kelas baru. Atau menutup sekolah dan melakukan tukar guling atau menjual aset untuk infrastruktur daerah lain. Bisa saja, sekolah satu atau, dan lainnya. Ini akan mudah dilakukan, karena perencanannya sudah berbasis data dan ada waktu yang terukur.
Sekolah swasta seharusnya mulai berbenah diri, menunjukkan kekhasan dan keunggulan mereka. Pemerintah daerah sebenarnya bisa menggandeng sekolah swasta untuk pemenuhan infrastruktur, tapi tentunya harus ada koridor yang jelas. Karena terkait dengan pajak negara atau APBN, sedangkan swasta adalah kepemilikan pribadi.Â
Untuk jangka panjang, seiring waktu maka sekolah bisa menjadi pusat layanan pendidikan untuk semua, masyarakat bisa berperan aktif untuk meningkatkan mutu pendidikan karena keterhubungan yang seharusnya semakin kuat antara sekolah dan orang tua. Sekolah semuanya menjadi bermutu. Mereka yang memang benar-benar cerdas bisa masuk ke sekolah unggulan secara kompetitif.Â
Pemerintah daerah akan lebih mudah meningkatkan infrastruktur pendidikannya dan ketika tingkat partisipatif masyarakat meningkat maka pengelolaan pendidikan bisa dilakukan secara bersama-sama secara sukarela karena merasa memiliki serta bagi mereka yang mampu. Bila saat ini pemenuhan dana untuk pendidikan sejumlah 20% yang selama ini banyak dari APBN kuotanya, maka bisa menggunakan dana APBD dengan lebih efektif dan tepat guna serta dari masyarakat.
Sekolah swasta yang berasal dari Yayasan atau masyarakat seharusnya sudah bergerak maju. Ada yang bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam rangka pemenuhan akses layanan pendidikan. Sedangkan sekolah yang berasal dari lembaga yang besar dan keagamaan, sudah punya peta sekolah yang berpotensi maju atau tidak dan mulai memperbaikinya sesuai kebutuhan atau kerjasama dengan pemerintah daerah.
Kebijakan Kolaborasi dan Filosofi Kebijakan PPDB
Hal yang perlu dipahami, bahwa aturan zonasi yang dibangun berdasarkan kedekatan tempat tinggal siswa dengan sekolah ini dirumuskan oleh daerah masing-masing. Bahkan dibuka opsi masuk ke sekolah karena prestasi, pindah ikut orang tua, dan afirmasi karena miskin. Nah, ketika opsi afirmasi kebijakan ini yang selalu jadi temuan atau masalah selama tidak ada aturan yang tegas, jadi pintu untuk jual beli bangku sekolah. Belum lagi pemalsuan tempat tinggal.
Sekali lagi, kebijakan itu sifatnya general atau umum, maka berpikirnya memang harus seperti itu. Ada kebijakan afirmasi tapi seharusnya kecil sasarannya dan memang ada kekhususan di sana serta diawasi dengan ketat agar sesuai dengan tujuan afirmasi tersebut. Sebelum diputuskan lanjut atau tidak evaluasi ini, memang perlu dilakukan penelitian, tapi perlu dipahami bukan Indeks Kepuasan dari sebuah kebijakan oleh Dinas Pendidikan, tapi lebih dari itu. Karena kebijakan ini bukan mencari kepuasan tapi lebih kepada membangun infrastruktur pendidikan berbasis data dan kolaborasi bersama, serta sifatnya jangka panjang.Â
Seperti, apakah pemerintah daerah sudah mempunyai peta infrastruktur pendidikan mereka terkait PPDB (wilayah dan demografi peserta didik) dan tindak lanjut apa yang dilakukan? Bagaimana kepuasan masyarakat dengan adanya PPDB ini? Bagaimana dampak dari APS dengan adanya PPDB? Dst. Bukan ditanyakan kepada pemerintah daerah, apakah Anda puas dengan sistem PPDB Zonasi dan apa saran anda? Karena mereka sendiri yang merumuskan kebijakan PPDB di level daerah. Masyarakatnya yang harus ditanya, sekali lagi secara umum dan tidak kemudian kasus menutupi kebaikan dari kebijakan ini.
Seni dalam implementasi kebijakan adalah kesabaran dan pemanfaatan momentum, terlebih lagi dengan sistem demokrasi kita saat ini ketika setiap kali penggantian pimpinan selalu saja kemudian keluar isu ganti kebijakan. Sering terjadi perdebatan atau tarik ulus kebijakan yang sifatnya top down akan tetapi diyakini akan ada percepatan dengan kebijakan bottom up yang diyakini akan jalan di tempat saja. Kebijakan tidak populis yang sifatnya percepatan dengan kebijakan populis yang kemajuannya stagnan. Nah, kebijakan yang kita butuhkan adalah kebijakan populis yang bisa melakukan percepatan. Saya melihatnya itu ada pada kebijakan PPDB Sistem Zonasi.
Populis, karena kebijakan ini menyasar kepada kelas menengah ke bawah, mempermudah semua anak-anak yang tinggal di dekat sekolah untuk bisa bersekolah tanpa harus memandang status sosial, status akademis, atau lainnya. Top Down, kebijakan ini dari pusat walaupun sebenarnya daerah bisa melakukan perubahan sesuai dengan kebutuhan. Tidak hanya itu, kebijakan ini bila dilakukan advokasiyang tepat akan bisa mempercepat keberadaan infrastruktur pendidikan baik akses maupun mutu. Â
Ketidakpopulisan dari kebijakan ini karena sering kali adanya kasus-kasus pemalsuan Kartu Keluarga, kebijakan afirmasi yang disalahgunakan, keengganan sekolah-sekolah mengubah mindset akan favorit dan tidak favorit. Bila kita lihat sebenarnya ini sifatnya adalah kasus, hanya untuk kepentingan "mereka-mereka" yang kepentingannya terganggu. Misalnya, sekolah favorit yang harus kehilangan murid (ingat dana BOS basisnya adalah siswa, sekolah yang sedikit siswanya akan semakin sedikit mendapatkan uang dari pemerintah), guru-guru yang enggan mutasi atau berpindah dari zona nyaman, pemerintah daerah yang kurang mau berpikir lebih keras bagi pendidikan di daerahnya, oknum orang tua yang terus tidak bisa keluar dari mindset sekolah favorit atau tidak, ketidaksempurnaan sistem kependudukan kita, dan lainnya. Apakah bottom-up seperti ini yang kemudian bisa mengubah kebijakan yang sudah baik dan perlu waktu itu?Â
Ada lagi yang cukup terdampak, yaitu sekolah swasta. Bila implementasi kebijakan ini berjalan dengan baik, maka sekolah-sekolah pemerintah akan tersebar dengan baik sesuai kebutuhan demografi dan peserta didik, maka bisa jadi sekolah swasta akan kehilangan peserta didik. Tidak salah juga karena memang tugas negara untuk memberikan akses pendidikan sesuai dengan UUD 1945. Â Sedangkan sekolah swasta juga sudah memberikan kontribusinya sebelum kemerdekaan Indonesia, baik itu dari Muhammadiyah atau NU dan agama lainnya dari Katolik. Kemudian berkembang hingga sekarang dengan sekolah-sekolah swasta lainnya yang lebih pribadi kepemilikannya. Ahmad Dahlan dalam gerakan pendidikannya dimulai dengan keinginan untuk memasukkan ajaran agama ke dalam sekolah negeri yang dikelola oleh Belanda dan kemudian mendirikan sekolahnya sendiri yang terus berkembang hingga saat ini. Hal yang sama dilakukan oleh NU, ketika mendirikan madrasah-madrasah guna mendukung pesantren juga sekolah-sekolah di bawah LP Marif. Saat ini, terdapat kurang lebih hampir 55 ribu sekolah swasta, sedangkan yang dikelola pemerintah sekitar 165 ribuan sekolah. Belum lagi bila ditambahkan dengan satuan pendidikan non formal dan PAUD.
Isu ini harus dikelola dengan baik, harus diakui sumber dana pendidikan di sekolah bersumber dari APBN, APBD, dan masyarakat. Untuk sekolah negeri bisa berasal dari APBN dan APBD, juga masyarakat selama itu bukan sebuah pemaksaan atau sifatnya sukarela. Sekolah swasta juga mendapatkan dana BOS dari pemerintah untuk penggunaan sesuai dengan aturan berlaku sekaligus bisa mendapatkan dana dari masyarakat. Pengelolaan pendidikan oleh negara dan masyarakat sama-sama penting tapi karakternya berbeda, bila sekolah negeri sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah karena kewajiban pemerintah dan milik pemerintah, maka sekolah swasta adalah biayanya berasal dari masyarakat dan milik masyarakat. Ke depan perlu hati-hati dengan hal ini.Â
Dalam film Kyai, diceritakan bagaimana santri yang masuk itu tidak harus membayar biaya pendidikannnya akan tetapi sang Kyai atau Sang Kyai (KH Asyam Ashari) memutar otak dan bekerja untuk mencari uang bagi para santrinya. KH Ahmad Dahlan mengatakan "Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah", menurut Haedar Nashir bahwa seseorang harus punya etos kehidupan di Muhammadiyah itu sehingga dia tidak menjadi tangan di bawah, tapi harus tangan di atas. Â Atau Yayasan Agama Katolik yang membagi jenis sekolahnya, ada yang diperuntukkan bagi orang kelas menengah ke bawah dan gratis, ada yang kelas menengah ke atas dan harus membayar. Dengan pola seperti ini, artinya sekolah-sekolah swasta ini membawa kekhasannya masing-masing hingga bisa menarik masyarakat agar anaknya bisa bersekolah disitu.Â
Akhirnya, apapun keputusan dari sistem PPDB Zonasi ini memerlukan sebuah keputusan yang matang. Tidak terburu-buru dan terkesan emotional. Pendidikan itu bukan keputusan emotional, tapi terukur.  Semoga akan ditemukan sebuah kebijakan kolaboratif untuk bisa membangun pendidikan di Indonesia. Pemerintah punya keterbatasan anggaran, setiap kebijakan pemerintah Pusat akan berdampak kepada seluruh satuan pendidikan baik negeri dan swasta, jumlah nya hampir 400 ribuan lebih jika digabung dengan PAUD formal, nonformal, dan PAUD, serta jutaan guru dan tenaga kependidikan. Hal yang mudah, sebuah ilustrasi, bila kita menambah 50 ribu saja untuk operator sekolah (dengan asumsi setiap satuan pendidikan punya 1 operator sekolah, dana berasal dari BOSP), maka harus dipersiapkan anggaran tambahan per bulan 11 trilyun kurang dan lebih, jika kita anggap terdapat 220 ribu satuan pendidikan di negeri dan swasta saja  (minus nonformal, PAUD dan SLB). Sedangkan total dana BOSP secara keseluruhan adalah 57,54 T (2024). Bisa dipahami kebijakan dari pusat harus betul-betul dipikirkan dengan matang terkait dengan anggaran.
Kolaborasi dengan semua pihak amat dibutuhkan, masyarakat. Pemerintah juga dalam pemenuhan tanggung jawabnya mencerdakan kehidupan bangsa juga tidak bisa sendiri, bahkan sebelum kemerdekaan banyak orsosmas yang sudah bergerak terlebih dahulu. Wajib kita seluruh komponen masyarakat mendukung kebijakan pendidikan di Indonesia secara bergotong-royong. Hal yang paling penting menjaga kesinambungan dari kebijakan agar lebih mempermudah masyarakat, tidak lagi terjebak kepada persoalan diksi dan apa yang akan diingat, karena kepentingan masyarkat dan negara lebih utama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI